#1

1420 Kata
“Tanda tangan di sini, di sini, dan … di sini!” Seorang pria menatap dengan ekspresi wajah datar. Tangan kanannya aktif membubuhkan tanda tangan mengikuti perintah wanita di depannya. Tak pernah terpikirkan dalam hidupnya bahwa ia akan menjalani pernikahan kontrak seperti cerita yang pernah ia baca di novel online teman karibnya. Bagi Satria, pernikahan mereka yang sudah berlangsung cukup lama bukanlah porsinya untuk melakukan pernikahan kontrak seperti permintaan istrinya. Ya, jika saja Satria memiliki cara lain untuk menahan istrinya yang bermaksud menggugat cerai pastilah ia tak akan sampai seperti ini. “Semuanya udah selesai, lo mau nyimpen salinannya gak, Bang Sat?” Satria menghembuskan napasnya yang terasa berat, sejurus kemudian dia melirik wanita yang sebaya dengannya. Tak ada ekspresi lain selain ekspresi dingin yang biasa ia tunjukkan tujuh hari terakhir. “Kayanya kamu kebanyakan baca novel deh, atau kebanyakan nonton drakor? Beneran nih kita perlu kontrak perjanjian kaya gini?” dengus Satria, sementara wanita di hadapannya hanya menyunggingkan senyum sekilas. “Pokoknya selagi gue belom punya cowok lain, lo harus tanggungjawab sama status yang ada di buku nikah, juga poin-poin ini. Perjanjian ini gak bisa dibatalin, karena selain bermaterai juga udah ada cap jempol lo, paham?” “Ck, kenapa bini gue jadi kaya gangster gini sih?” keluh Satria. Sementara wanita yang ia maksud segera berdiri setelah selesai membenahi surat perjanjian mereka dan melenggang begitu saja. “Pake cap jempol segala …, tahu gitu tadi gue cap-nya pake ceker ayam! Hah … Rin, Arin, gue ga yakin bakal ada cowok yang mau sama lo selain gue.” Baru saja Satria menselonjorkan kakinya di sofa, bermaksud untuk beristirahat, gemuruh di langit terdengar menyeramkan. Tetapi, teriakan istrinya, Arin, lebih menyeramkan daripada apapun. “Hoy, jangan santai aja! Cepet ambilin jemuran, mau ujan nih, Bang Sat!” “Ck, iya iyaaa … ini otw ambilin!” balas Satria dengan malas, ia harus bangkit meninggalkan posisi nyamannya. Dalam hati kadang dia menimbang dan mengutuk diri atas keputusannya untuk pulang ke tanah air, atau mungkin harusnya ia tak pernah pergi dari sini jika dia tahu bahwa istrinya akan berubah menjadi cosplayer ibu tiri. *** Tujuh hari yang lalu, sebelum kontrak perjanjian pernikahan dibuat. “Ya ampun, suami-suami gue ada-ada aja kelakuannya! Hahahaha!” Seorang gadis terpingkal-pingkal di atas kasurnya, masih dengan mata berkaca melihat aksi sekumpulan pria tampan di layar gadgetnya. Gadis itu Haezellya Karin Tsalis, gadis dengan usia dua puluh delapan tahun. Usia yang cukup matang tetapi masih jomblo di mata orang-orang, seorang perawat yang sering konslet jika kebanyakan kerja, sangat senang menonton variety show serta konser oppa-oppa idamannya yang menurut sebagian orang hanya buang-buang uang. Tetapi bagi Arin, pria-pria tampan dan pilihan itu adalah pelipur laranya ketika ia sendirian di rumah. Seperti kali ini, tak peduli dengan suara hujan dan petir yang sesekali mengiringi, Arin tetap fokus pada ponselnya sambil cekikikan sendiri. Hatinya sudah merasa senang, penatnya berkurang saat se-teflon spaghetti mengisi perut rampingnya. Memang sudah jadi kebiasaan Arin untuk memakan makanan favoritenya dari alat masaknya langsung seperti sekarang ini. “Aduh apa sih nih?” alis Arin berkerut, dia geram saat panggilan masuk dari nomor tidak dikenal mengganggu tontonannya. Arin segera mereject panggilan itu tetapi detik berikutnya nomor itu kembali memanggil. “Ini apa-apaan sih? Penipuan giveaway? Agen asuransi? Atau marketing pesugihan? Pake telpon-telpon gue segala, ck!” Arin tak ingin mempersulit hidupnya, secepat kilat ia memblokir nomor tersebut dan kembali melanjutkan tontonannya dengan seksama. Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai lima menit berikutnya Arin mendengar pintu rumahnya terbuka. Tanpa mem-pause acara, Arin mempertajam indera pendengarannya. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa harusnya tak ada orang yang bisa masuk selain dirinya, pemilik tunggal rumah ini. Bahkan ibu dan adik-adiknya pun tidak ada yang memiliki kunci rumah miliknya, lantas kenapa pintu bisa terbuka? Arin segera mengambil teflon dengan beberapa helai spaghetti yang masih tersisa, ia mengendap dan membuka pintu kamar tanpa suara. Dari kamarnya di lantai dua, jelas terlihat pintu utama rumahnya terbuka lebar. Arin mengeratkan cengkramannya pada teflon yang ia pegang, sialnya lampu lantai satu sudah ia matikan semua, jadi Arin tak bisa melihat dimana pencuri itu berada. Tetapi Arin tidak ikhlas jika harta benda yang ia kumpulkan ludes digondol pencuri begitu saja, jadi Arin tetap mengumpulkan keberanian untuk menuruni tangga. “Gue harap dia belum naik ke lantai dua, kalau dia muncul tiba-tiba bakal gue geplak kepalanya!” ujar Arin berusaha fokus sambil menenangkan diri. Kedua netra hitam Arin bergerak-gerik melihat sekeliling, ia tak mau kalau pencuri itu tiba-tiba saja ada di belakangnya. Tetapi saat Arin menatap lurus ke depan, sosok pria berpakaian serba hitam sudah berdiri di ambang pintu, kedua tangannya membawa sebuah benda kotak persegi panjang dan mematung menatap Arin yang berdiri di hadapannya terpisah tiga buah anak tangga. Keduanya membeku, sampai petir menggelegar dan menyebabkan efek flash pada pria itu. Arin yang terkejut segera loncat dan refleks memukul kepala pria tersebut. “Hai, A–” GEPLAKK! “Mampus lo, bangsatt!” Pria itu terhuyung, barang yang dia bawa terjatuh ke lantai begitu pun dengan Arin yang ikut jatuh namun segera berusaha bangkit. Saat pria itu ambruk, Arin mengambil kesempatan untuk memukulnya lagi agar pria itu pingsan. Baru saja Arin berancang-ancang, tetapi pria itu berhasil mencegahnya. “Stop, Rin! Ini aku, suamimu!” Arin mematung, matanya membola mendengar suara pria itu sembari merintih kesakitan. Arin tak habis pikir bagaimana bisa pencuri itu mengaku suaminya dan menjadikannya alasan supaya tak kena pukul? “Arin … kepala aku ….” Belum sempat pria itu melanjutkan kalimatnya, dia sudah terlanjur kehilangan kesadaran sampai ambruk di lantai. Arin terkejut, ia bergegas menyalakan lampu dan kembali lagi pada pria itu, ia ingin memastikan siapa pria asing yang datang seperti pencuri tetapi mengaku sebagai suaminya? Arin mendekati pria jangkung berbalut celana jeans dan jaket kulit hitam, rambutnya basah dengan beberapa tetes air hujan yang juga membasahi kulit wajahnya. Arin tertegun dengan mulut terbuka, hampir saja jantungnya copot melihat pria yang terkapar di lantai rumahnya. “Kenapa lo bisa ada di sini, Bang Sat?” *** Hujan telah reda, kini malam yang dingin itu berganti dengan sinar matahari yang masih malu-malu di balik awan tetapi tetap berhasil membangunkan Arin yang memang terbiasa bangun pagi. Berkali-kali ia menguap sambil menggosok mata. Lehernya terasa keram dan badannya pegal-pegal. Arin membuka matanya dan merasa bingung kenapa ia tertidur di ruang keluarga? Lebih tepatnya ia duduk di lantai menghadap televisi. “Aneh, apa gue ketiduran? Atau tidur sambil jalan?” gumam Arin yang masih terlupakan kejadian semalam sampai ia dikejutkan dengan sebuah tangan yang mengenai pundaknya. Arin terkesiap saat menoleh ke sisi kirinya. Ada seorang pria yang terlelap di sofa abu tepat di belakang punggungnya. Sambil mengatur dadanya yang berdebar karena terkejut, Arin memerhatikan dengan seksama wajah pria yang sudah menghilang sepuluh tahun terakhir, sosok suami yang hanya memberi status di buku nikah yang Arin miliki. “Lo makin ganteng ya Bang? Syukur deh, ternyata lo bisa urus diri, gue kira lo bakal jadi kaya gembel.” Arin tersenyum kecut menghibur diri menatap wajah tampan di hadapannya. Alis tebal dan rapi, hidung mancung nan ramping serta bibir tipis yang akan menunjukkan lesung pipi samar saat pemiliknya tersenyum, wajah tampan yang terlihat manis dan tak membosankan meski memiliki bekas luka di tulang pipi kirinya. Luka yang ia dapatkan saat bermain sepeda saat kecil, luka yang membuat pria itu menangis dan Arin harus membujuknya, membelikan kuaci agar bocah pria itu berhenti menangis. Lagi, Arin tersenyum sekilas mengingat dulu dia dan suaminya adalah teman sepermainan dari kecil dan tak menyangka bahwa mereka akan menikah setelah lulus SMA. Meski pernikahan itu adalah keinginan sepihak, yakni keinginan mendiang ayah Arin sebelum tutup usia. Masih Arin ingat jelas janji suaminya pada sang ayah yang akan selalu menjaga Arin, tetapi faktanya pria itu malah pergi keluar negri dengan dalih melanjutkan jenjang Pendidikan sampai S2. Mengingat hal itu rasanya membuka kembali luka di hati Arin, status hubungan yang lebih erat nyatanya malah membuat mereka menjaga jarak dan dinding pembatas di antara mereka semakin tinggi dan tebal. Selama sepuluh tahun ini pula Arin hilang kontak dengan suaminya, membuat Arin menyembunyikan status pernikahannya dan tetap menggunakan KTP lajangnya jika kemana-mana. Sementara kedua mertuanya? Hanya menelpon jika ada perlu saja. “Udah cukup!” desis Arin, ia menggelengkan kepala agar berhenti memikirkan hal pahit yang memenuhi isi kepalanya. Arin bangkit, berniat mandi dan berangkat kerja, tetapi sebuah tangan kekar erat mencengkram pergelangan tangannya. Arin segera menoleh, memastikan suaminya dalam keadaan sadar menahannya. Kedua pasang mata itu bertemu dan keduanya tertegun, sampai Arin memutuskan untuk melepas cengkraman itu tetapi tertahan karena pria itu mencengkram lebih erat. “Jangan pergi, Arin ….”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN