Seorang Anak di Pulau Konglong

999 Kata
Prolog Apa jadinya jika bumi hanya dijadikan sebagai medan pertempuran bagi sekelompok manusia sakti yang tak bermoral? Hal tersebut terjadi di daratan Benua Timur beribu-ribu tahun yang lalu. Bumi tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Gunung, daratan dan lautan hanya disesaki oleh jasad-jasad manusia yang gagal menyelamatkan diri. Tumbuhan dan binatang menjadi makhluk yang hampir-hampir punah keberadaannya. Kekacauan tersebut setidaknya berhasil mengambil lebih dari separuh populasi manusia di Benua Timur. Penyebab dari semua kejadian tersebut adalah pertempuran tujuh manusia sakti yang sama-sama ingin menjadi nomor satu. Tujuh manusia sakti adalah tujuh pendekar terhebat di masanya. Para pendekar yang telah mampu melampaui batas kekuatan manusia. Kekuatan mereka bahkan lebih tinggi daripada kekuatan seribu pendekar hebat di masanya. Mereka bukan lagi disebut pendekar, bukan juga disebut dewa, orang-orang menyebutnya sebagai iblis bumi. Ketika Benua Timur sudah berada di ambang kehancuran, Dewa mengutus tujuh kesatria untuk menghukum para iblis bumi. Pertempuran terbesar sepanjang sejarah pun terjadi. Tujuh kesatria langit nyatanya tak mampu mengalahkan tujuh iblis bumi. Legenda mengatakan, tujuh kesatria langit itu pada akhirnya mengeluarkan jurus yang paling ditakuti oleh mereka sendiri. Jurus tersebut adalah jurus penghancur malapetaka. Bukan hanya bisa mengahcurkan musuh, jurus tersebut sekaligus menghancurkan para kesatria langit yang telah dikirim Dewa. Kedahsyatan jurus penghancur malapetaka ternyata tak mampu ditampung oleh bumi. Bumi bergejolak, gunung menjadi serupa kapas dan lautan memuntahkan isinya. Seketika, Benua Timur terbelah menjadi tiga daratan besar dan seribu pulau-pulau kecil tak bernama. Tiga daratan baru yang terbentuk masing-masing bernama, Daratan Caihong, Daratan Bingdao, dan yang terakhir adalah daratan Shamo. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk membuat tiga daratan tersebut pulih sebagaimana mestinya. Manusia-manusia yang tersisa, perlahan-lahan kembali bangkit untuk membangun kehidupan. Peradaban baru pun tercipta. Kedamaian menjadi sahabat manusia selama beratus-ratus tahun berikutnya hingga pada suatu hari, seorang petani di daratan Caihong membuat geger semua orang lantaran menjadi pendekar sakti hanya dalam waktu yang sangat singkat. Kesaktian tersebut, menurut kabar dari mulut ke mulut, dipicu oleh permata roh suci yang ia temukan di suatu tempat. Permata Roh Suci tersebut dipercaya sebagai wujud dari Kesatria Langit yang telah berkorban memusnahkan iblis bumi. Perburuan permata roh suci pun dimulai. *** Tiga ratus tahun dihitung dari saat pertama kali Permata Roh Suci ditemukan, hiduplah seorang kakek tua bersama cucunya di tengah kedalaman hutan di pulau Konglong. Pulau Konglong adalah satu dari seribu pulau kecil yang merupakan pecahan dari Benua Timur setelah mengalami bencana besar. Manusia di zaman ini tak mengenal Benua Timur, legenda terbelahnya benua tersebut hanya menjadi dongeng dari mulut ke mulut yang diragukan kebenarannya. “Kakek…. Kakek…,” seorang anak kecil berusia enam tahun sedang berteriak-teriak dari dalam goa. Ia berteriak hampir selama satu jam tetapi sang kakek tidak juga datang padanya. Anak kecil tersebut berulang kali mengusap keringat di keningnya, ia sudah hampir menyerah dengan tugas yang diberikan sang kakek di hari itu. Jika hari-hari sebelumnya si kakek memintanya untuk berburu rusa, atau sesekali juga singa, kali itu si kakek membebaninya dengan tugas untuk berburu gajah. Tak hanya sembarang gajah, si kakek juga mewajibkan untuk cucunya memilih gajah dengan belalai terpanjang di dalam hutan. Anak kecil tersebut sudah mulai berburu gajah ketika matahari belum terbit dengan sempurna. Saat di mana ia berteriak-teriak memanggil kakeknya, matahari sudah bersiap-siap untuk membenamkan diri. Itu artinya, hari akan berganti malam, dan anak kecil itu bahkan belum sempat sarapan. Anak kecil tersebut bernama Zhou Fu, ia berteriak bukan karena putus asa akibat gagal menangkap gajah belalai panjang. Ia setidaknya sudah berhasil menggiring gajah buruannya masuk ke dalam perangkap yang ia pasang di goa ketika hari masih siang. Zhou Fu mulai berteriak-teriak memanggil kakeknya karena ia tidak tahu bagaimana caranya membawa buruan sebesar itu ke gubuk yang ia tinggali bersama si kakek. Jarak dari goa itu ke gubuknya adalah sekitar tiga mil, jarak yang tak jauh jika saja buruannya adalah harimau, atau mungkin buaya. Ketika hendak berangkat memburu gajah, Zhou Fu lupa untuk bertanya pada sang kakek tentang bagaimana caranya mengangkat buruan sebesar itu. “Kakek… Kemarilah, jika kau bersedia menolongku, aku janji besok akan membawakan dua gajah untukmu!” Zhou Fu kembali berteriak dari dalam goa, suaranya yang cukup kencang membuatnya langsung menutup telinga sebab goa yang ia tempati mendengungkan teriakannya berkali-kali lipat lebih kencang. “Apa kubilang, kau bahkan belum cukup kuat untuk disebut sebagai anak-anak,” seorang kakek tua berjalan memasuki bibir goa dengan langkah yang cukup santai. Ia mengamati hasil buruan cucunya dengan tanpa rasa kagum sedikit pun, “saat aku seusiamu, aku bahkan bisa melempar induk gajah hingga berpuluh-puluh mil jauhnya!” Zhou Fu mulai menutup telinga dengan kedua tangannya. Ia selalu kesal jika sang kakek menceritakan kehebatan-kehebatannya di masa kecil. “Jika kakek sehebat itu semasa kecil, mengapa kita harus bersembunyi di hutan ini sepanjang waktu,” Zhou Fu mendengus kesal, ia selalu ingin untuk berpetualang tempat-tempat lain selain di pulau Konglong, tapi kakeknya selalu berkata jika dunia terlalu kejam dan mereka berdua belum cukup kuat untuk melangkah keluar. “Ya, jika aku pergi sendiri, kukira aku akan bebas menikmati dunia yang keras. Tapi sial, aku harus merawat bocah kecil yang bahkan tak bisa membawa pulang binatang buruannya,” si kakek menjawab sambil tangannya menggesek-gesekan batu dari dalam goa. Sepertinya ia berniat untuk bermalam di goa tersebut bersama Zhou Fu sambil menikmati kepala gajah belalai panjang. Jauh di dalam lubuk hatinya, si kakek sebetulnya cukup kagum dengan kemampuan Zhou Fu yang melebihi anak-anak pada usianya. Sayangnya, meski berulangkali ia berharap bisa memuji cucunya itu, ia kembali ingat jika Zhou Fu harus mendapat didikan untuk menjadi lebih kuat dan lebih kuat lagi. Pujian hanya akan menghambat perkembangan. Oleh sebab itu, sehebat apapun pencapaian yang bisa diraih oleh Zhou Fu kecil, si kakek tak pernah sekali pun menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti. Masa lalu yang pahit menjadi alasan utama si kakek membesarkan Zhou Fu dengan didikan yang keras dan kejam. Kenangan buruk yang menimpa Zhou Fu kecil harus ditebus dengan perjuangan yang maksimal. Zhou Fu harus menjadi yang terkuat, jika tidak, bencana di masa lalu akan terulang kembali dan semuanya menjadi sia-sia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN