Reuni dan Nostalgia

1874 Kata
Beberapa kali Ana melihat jam di ponselnya. Ia berjalan terburu-buru seolah dikejar oleh waktu. Melihat layar ponselnya sekali lagi, Ana sedikit heran sebab tidak ada notifikasi pesan sama sekali di sana. Hari ini dia benar-benar sibuk, jadi dia tidak sempat berkirim pesan. "An!" Ana menoleh, dilihatnya Cika tengah berlari tergopoh-gopoh berusaha menyamakan langkah. Wanita itu terlihat beberapa kali mengusap butiran keringat yang ada di dahi sambil berusaha mengatur napasnya. "Cik, ngapain lo lari-lari?" "Ngejar lo dodol! Lo ikut kumpul sama anak-anak gak?" tanya Cika. Ana mengernyit lalu menggeleng. "Gue hari ini mau jemput Beni, Cik." "Beni? Lo balikan?" Ana mengerjap, memukul kepala, keningnya lalu ia sandarkan pada kaca pintu mobil miliknya. Membuang napas, ia tersadar, dan menertawai kemirisannya. Orang bilang Ana baik-baik saja. Mungkin memang benar, karena pada kenyataannya dia masih bisa bernapas seperti biasa, dia masih bisa melakukan aktivitas seperti biasa, dan juga bisa makan seperti sebelumnya. Ya, karena itu memang salah satu kelebihan Ana. Terlihat baik-baik saja. Orang-orang tidak tahu, jika pada kenyataannya terdapat lubang besar yang semakin lama semakin lebar dan Ana tidak tahu bagaimana lagi bisa memperbaikinya. Beni adalah temannya, kekasihnya, hidupnya, dan kebiasaannya. Dia kehilangan semuanya. Tujuh tahun adalah waktu yang begitu lama menurutnya. "Lo gak apa-apa, kan? Walau menurut Cika itu adalah sebuah pertanyaan konyol tidak apa, setidaknya dia bisa mendengar jawaban dari mulut Ana secara langsung, tentang keadaan sahabatnya yang sebenarnya. Ana tersenyum. "Gue ok ... lo gak us--" "An!" Ana menoleh. Ia dapat melihat Keenan di sana tengah berlarian kecil mendekat ke arahnya. Seperti biasa, walau cuaca panas laki-laki itu masih terlihat segar saja. "Eh, lo Cika? Gimana kabarnya?" tanya laki-laki itu menyapa Cika. Cika melongo, tidak menyangka jika Keenan mengenalinya. Dia pikir orang seperti laki-laki itu tidak akan pernah tahu ada manusia seperti Cika yang hidup di sekitarnya. Keenan terlampau jauh, berkumpul dengan orang-orang lain yang sulit dijangkau sama seperti laki-laki itu. Sebenarnya, Ana juga bisa dikatakan sama dengan mereka yang terlahir dengan sendok emas semacam Keenan. Cika menatap Ana yang saat ini ia tahu sedang menggerutu di depannya, lalu tersenyum. Tapi Ana berbeda. Walau sudah terlahir kaya, sahabatnya itu terlihat biasa-biasa saja. Perempuan itu tidak memasang pagar pembatas, jadi Cika dan yang lainnya yang berbeda kasta, tidak pernah merasa canggung berteman dengan dia. Bahkan saat sekolah dulu, perempuan itu berlagak miskin. Wanita itu sering sekali ketika di kantin sekolah membeli es teh yang dibungkus dengan kantong plastik lalu dibagi dua dengan dirinya. "Gue baik," balas Cika kikuk pada akhirnya. Baru kali ini Keenan menyapanya. Dulu walau sering berkelahi dengan Ana, Keenan tidak pernah mencari gara-gara atau bahkan melihatnya. Padahal Cika selalu ada di dekat Ana. "Yuk...," ajak Keenan tiba-tiba kepada Ana. Ana menaikkan satu alisnya. "Maksudnya yuk itu apa ya?" tanyanya. Keenan menatap Cika yang masih diam berdiri di antara mereka. Cika yang bingung malah menatap Keenan balik. Keenan menaikkan satu alisnya. "Cik, pinjam Ana ya?" "Maksud lo apa sih?" tanya Ana lagi kepada Keenan. Melihat Ana yang melotot ke arahnya, Cika melangkahkan kakinya mundur, melipir menjauh. Cika bisa dengar dari belakang sana, Ana memanggil namanya berulang kali. Tapi sudah lah, hari ini ia pura-pura saja tidak mendengar apa-apa. Dia sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi di antara keduanya. Mereka akan berkelahi, dan dirinya terlalu lelah untuk sekedar melihatnya. "Kenapa sih lo, Keen!" gerundel Ana. Keenan selalu dan selalu bikin suasana hatinya bertambah buruk. "Bareng gue." "Ogah!" "Kalau bukan disuruh sama nyokap, gue juga ogah, An." "Tinggal bilang aja udah ketemu, kan beres." "Lo gak tahu nyokap gue, An" "Itu urusan lo!" "Bareng gue!" "Kok lo maksa sih!" Saat Ana akan masuk ke dalam mobilnya, Keenan menarik paksa tangan Ana lalu mendorong pintu mobil wanita itu dengan kaki kanannya. "Keen!" teriak Ana. Keenan kaget. Ia otomatis melepas cekalan tangannya saat mendengar gertakan dari Ana. "Lo masih marah sama yang kemarin?" tanyanya kemudian. Kali ini nadanya bisa diterima oleh telinga manusia. Tidak ada nada tinggi di sana. "Kemarin kenapa?" Mengangkat sudut bibirnya, Keenan berlari sambil kembali menarik tangan Ana dengan paksa. Dia tidak ingin basa-basi lagi, karena dia harus membuat laporan hariannya dengan sang mama. Bersama dengan Ana yang pastinya. Tadinya Ana berniat akan menendang Keenan, tapi begitu sampai di depan sebuah motor matic berwarna putih yang diparkir secara sembarangan di depan kantornya. Ana seketika tercekat, mulutnya terkunci. Dia bingung harus berkata apa. "Kenapa muka lo? Biasa aja kali," sindir Keenan setelah tahu ekspresi Ana. "Lo pakai motor? Sepatu lo kotor sedikit aja dulu langsung lo buang." Ana memegang kedua pipi Keenan. Menggerakkannya ke kanan lalu ke kiri. "Lo Keenan, kan?" tanya Ana mulai ragu dengan keaslian manusia di hadapannya itu. "Gue Keenanlah, yuk ... lo gak alergi, kan pakai motor? Jangan sok cantik deh...." Kenapa ucapan Keenan selalu mengiris hatinya? Dia selalu ingin marah saja saat mendengar laki-laki itu berbicara. Begitu sampai di tempat tujuan, otak Ana lagi dan lagi masih saja dipaksa untuk berpikir. Ia benar-benar bingung akan berekspresi seperti apa? Dulu berdekatan dengan Keenan saja ia alergi. Bagaimana bisa ia terdampar di antara lautan manusia yang kebanyakan berpasangan ini? "Jangan GR lu, dua minggu ini gue diteror nyokap gak ngajak lo ketemu." "Biasa aja kali ngomongnya gak perlu nge-gas juga ... gue kira lo ngajak kencan. Lo tiba-tiba dapat hidayah suka sama gue," tutur Ana. "Ngarep!" balas Keenan lalu mengetuk kening Ana dengan telunjuknya. "Kalo itu bukan hidayah tapi musibah," lanjutnya. "Lo ngajak gue nonton di bioskop? jangan-jangan lo mau merencanakan sesuatu yang jahat. Memasukkan gue ke dalam bioskop lalu membakar gue hidup-hidup, mungkin?" "Lo kebanyakan nonton drama deh kayaknya." "Lo mau duduk dekat gue? Atau kita pesan tiket masing-masing?" tanya Ana yang masih bingung bersikap bagaimana. Keenan menyipitkan kedua matanya. "Lo bisa gak, An diam aja gak usah banyak bacot?" "Ok ... ok ... ayo pesan tiket kalau gitu." "Gue uda beli tiket." Keenan menyodorkan dua lembar tiket tepat di wajah Ana. Ana melotot. "Lo ngajakin nonton film anjing? Lo kira lo itu umur berapa sih Keeen...?" Sepertinya film Scooby-do lebih cocok dilihat keponakan Ana dari pada laki-laki bertubuh bongsor itu. "Udah gak usah bawel ini tuh seru tahu ... gua dari dulu demen banget nonton ini." Keenan menarik tangan Ana. Mengajak wanita itu masuk dengan wajah yang menggebu-gebu. Ana meniup poninya, mencoba untuk tetap bisa mengendalikan diri agar tidak terjadi peperangan di keramaian ini. Dia harus sabar. Keenan memang terlahir egois, harusnya dia tidak terkejut lagi. Sabar ... sabar ... orang sabar rezekinya lancar. Di dalam bioskop, Keenan diam-diam melirik Ana yang tengah asyik melahap popcorn yang dipegangnya. Begitu film diputar, wajah yang tadi menampilkan ekspresi tidak suka, lama kelamaan berubah. Kedua mata wanita itu menjadi berbinar. Ana tampak serius, apalagi saat di dalam sana, Velma tengah mencoba memecahkan sebuah kasus. Detik berikutnya ekspresinya berubah lagi. Ana tertawa terbahak-bahak melihat kekonyolan Shaggi dan itu semua tak luput dari perhatian Keenan. "Ternyata seru banget ya, Keen? Gue mau liat lagi aah ... dulu sempat ada di TV, kan? Dulu sukanya Crayon Sinchan sih gue, jadi gak begitu tertarik sama film itu." Keenan terkekeh. "Bukannya seusia lo itu liatnya drama-drama romantis gitu, An?" "Apa kabar situ?" Keenan berdehem. "Makannya kelakuan lo, kayak Sinchan." "Enak aja...." "Iya ding bukan Sinchan, tapi Gian yang temannya Nobita itu." "Maksud lo gue gendut!" "Salah satunya," jawab Keenan santai. "Maksud lo gue gendut?" ulang Ana. Siapa tahu dia salah dengar, kan? Keenan berdehem. "Sikap lo itu yang kayak Gian, suka banget ngebully orang." "Gue anak baik-baik ya...." "Anak baik-baik apa? Lo selalu ngebully gue, tahu gak?" Ana menatap Keenan lalu melipat kedua tangan di pinggangnya. "Kapan? Gue gak ngerasa tuh...." "Lo ingat dulu sewaktu SMA? Lo nglempar sepatu ke kepala gue?" Keenan menunjuk kepalanya, seperti baru kemarin kepalanya berdenyut akibat ulah dari Ana. Ana mencoba mengingat ingat.... "Mampuuus!" "Lo!" sinis Keenan, menatap Ana dengan geram, satu tangannya ia gunakan untuk mengelus kepalanya yang berdenyut. Ana berkacak pinggang. "Makanya jadi cowok tuh, ya jangan sok kecakepan! Makan tuh sepatu cantik gue!" Keenan mengetatkan gigi-giginya menahan marah. Pandangan matanya tertuju pada sepatu yang tergeletak di depannya. Ia pun mengambilnya. "Hmmm gue apakan ya sepatu ini?" Ana mulai khawatir. Itu sepatu favoritnya, jika sudah dipegang oleh Keenan, maka tidak akan berakhir dengan indah. "Mau ke mana lo!" Teriak Ana, begitu Keenan berancang-ancang akan berlari. Keenan terkekeh, laki-laki itu sengaja mengejeknya. Begitu Ana berniat merebutnya, Keenan tertawa lalu melemparnya ke atas pohon yang ada di belakangnya. "Lo pakai sepatu cuma sebelah doang? Lagi tren ya?" Sindir Cika, tersenyum jahil begitu melihat Ana berjalan hanya menggunakan salah satu sepatunya. Ana melengos. Duduk, ia menyembunyikan wajah di atas meja. "Keenan?" tebak Cika. "Kenapa lagi?" tanyanya kemudian. "Dia tolak Renata, Cik!" Cika melotot. "Yang ditolak Renata kok, lo yang sewot?" Ana melipat kedua tangannya di d**a ... ia menatap papan tulis yang dipenuhi dengan gambar-gambar abstrak karya dari teman-temannya. Tidak tahu apa Cika dengan istilah setia kawan. Jika teman kita merasa tersakiti, kita juga akan ikut merasakannya. "Lo tahu dia ngomong apa waktu ditembak Renata?" Ana membetulkan posisi duduknya dan menoleh ke pada Cika. "Lo siapa?? Gue gak tertarik," ketus Ana, ia mengerucutkan bibirnya. "Bener-bener gak ada akhlak manusia satu itu." "Gila solimi sekali...!" Cika menggebrak meja sambil tertawa saking gelinya. "Bisa-bisanya dia gak kenal Renata mereka satu kelas tiga tahun Cik!" "Terus Renatanya gimana?" "Nangislaah...." Saat teman-teman yang lain, sudah pulang ke rumah masing-masing. Di sini Ana sekarang masih menunggu satpam sekolahnya mengambil sepatu miliknya. "Makasih ya, pak...," ucap Ana, begitu pak Tono berhasil mengambil sepatu miliknya yang langsung memberikannya kepada Ana. "Iya sama-sama Non. Kok bisa nyangkut di situ sih, Non?" tanya pak Tono, menunjuk ranting pohon mangga tempat tinggal sementara sepatu favorit Ana tadi. "Iya nih Pak ... gak tahu emang nakal ini sepatu," jawab asal Ana lalu buru-buru pamit ke pada beliau. Tiba-tiba bahu Ana disenggol dengan kasar. Wanita itu sampai hampir jatuh dibuatnya. "Ups ... sengaja." Ana melotot, lama-lama takut juga matanya copot saking banyaknya dia melotot hari ini. "Ngapain lo liat-liat? Lo pikir gue pisang? Monyet lo!" Ana menarik napas pelan lalu mengeluarkannya perlahan, diulanginya beberapa kali, hingga amarahnya mulai mereda. Dikeluarkannya kekuatan dirinya yang telah ia kumpulkan selama ini, lalu dengan sekuat tenaga Ana mendorong tubuh laki-laki itu. Bruuuk "Misi complete!" teriak Ana lantang mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia tertawa terbahak-bahak melihat Keenan jatuh tepat ke dalam kubangan bekas air hujan yang sudah tercampur dengan lumpur. Dia tahu laki-laki itu paling tidak suka kotor. "Terus lo dorong gue ke dalam kubangan, terus kalo ketemu lo selalu toyor kepala gue, terus--" Keenan menatap Ana yang terlihat hanya badannya saja yang ada di hadapannya. "Lo dengerin gue gak sih? Ngelamun malah!" "Stop!" Ana mengangkat kedua telapak tangannya menghadap Keenan. "Karena lo yang cari gara-gara lo ingat? Gak mungkin gue ngelakuin itu, karena enggak ada penyebabnya. Lo pasti masih ingat juga, kan? Lo selalu membalas gue dengan lebih parahnya." "Yuk pulang!" ajak Ana tiba-tiba. Karena moodnya seketika anjlok begitu mengingat masa-masa SMA-nya dulu. Sinta is Calling.... "Halo," jawab Keenan. Ana memajukan bibirnya, begitu menyadari perubahan raut wajah Keenan saat menerima telepon. "Jemput aku dong Babe ... Pakai taxi aja ya? Rambut aku habis dari salon soalnya." "Ok aku otw," balas Keenan tanpa berpikir. Keenan menatap Ana. "An, motor gue lo pakai, ya? Ada urusan mendadak nih...." "Lah ... eh, apa?" "Gue naik taxi oke, An? Bye!" "Eh ... Keen!" teriak Ana. Akan tetapi Keenan sudah berlari pergi meninggalkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN