1.

1857 Kata
[Juli, 19 tahun lalu.]   "Bagimana bisa kau melahirkan putri kembar?" Seorang pria usia 20-an tahun berkacak pinggang di hadapan seorang wanita kulit kecokelatan yang tergeletak lemah di brankar. Baru dua jam yang lalu wanita bertahi lalat di pelipis itu melahirkan putri kembar, tapi kini si pria malah mencercanya dengan pertanyaan aneh. Memangnya ia yang mengatur kehendak Tuhan? Jika boleh berharap, ia juga tidak sudi bertemu pria ini setahun lalu. Apa dayanya, semua berjalan sesuai kehendak penulis takdir. "Maafkan aku, Arya, aku tidak tahu akan seperti ini," ujar wanita itu dengan wajah memelas. Seorang wanita lain yang lebih tinggi dan berkulit kuning langsat masuk ke kamar rawat itu dengan riang. Ia membawa bayi perempuan dalam gendongan. "Arya coba lihat, dia cantik sekali, kan? Sangat mirip dengan Riana," kata wanita itu, sembari mendekatkan bayi dalam gendongannya kepada Arya. Ia juga menunjukkannya kepada Riana yang tersenyum menatapnya. "Tidak. Ia lebih mirip denganku. Coba lihat mata birunya. Itu dariku, dan hidungnya ini," Arya menyentuh pelan hidung si bayi dengan telunjuk, "sangat mirip denganku." "Ck, kau seperti anak kecil. Minggir! Aku akan menunjukkannya kepada Riana." "Ia memang mirip Tuan Arya, Nyonya. Anda berlebihan mengatakan mirip denganku. Aku tidak secantik ini." Riana menimang-nimang si bayi dalam gendongan dan memberikan jarinya agar digenggam oleh tangan mungil bayi itu. Ia tersenyum bahagia, sangat. "Ini hari terakhirmu melihatnya. Puaskanlah rasa sayangmu itu!" si Nyonya mengubah senyum manisnya menjadi seringai jahat. Riana terkejut atas titah tak terbantah sang Nyonya. Tidak terkecuali Arya yang hanya menyaksikan dari belakang. Pria tampan itu terkejut menyaksikan sendiri kekejaman istrinya. Riana menatap Arya dengan pandangan memohon. Air matanya bahkan sudah membasahi pipi. "Sayang, ... aku rasa..." Ucapan Arya terhenti karena tatapan tajam si Nyonya. "Nyonya. Saya mohon, berikan saya salah satu putriku. Tuan bilang kalian tidak punya riwayat kembar dalam gen keluarga, jadi—" "Jadi, apa, Riana? Kau lupa dengan perjanjian kita?" si Nyonya tidak menunggu jawaban Riana, atau pun terus menyuarakan kekesalan, karena ia langsung bergerak ke pintu saat melihat suster membawa masuk seorang bayi lagi ke kamar rawat. Senyum kembali mengembang di bibir si Nyonya. "Oh, Putriku yang cantik. Terima kasih banyak, Suster," ujarnya dengan ramah, kemudian bayi itu pun berpindah tangan ke dalam gendongannya. Suster hanya tersenyum sembari mengangguk, lalu undur diri dari hadapan mereka. "Nyonya, saya mohon. Setidaknya biarkan saya menyusui mereka sampai setahun. Nyonya, Anda juga wanita, kan?" ucapan Riana kembali berhenti karena si Nyonya berjalan mendekat dan menamparnya. "Apa kau mau menghinaku karena aku tidak bisa mempunyai anak? Mana aku tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang berpisah dari anaknya. Mana aku tahu bagaimana rasanya hamil dan sakitnya melahirkan!" "Cukup, Sayang." Arya mendekat, mengambil sang bayi dari si wanita, kemudian meletakkannya di sisi Riana. Ia memeluk si Nyonya. Sayangnya, si Nyonya menolak pelukan Arya, lebih memilih berjalan keluar dan menutup pintu dengan kasar. Arya mendekati Riana dan mengecup pucuk kepala wanita itu. Ia mengusap dan membawa pipi kanan wanita berwajah pucat tersebut ke dadanya, lalu membiarkannya menangis sampai puas. "Maaf, aku tidak bisa melawan Istriku. Nia memang sangat sensitif. Kau sudah mengenalnya setahun ini, pasti mengerti sikapnya." Riana mendongak, menghentikan sejenak tangisnya untuk melihat iris biru cerah Arya. "Dia mengambil keduanya, dia ibu dari si kembar." "Jangan bodoh! Keduanya akan selamanya menjadi putri Ariana Harvey." Arya mengecup kening Riana sebelum beranjak keluar. Arya terpaku di depan pintu, masih memegang handelnya, belum membuka. Entah apa yang dipikirkannya. Ia berbalik dan duduk di tepi ranjang sebelah Riana, kemudian menggenggam tangan kanan wanita itu. "Aku sangat senang bisa bertemu denganmu malam itu. Aku akan bertanggung jawab untuk hidupmu, dan kau boleh memberi nama pada kedua putri kita." Riana sedikit tersenyum. Ia tahu Arya bukanlah pria yang buruk, karenanya, ia rela melakukan apa pun untuk Arya. Cinta yang membuatnya bodoh. Tersenyum, Riana berkata, "Aku akan memberi nama Alcina. Artinya gadis yang cantik dan cerdas." Senyum menghiasi wajahnya. Arya mencubit gemas hidung Riana. Ia tersenyum jahil, lalu mengecup bibir tipis wanita itu. "Seperti baru pertama kali saja. Hahaha...." Arya tertawa melihat ekspresi terkejut dan malu-malu Riana. "Lalu yang lebih dulu lahir ini, akan diberi nama siapa?" "Alina." *** [5 tahun kemudian.]   "Alina?" "Yes, Mom? Apa Mommy memanggilku?" Seorang anak perempuan bersurai hitam sebahu berlari turun dari lantai atas, dan meloncati tiga anak tangga terbawah sekaligus. Wajah lonjong putihnya yang simetris berseri. "Hati-hati, Sayang. Mom tidak ingin putri Mom ini terluka." Nia berjongkok, dan memeriksa kaki putrinya, takut kalau ternyata ada yang cedera. "Oh come on, Mom. It's fine. I'm strong like Dad," ujar Alina sambil bersedekap dan menggembungkan pipi. (Artinya: Ayolah, Mom. Itu bukan masalah. Aku kuat seperti Papa.) "What? You can speaking English now. Siapa yang mengajarimu?" tanya Nia sambil menatap iris biru cerah putrinya. (Artinya: Apa? Kamu bisa Bahasa Inggris sekarang.) "You, of course. So what the problem, Mom? Why you call me?" "Aha, do you want to argue with me in English? How dare you are!" Nia menggelitiki putrinya sebelum si putri berlari dan aksi kejar-kejaran di ruang tamu itu pun berlangsung. (Artinya: Kau mau adu argumen denganku dalam bahasa inggris?) "Alina, stop! Mom capek. Istirahat sebentar, sebelum kita akan jalan-jalan hari ini." Nia duduk di sofa dengan napas terengah-engah. Alina mendekat dan duduk di sebelah Nia. Ia menatap ibunya dengan pandangan berbinar dan terlihat antusias. "Seriously? With Sina and Dad?"  (Artinya: Benarkah? Dengan Sina dan Papa?) "Yes. Prepare your bag and change your cloth. Mom tunggu di depan."  (Artinya: Ya. Siapkan tasmu dan ganti bajumu.) Alina bergegas ke kamarnya di lantai atas. Membuka pintu jati berplitur cokelat tua, ia lantas bergerak ke lemari besar di sudut kanan kamar. Ia memilih pakaian yang dirasa cocok untuk dipakai saat jalan-jalan. Setelah membongkar beberapa baju, pilihannya jatuh pada long dress warna biru muda, dengan panjang lengan seperempat. Alina tampak senang saat memakainya, lalu ia bercermin di depan kaca besar yang memantulkan dirinya. Mengambil botol plastik silinder berisi bedak di nakas, ia kemudian menabur bubuk putih itu ke tangannya, lalu mengusap asal ke wajahnya. Bedak bertumpuk di pipi dan keningnya, bahkan mengenai bibir tipis itu. "Cantik. Papa pasti suka," ujarnya di depan cermin sambil cengengesan. Alina kemudian menuruni tangga dan membuka pintu rumah, namun masih mematung di sana karena mendengar perbincangan kedua orang tuanya. "Alina tidak bisa keluar. Apa kata orang jika mereka melihatnya?" Arya berkacak pinggang di depan Nia yang bersedekap. "Dia sudah terkurung selama lima tahun. Aku ingin mengajaknya melihat dunia luar sekali ini. Jangan membantahku!" titah Nia, tak mau kalah. "Kau terlalu memanjakan monster itu. Sesuai perjanjian, dia harus mati meski masih hidup. Aku tidak ingin Papa melihatnya!" Arya bersandar ke mobil sport hitam di belakangnya. Rahang itu mengeras, tatapannya tajam. "Aku mohon jangan panggil dia seperti itu. Hanya sekali ini. Aku akan membawa Sina juga, dan kau bisa ikut untuk mengawasi." "Aku—" Ucapan Arya berhenti karena seorang anak perempuan berlari ke arahnya dan memeluk kakinya. "Papa... Lihat! Cina dapat mawal dali taman cebelah cana," ucapnya sambil menunjukkan setangkai mawar, lalu beralih menatap Nia di sebelahnya, "Loh Mama di cini? Kakak di mana?" Alcina yang celat huruf R dan S terlihat sumringah karena Nia mengelus kepalanya. Arya mengambil mawar dari genggaman Alcina, lantas menyerahkannya ke Nia, sementara ia sendiri mengangkat anak itu ke pundak. Kedua kaki mungil Alcina terjulur ke samping bahu kanan Arya dan ia memegang erat pinggang putrinya tersebut. Alcina merentangkan kedua tangannya seolah terbang. "Yuhu... pilot Cina di cini akan belangkat ke palic belcama Papa. Hahahaha...." Alcina tertawa riang setiap kali Arya berputar dan membuatnya pusing. Alina memandang semuanya dari balik pintu yang terbuka sedikit. "I want flight with you, Dad. Kenapa Alin harus mati saat hidup?" tanya Alina pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepala, lalu mendekat pada keluarga bahagia di depannya. (Artinya: Aku ingin terbang denganmu, Pa.) Setelah mengembuskan napas dan memaksa senyum terukir di bibir, ALina membuka pintu rumah, lalu mendatangi keluarganya di halaman itu. "Mom. I had finished." (Artinya: Mom, aku sudah siap.) Semua mata menatap Alina. Arya kemudian menurunkan Alcina, sementara Nia tersenyum melihat putri kesayangannya. "Sini, Sayang. Alin cantik sekali. Sejak kapan pintar berdandan?" tanya Nia, sambil berjongkok dan merapikan bedak yang tertumpuk di wajah Alina. Alina tidak menjawab. Ia melirik Arya, berharap kata pujian atau sekadar sapaan terucap dari bibir pria berbadan tegap itu, tapi nihil. Pria itu hanya masuk ke mobil tanpa senyum sedikit pun. "Kakak cantik. Cina juga mau yang putih-putih itu, Ma," rengek Alcina sambil menarik ujung baju Nia. "Bedaknya di dalam, Sayang. Nanti kelamaan kalau kita harus ambil lagi. Kalian masuk mobil saja." Alcina menurut sambil merengut.  Ia berjalan ke mobil. Nia ingin menyusul, tapi ponselnya tiba-tiba berdering. Ia sedikit menjauh saat menjawab teleponnya. "Sina mau pakai bedak juga?" tanya Alina pada adiknya. Alcina hanya mengangguk penuh binar harap di matanya. "Nah, sini." Alina mengusap pipinya, kemudian mengusap pipi Alcina. Memindahkan sedikit bedak di pipinya ke pipi sang adik. "Coba lihat sekarang." Alina melingkarkan tangan di perut Alcina kemudian mengangkatnya, membantu si adik kembar agar terlihat di kaca spion mobil. "Aku cekalang udah cecantik Kakak. Telima kacih, Kak." Alcina mengecup pipi kiri Alina setelah diturunkan kembali. Nia mendekat, kemudian mengecup pipi kanan Alina. "Putriku yang pintar," ujarnya, kemudian memeluk dengan sayang. "Cina juga mau dipeluk, Ma." Alcina mengulurkan kedua tangannya pada Nia tapi Nia hanya menarik tangan kanan Alcina dan menarik serta tangan kiri Alina. Ia memasukkan mereka ke jok belakang mobil. ***   Arya memeriksa mobil. Seingatnya ia tidak pernah melihat pisau di dekat ban depan mobilnya, tapi ia mengabaikan saja karena harus segera meletakkan Alcina yang tertidur dalam gendongan ke jok belakang. Senja mulai datang, dan Arya sudah lelah karena menuruti Alcina yang berlarian di kolam renang sepanjang siang ini. Putrinya yang satu itu benar-benar aktif. Berbeda dengan Alina yang hanya diam melihat semua orang seakan mengawasi. Arya terkadang sedikit ngeri dengan perangai anaknya yang satu itu. Alcina yang tertidur, diletakkan Arya ke pangkuan Nia, dengan kepala Alcina di paha wanita itu. Sementara di sisi lain ada Alina yang baru saja tertidur sambil memeluk perut Nia. "Kau ibu yang baik, Nia. Aku sangat mencintaimu," ujar Arya lalu mengecup kening wanita itu sebelum menutup pintu mobil. Ia bergerak ke balik kemudi dan mengendarai mobil dalam kecepatan sedang. "Aku juga sangat mencintaimu, Arya. Hemm ... Arya, aku rasa Riana pasti merindukan putrinya. Bawalah anak-anak menemuinya." Nia menatap Arya dari spion dan menyunggingkan senyum manisnya. "Ah, kau sudah mengerti rasanya menjadi seorang ibu, ya. Baiklah." Arya balas tersenyum, sebelum senyumnya hilang akibat mobil yang mereka tumpangi tidak terkendali. Arya coba menghentikan mobil dengan menginjak rem, tapi tidak berhasil. Tak punya pilihan lain, Arya terus berusaha menghentikan mobil sampai akhirnya menabrak tembok sebuah bangunan tua. Ternyata nahas tidak berhenti sampai di situ. Tiba-tiba saja sebuah truk pemuat bahan bangunan datang entah dari mana, dan berjalan cepat, seolah sengaja menabrak mobil mereka. Sebuah besi runcing yang diangkut truk itu menembus kaca belakang mobil dan tepat menusuk d**a kiri Nia. "Hua.. Ha.. a... a... a ... Mama, kaki Cina beldalah... hiks, Kakak ... kenapa cuma liat Mama? Bangunkan Mama, Kak, kaki Cina cakit ... Kakak? Kenapa teluc liatin Mama? Papa? Papa, kaki Cina cakit... Papa kenapa tidul juga? ... Kakak jangan cuma liatin Mama...." Alina mengabaikan rengekan Alcina. Gadis kecil itu hanya menatap tubuh kaku Nia yang banjir darah. Hanya menatapnya dengan mata terbuka lebar, tanpa bergerak sedikit pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN