Empat

1554 Kata
            Tita masuk ke dalam kamar setelah dirinya menidurkan Balqis di kamar sebelah. Ia menatap Angkasa yang tengah membaca buku di tempat tidur. Jantung gadis itu berdebar menyadari jika kini ia tengah berduaan dengan sang pujaan di dalam kamar.             Duh.. kalau nanti aku perkosa Angkasa, dosa enggak ya?             Tita mengamati suaminya itu memakai t-shirt putih polos dan celana pendek selutut. Kulitnya masih tetap putih bersih, tubuhnya kini lebih tegap dan berotot, rambut pria itu dibiarkan berantakan membuat pria itu terlihat lebih ‘Angkasa versi muda’. Mendadak Tita ingin memeluk dan merasakan tubuh kekar itu mendekapnya dan tangan pria itu menyelusuri tubuhnya.             Duh kok mendadak pengen m***m-mesuman?             “Mama Tita kenapa? Sini sayang,” Angkasa menepuk sisi ranjang yang kosong.             Tita berdeham dan dengan malu-malu duduk di sebelah Angkasa, sementara pria itu menahan senyum karena gemas dengan istrinya yang malu-malu kucing.             Mereka ini sudah enam tahun menikah dan berpacaran selama tiga tahun, apalagi menjadi teman sekelas sejak kelas satu SMA. Tentu saja dengan jangka waktu yang lama sudah tidak ada rasa canggung. Bahkan sudah mengenal aroma kentut masing-masing.             Namun melihat Tita yang menggemaskan seperti ini, tidak memungkiri jika Angkasa rindu Titanya yang begitu polos.             “Jangan panggil Mama ah,” gerutu Tita dengan wajah memerah.             “Kenapa? Kan kamu memang sudah jadi Mama!”             Tita mengerucutkan bibir. “Masih enggak percaya aja aku udah jadi Mama, padahal baru masuk sekolah kemarin,”             Angkasa menarik Tita agar lebih merapat kepadanya, ia memeluk wanita itu erat membuat Tita menahan napas saking terkejutnya.             “Angkasa,” panggil Tita ketika mereka cukup lama terdiam karena menikmati keheningan.             “Hm?”             “Besok Aqis minta aku antar sekolah, tapi aku enggak tahu sekolah Aqis di mana,”             “Besok aku antar kalian sebelum ke kantor,”             “Aku juga kerja?”             Angkasa menggenggam tangan Tita dan memasukkan sela jarinya ke sela kosong istrinya itu. “Kamu mengabdi sepenuhnya untuk kami, sayang.”             Tita mengerutkan alis. Menjadi ibu rumah tangga? Rasa-rasanya bukan dia sekali, seingatnya dia memiliki impian menjadi seorang dokter, bahkan dirinya mengambil banyak les untuk mewujudkan mimpinya.             “Kamu kerja di mana?”             “Aku kerja di bank,”             “Di Bank? Beneran? Lho bukannya kamu ingin menjadi ilmuwan kimia?”             Angkasa menatap Tita dengan wajah sendu. “Kamu tau darimana?”             Tita mengerjapkan mata. Ia selalu memperhatikan Angkasa dan mencari tahu segala hal tentang pria itu termasuk impian Angkasa. Apakah jika dirinya jujur, Angkasa akan menganggapnya stalker? Apakah Angkasa akan menjauhinya?             “A-aku.. i-itu.. kalau enggak salah pernah denger-denger,” ucap Tita terbata dengan suara pelan.             “Aku memang ingin menjadi ilmuwan apalagi dibidang kimia, aku suka mengamati, meneliti organisme hidup. Tapi sayang.. terkadang keinginan tidak sejalan dengan kenyataan. Mungkin rezeki aku bekerja di bank dan melihat aku bisa mencukupi kebutuhan kita, itu membuat aku merasa cukup.”             Tita mengamati wajah sendu pada Angkasa. Ia sangat tahu bagaimana antusiasnya pria itu ketika pelajaran kimia. Ia suka melihat ekspresi Angkasa yang terlihat puas jika percobaannya berhasil ketika di ruang lab.             Mengapa Angkasa tidak menjadi ilmuwan dan dia tidak menjadi dokter?             Sentuhan lembut terasa di alisnya, Angkasa mengelus kerutan dahinya yang sedari tadi berpikir. Jantung Tita berdebar kencang seraya Angkasa dengan pelan mengecup bibirnya dan melumatnya dengan lembut.             Sentuhan ini tidak asing meskipun Tita merasa jika ini adalah ciuman pertamanya.             “Jangan terlalu banyak berpikir,” bisik Angkasa di sela ciumannya, lidahnya menggoda Tita untuk membalas ciumannya.             Dengan ragu-ragu Tita membuka mulutnya dan membiarkan Angkasa menjelajahi mulutnya dengan lebih dalam. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya terasa panas, ia merasakan keinginan lebih ingin memiliki Angkasa.             “Angkasa..” desah Tita ketika Angkasa semakin menyentuhnya lebih intim.             “Boleh?” tanya Angkasa dengan wajah yang memerah.             Malu-malu Tita mengangguk. Mungkin dirinya memang amnesia, namun tubuhnya menunjukkan jika ia mengingat sentuhan pria yang dicintainya.   Mama Amnesia               Tita mengamati dirinya di pantulan kaca. Rambutnya yang pendek, kulitnya yang sedikit kusam dan keriput yang terlihat di bawah matanya. Berapakah usianya? Bukankah ia berusia 29 tahun, tapi mengapa ia terlihat seperti wanita berusia 40 tahun?             Sementara Angkasa masih tetap tampan mempesona, bahkan pria itu jauh lebih tampan dari Angkasa versi remaja yang sangat ia kenal. Tetapi mengapa sekarang ini mereka begitu kontras?             Tita melirik peralatan make up yang tertata rapi di meja rias. Hanya ada bedak, sunscreen yang hampir habis dan lipstik. Ia mengingat jika perlengkapan berhiasnya ketika SMA lima kali lipat lebih banyaknya.             Mengeratkan handuk yang terlilit di tubuhnya, ia berjalan menuju lemari dan mengernyitkan alis. Pakaian yang tergantung sungguh asing dan sangat bukan dirinya. Hampir keseluruhan pakaian yang tergantung berwarna coklat, hitam dan abu. Astaga kemana selera bajunya yang begitu cerah dan berkelas? Mengapa pakaian yang ia miliki seperti pakaian Bi Ica pembantunya?             Ia butuh belanja. Ya, ia butuh belanja! Jika tidak, ia akan merasa sakit kepala. Ia juga butuh melakukan masker, wajahnya terasa mengerut seperti nenek-nenek.             “Ma, belum pakai baju?” tanya Angkasa begitu keluar dari kamar mandi. Pria itu hanya menggunakan handuk yang terlilit di pinggang dengan rambut yang masih basah dan wajah yang begitu segar.             Tita menelan ludahnya dan wajahnya kembali memanas mengingat apa yang mereka lakukan beberapa jam sebelumnya. Bagaimana cara Angkasa yang menyentuhnya, menggodanya bahkan pria itu terlihat sangat ahli membuat dirinya  mendesah.             Angkasa memeluk Tita dari belakang, bibir pria itu mengecup bahu Tita yang tereskpos, matanya menatap pantulan mereka di depan kaca. Sementara Tita  berdiri mematung, bingung harus besikap apa.             “Tita.. kamu sengaja mau ngegoda aku?” bisik Angkasa mencium leher Tita.             Tita melepaskan dirinya dari pelukan Angkasa dan dengan sembarangan mengambil pakaian lalu kembali berlari menuju kamar mandi untuk berganti baju.             Sementara Angkasa tertawa keras melihat sikap Tita. Wajahnya begitu cerah dan terlihat bahagia. Sudah lama sekali ia tidak melihat berbagai macam ekspresi istrinya. Ia betul-betul merindukan Tita yang begitu bebas seperti ini.             Jika amnesia membuat istrinya lebih bebas, maka ia bersyukur.             “Angkasa. Kamu punya jeruk?” tanya Tita begitu mereka selesai shalat subuh berjamaah.             Angkasa mengangguk. “Kamu lapar?”             “Enggak, aku butuh maskeran. Aku lihat kayaknya aku versi dewasa kurang merawat diri, bahkan perlengkapan make up aja cuma sedikit.”             Angkasa menatap Tita dengan mata berbinar. “Kamu mau berhias?”             Tita memegang wajahnya. “Aku ngerasa kulit aku kendur. Sementara kamu ganteng.” Puji Tita malu-malu.             Angkasa membelai pipi Tita. “Di mata aku, kamu selalu cantik.”             Tita menepuk d**a Angkas. “Gombal!”             Angkasa tersenyum dan mencium pipi wanita yang sangat dicintainya itu. “Jeruk ada di dapur, kita ambil ya.”             Dengan bergandengan tangan mereka berdua keluar dari kamar dan turun menuju dapur. Angkasa mengambilkan jeruk pada Tita yang langsung membuat wanita itu dengan sigap mengupasnya, sementara Angkasa duduk di kursi sembari melihat apa yang tengah Tita lakukan.             “Ada alat peras enggak?” tanya Tita.             Angkasa dengan sigap mengambil perasan di lemari dan memberikannya pada Tita. Wanita itu dengan cekatan memeras jeruk, lalu kulitnya ia jejerkan di nampan dan ia simpan di atas meja.             “Enggak di buang?”             “Kulit jeruk ini mengandung vitamin C, jadi kulitnya ini bisa dipakai untuk masker, sebelumnya harus di jemur. Nanti kalau sudah ada sinar matahari aku jemur, nah sementara hari ini aku mau masker pakai air jeruknya.”             “Aku baru tahu, fungsinya apa?”             “Untuk menyehatkan kulit dan mencerahkan juga. Yuk ke kamar, aku butuh kuas wajah buat melumurinya.”             Selesai bermaskeran, Tita mengamati wajahnya yang terlihat lebih segar dan cerah. Sementara Angkasa yang sedari tadi berada di belakang Tita tersenyum melihat istrinya yang begitu riang. Ia akui jika istrinya jarang melakukan perawatan, bahkan rambut yang pendek itu hasil dari potongannya karena Tita menolak untuk ke salon.             Angkasa sedikit kecewa terhadap istrinya, ia merasa tidak layak disebut suami karena Tita yang dulu sangat berbeda dengan Tita sekarang. Tita begitu perhitungan dan benar-benar hemat.             Mereka memang pernah dalam kondisi tidak memiliki apapun, dan dirinya belum mendapat pekerjaan, tetapi sekarang, setelah dirinya bisa mencukupi, Tita masih saja berhemat dan tidak ingin memanjakan dirinya sendiri.             “Angkasa, aku pinjem baju kamu ya,” ujar Tita menyadarkan lamunan Angkasa.             “Kenapa pakai baju aku? Baju kamu memangnya kemana?” tanya Angkasa lembut.             “Baju yang kamu sebut punya aku itu enggak layak disebut baju, bikin sakit mata! Aduh.. kok selera fashion aku menurun ya? Eh aku pinjem t-shirt kamu yang warna putih ya?”             “Boleh aja sih, tapi apa enggak kebesaran?”             “Engga kok,” jawab Tita sambil mengedip genit pada Angkasa membuat wajah suaminya itu merona.             “Hmm,, aku bangunin Aqis dulu ya?”             Tita mengangguk tanpa menoleh pada suaminya.             Angkasa berjalan menuju kamar putrinya yang tepat di sebelah kamarnya. Ia tersenyum melihat posisi tidur Aqis yang berantakan. Persis sekali dengan Tita.             “Sayang, bangun.. yuk siap-siap sekolah,” Angkasa mencium kening Balqis dengan lembut.             “Ngantuk Papa,” gumam Balqis dengan mata yang masih tertutup.             “Ayo bangun sayang, nanti Papa bikinin nasi goreng mau enggak?”             “Engga,”             “Hmm.. kalau mie goreng?”             Balqis mulai membuka matanya dan menatap Papa. “Mau Papa!”             Angkasa tersenyum lebar. “Kalau gitu Aqis siap-siap mandi ya, airnya udah Papa nyalain jadi anget, Papa mau bikin mie goreng di bawah.”             “Mama mana?”             “Lagi siap-siap mau antar Aqis sekolah,”             Balqis tersenyum lebar, ia begitu merindukan sang Mama yang selalu mengantarnya sekolah.             “Good Morning, everyone!!” seru Tita riang di depan pintu.             Angkasa dan Balqis terbelalak melihat penampilan Tita,             “MAMA??”            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN