Keenan Galau?

1764 Kata
"Kenapa?" tanya Keenan begitu menyadari ekspresi dari sang kekasih. Keenan sudah memenuhi permintaan Sinta. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah dan hari ini harusnya ia makan siang bersama mamanya. Mamanya sudah menerornya dari seminggu yang lalu supaya hari sabtu dia tidak perlu bekerja. Sekarang, ia malah lebih mementingkan kekasihnya. Tapi sepertinya usaha Keenan agar Sinta tidak kecewa tetap saja selalu tidak bisa membikin wanitanya bahagia. Sinta menunjuk motor yang saat ini Keenan sedang tunggangi. Keenan lalu turun lalu mengitari motor putihnya yang selama ini lebih sering menemaninya ke mana pun ia pergi. Motornya terlihat baik-baik saja, karena memang tidak pernah telat ia bawa ke bengkel. Baru pagi ini ia bawa ke tempat pencucian motor dan harusnya juga terlihat bersih. Itu sih menurut pandangannya. Sinta berdecak. "Aku habis nyalon Sayang... kan aku udah pernah bilang..." Wanita itu melipat kedua tangannya di d**a. "Terus kamu nyuruh aku pakai helm itu lagi? Bisa rusak dong rambut aku. Lagian kenapa kamu gak naik taxi aja sih? Kenapa harus pakai motor itu lagi?" Keenan terdiam beberapa detik sambil memandangi motornya. "Ok, aku pesanin taxi kalau gitu," tukasnya, kemudian membuka aplikasi taxi online yang ada di ponsel. Saat baru saja ia akan menekan tombol pesan, ponsel miliknya tiba-tiba bergetar. Mama.... "Halo, Ma." "Kamu di mana, Ken?" "Lagi..." Keenan melirik Sinta. "Jangan bilang kamu gak jadi ke rumah? Lembur lagi? Mau Mama tutup itu kantor kamu!" "Ma ... bentar Ma...." "Cepat pulang ke rumah! Eh, ke mall aja dulu yang dekat kantor kamu. Di sana, ada Ana yang sudah Mama suruh nunggu kamu. Kamu kan jarang banget ketemu sama Ana. Gimana? Katanya gak bisa hidup kalau gak sama Ana. Bener atau bohong, sih? Tetap sibuk terus sama kantor kamu? Mau tetap jadi anak Mama atau enggak kamu!" "Mama kok gitu ... iya Keenan secepatnya ke sana." Keenan melirik Sinta sekali lagi yang terlihat sudah mulai menghentak-hentakan kaki. Saat Keenan akan menutup teleponnya, mama kembali memanggilnya. "Keen?" "Iya, Ma?" "Kamu gak lagi bohong sama Mama, kan? Kamu masih berhubungan sama wanita itu?" Keenan tersentak, ia bingung akan berkata bagaimana. Mamanya benar-benar memiliki naluri yang kuat. Tebakan beliau selalu tidak pernah salah. "Kamu masih mau membuktikan jika omongan Mama salah?" "Enggak kok Ma ... Keenan ke sana sekarang," tuturnya lalu buru-buru memutuskan panggilan. Perhatiannya kembali ia pusatkan kepada Sinta. "Sayang, aku sudah pesankan taxi. Hari ini kamu pulang sendiri aja ya, bisa?" Ekspresi Sinta kembali berubah. Kali ini Keenan sudah mulai bisa membacanya "Ok, aku anterin." Keenan membuang napas. Dia hanya harus sedikit lebih mengalah agar hubungannya tetap baik-baik saja. Sepanjang perjalanan, Sinta sama sekali tidak menatap Keenan. Bahkan sepertinya pemandangan di luaran sana lebih menarik dari pada dirinya. Keenan berdehem. "Mau mampir dulu, makan?" Keenan menunjuk sebuah warung lalapan yang sedang ramai dengan pengunjung. Keenan pernah diajak teman kantornya ke sana sekali, dan dia langsung jatuh cinta dengan sambalnya setelahnya. Keenan tidak begitu kuat dengan rasa pedas. Akan tetapi herannya, sambal di sana masih mampu ditoleransi oleh lidahnya. Sinta akhirnya menoleh menatap Keenan. Wajah putih wanita itu memerah, sepertinya kekasihnya itu benar-benar terganggu dengan ajakannya barusan. "Ke tempat makan itu?" tanya Sinta sambil memperlihatkan wajah jijiknya. "Enggak deh ... terima kasih. Aku juga udah kenyang. Lagi pula itu jorok banget Sayang ... kamu bisa makan di tempat seperti itu?" Keenan diam setelahnya, walau pun sedikit tidak rela tempat enak seperti itu dikata jorok oleh Sinta. Dia hanya tidak ingin mereka berdua bertengkar hanya karena masalah sepele. Melihat lagi dari dalam mobil, warung yang sudah menjadi tempat makan favoritnya. Dia sama sekali tidak melihat definisi kejorokan di sana, padahal dia paling strict juga dalam urusan kebersihan. "Kapan aku bisa ketemu orang tua kamu?" tanya Keenan begitu sampai di dalam lobi apartemen Sinta. "Orang tua aku sibuk Sayang, nanti-nanti aja kalau mereka di Indonesia, ya? Sekarang aku mau istirahat capek," jawab perempuan itu lalu mencium pipi Keenan. Bukan kah wanita selalu ingin kepastian? Kenapa wanitanya malah seolah menghindar saat Keenan menunjukkan keseriusan? Walau bingung, dia harus memaklumi semuanya, kan? Tentu saja, karena dia menyukai kekasihnya. "Uda lama?" tanya Keenan begitu ia bertemu dengan Ana. Ana cemberut, tidak repot-repot menyembunyikan amarahnya. Gadis itu mendengkus sebelum mendongakkan kepala ke arahnya. "Enggak kok ... baru juga tiga jam..." sindir Ana masih mempertahankan tampang juteknya. "Macet tadi. Mama juga bilangnya mendadak ini," bohong Keenan. Setelah mengantar Sinta, dirinya masih harus mengambil motornya di parkiran kantor, jadi cukup lumayan memakan waktu. "Lagian, kenapa gak pulang aja sih?" "Nih baca aja." Ana memberikan ponsel miliknya ke pada Keenan. Mama Keenan Ana sayang ... nanti sebelum pulang, video call dulu ya sama Keenan. Tapi tante hanya bisa menerima panggilan kamu jam delapan malam. Gimana dong? Gak apa-apa, kan? Tante juga lagi jalan ini sama mama kamu, jadi ya sekalian aja biar mama kamu tahu kamu keluar sama siapa. Ana tahu Keenan saat ini pasti merinding melihat pesan dari mamanya. Emak-emak kian seram dari hari ke hari. "Terus kita mau ngapain sampai jam delapan, An?" tanya Keenan terlihat putus asa. "Mana gue tahu, Keen." "Makan aja yuk." "Gak lapar." "Gue lapar ... temani makan, belum makan dari tadi," putus Keenan tanpa bertanya lagi pendapat dari Ana. Keenan tidak berbohong. Pagi tadi ia lupa sarapan dan siangnya harus menjemput Sinta. Tapi kekasihnya itu malah tidak mau ia ajak makan di tempat makan pinggir jalan. Ana menatap Keenan yang benar kelihatan sedang kelaparan. "Mau makan apa?" tanyanya pada akhirnya. "Gue pengen lalapan yang ada di dekat kampus sekitaran kantor itu lo. Lo sempat kuliah di sana, kan? Kapan tahu itu gue diajak ke situ sama anak-anak ternyata enak juga," tuturnya menggebu-gebu. Ana langsung berbinar. "Lalapan pak Dadang? Capcus! Kangen juga gue sama pak Dadang...." Keenan menatap Ana aneh. "Kenapa?" tanya Ana begitu sadar dengan tatapan Keenan. "Kenapa apa?" La anak ini kenapa batin Ana.... "Kenapa lo mau?" "Tadi lonya yang ngajak. Gimana sih! Gue malah heran sama lo yang bisa makan, makanan di pinggir jalan? Gue kira lo bakalan alergi, sakit perut mungkin?" "Enak aja! Lo pikir gue selemah itu?" Ana mengedikkan bahu. "Mungkin saja." Keenan menatap lekat Ana lalu tertawa getir. Perempuan itu terlahir kaya, bisnis keluarganya ada di mana-mana. Semua yang ia pakai dari atas sampai bawah walaupun terlihat sederhana, akan tetapi dia tahu semuanya itu adalah barang-barang bermerek keluaran terbaru. Kenapa dengan gampangnya wanita itu menerima ajakan darinya yang hanya mengajak dia ke tempat yang tadi ditolak kekasihnya mentah-mentah? "Malah ngelamun ... lo mau ngelamun atau makan?" "Ayo!" ajak Keenan menuju sebuah kendaraan beroda dua yang ia bawa. "Lo bawa motor? Lagi? Lo syuting film? Mau mendalami karakter atau gimana?" Sekali, walau bingung Ana masih bisa memahami. Mungkin Keenan penasaran bagaimana rasanya panas-panasan menggunakan motor, tapi untuk yang kedua kalinya, dia benar-benar tidak habis pikir. Satu-satunya keluarga Bagaskara naik motor itu tidak pernah terbesit sama sekali di dalam pikirannya. "Kenapa emang? Lo enggak mau takut rambut lo rusak?" tebaknya meniru kata-kata kekasihnya tadi. Apa wanita semua memang sama saja? "Gue yang bonceng ya, Keen, udah lama juga nih gue gak bawa motor. Pasti seru!" Lagi-lagi jawaban Ana mencubit ego Keenan. Laki-laki itu berdehem mengenyahkan pikiran-pikiran yang mulai bekerja untuk membandingkan Ana dengan Sinta kekasihnya. Mereka berdua jelas berbeda. "Kenapa lo benci sama gue?" tanya Keenan. Dia sendiri bingung dengan dirinya yang mendadak menjadi melankolis seperti saat ini. Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul dari dalam otaknya. Mungkin karena sebelumnya dia tidak pernah bisa berbincang tanpa adanya kekerasan selama ini. Ini termasuk rekor bagi mereka. "Kenapa lo?" Keenan mengangkat satu alisnya menatap Ana. Perempuan itu balas menatap Keenan. "Kenapa masih tanya sih? Gak sadar apa, betapa menyebalkannya lo itu, Keen?" "Jadi lo beneran benci sama gue, An?" "Lo mau mati? Lo mau minta maaf semua kesalahan lo sama gue?" "Gue gak pernah salah sama lo." Kembali Keenan menatap Ana serius, tampang yang sama sekali tidak pernah diperlihatkannya kepada Ana. "Lo benci sama gue, An?" "Gue benci sama lo?" Keenan mengangguk. "Kata siapa?" Keenan menyatukan kedua alisnya. "Kata siapa gue benci sama lo, gue gak pernah ngomong benci sama lo. Gue cuma sebel aja sama tingkah songongnya elo itu." "Lo selalu mukulin gue, An..." Keenan berkata sembari memainkan botol air mineral di hadapannya. "Ya abis lo cocok buat dipukulin," jawab Ana jujur. "Lo cowok jangan-jangan?" "Enak aja!" "Jadi lo gak benci sama gue?" Ana menghentikan suapannya. "Kenapa? Mulai suka lo sama gue?" "PD!" "Lagian siapa yang gak tertarik sama kecantikan paripurna gue?" "Gue!" Ana mencebik. "Nanti juga lo suka." "Ngarep." "Awas aja lo suka sama gue!" "Gak mungkin!" "Jangan sok percaya diri! Tapi jangan suka sama gue deh ... nanti lo yang repot." "Kenapa gue repot?" "Bukannya, lo uda ada cewek?" Lagi-lagi Keenan terperanjat ia melupakan pertemuan mereka kemarin dengan Sinta. Jujur saat itu dia bingung akan bersikap seperti apa. Pura-pura tidak mengenali Ana kah? Atau sok akrab dengan Ana. "An...." "Hem...?” "Lo ada masalah apa sama Sinta?" "Gue ngerasa gak ada masalah apa-apa sih sebenarnya, tau ah gue...." Jujur, Ana malas membicarakan Sinta saat dia sedang mengisi perutnya. "Kenapa gak dia aja yang lo bawa kemarin?" tanya Ana. "Nyokap gak suka gue pacaran sama Sinta." "Kenapa?" "Nyokap bilang cewek kayak Sinta hanya suka duit gue aja." "Salah sendiri lo banyak duitnya. Jadi Sinta suka sama lo karena duit lo?" "Enak aja! Gue kenal dia waktu gue jadi karyawan biasa An ... ingat? Gue satu divisi sama cowok lo." "Mantan!" "Iya mantan lo. Dia tahunya gue hanya karyawan biasa." "Terus kemarin?" Ana menopang dagu dengan kedua tangannya sambil menatap Keenan. "Kemarin dia bilang lo CEO tempat lo dan dia kerja." Keenan kaget, setahunya dia belum berbicara apa pun kepada Sinta. Tidak mungkin jika kekasihnya mengetahui yang sebenarnya. Bahkan teman-teman dekatnya di sana saja tidak ada yang tahu dengan jabatan dia yang sesungguhnya. "Mungkin dia cuma ngebohongin lo aja..." jawab Keenan. Ia mencoba menarik kesimpulannya sendiri. "Jadi dia bohong ke gue kalo lo CEO Angkasa padahal lo emang CEO-nya, pusing gue." "Gue mau buktiin kalo omongan nyokap itu salah. Sinta enggak seperti yang nyokap pikirin. Gue pengen ngebuktiin jika Sinta suka sama gue karena gue, bukan karena apa yang gue miliki." "Jadi lo pura-pura miskin? Sinetron banget sih lo!" "Lagian gue ganteng, gak masalah meskipun bukan anak orang kaya ... kita udah pacaran dua tahun lo." "Enggak nanya." Ana menyipitkan mata mendekat ke arah Keenan. "Lo tahu apa Keen ... cewek itu yang dicari duit. Percuma ganteng kalau gak punya duit." "Emang lo gitu?" "Gue sih udah kaya." "Makanya lo suka Beni." "Maksud lo! Lo ngajak berantem!" Keenan tertawa. "Gue pengen sekali-kali enggak diatur sama keluarga gue...." Ana berdehem. "Gue paham. Baguslah...." "Terus tentang perjodohan ini, gue mau ngomong yang sejujurnya...." Ana tercekat, entah perasaan apa ini yang tiba-tiba singgah di dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN