〰〰
Jika sang waktu tak membiarkan kita untuk bertemu maka biarkan sang angin membawa salam rinduku untukmu.
〰〰
Sisi meletakkan pulpen yang dipegangnya. Menekuk kedua lengannya dan menenggelamkan wajahnya diantara lekukan lengan itu.
Airmatanya kembali menitik dan isak tangisnya mulai pecah, semua karena Axel.
〰〰
Sisi tersentak dari tidur siangnya saat telinganya mendengar suara ketukan di pintu apartemennya.
"Si, Sayang. Kamu ada di dalem, Si?" suara Binar membuat mata Sisi terbuka lebar.
Buru-buru ia bangun dari tempat tidurnya dan bergegas membukakan pintu untuk Binar.
"Mommy!" panggil Sisi saat melihat wanita itu tengah berdiri didepan pintu apartemennya.
Binar tersenyum lembut. "Mommy bawain---loh, Sisi. Kenapa?" ucapan Binar terpotong karena tiba-tiba gadis itu menubruknya dan menumpahkan tangisnya. "Kamu kenapa, Sayang?"
"Mommy---" panggil Sisi lagi.
"Sssssttt. Mommy disini. Kamu kenapa, hm?"
Sisi semakin terisak mendengar nada bicara Binar yang begitu mirip dengan Axel. Semua yang ada pada Binar begitu mengingatkan ia pada Axel.
"Masuk dulu, cerita sama Mommy!" Binar menuntun Sisi masuk kedalam lalu duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu mengurai pelukannya, kedua tangannya menangkup pipi Sisi dan menyeka airmata yang mengalir di pipi chubby itu.
Isak tangis Sisi masih terdengar tapi gadis itu berusaha meredam tangisnya.
"Kenapa nangis? Kamu diapain sama Alex?" tanya Binar cemas.
Sisi menggeleng cepat dan punggung tangannya kembali bergerak mengusap matanya yang terus-terusan basah.
"Bukan Kak Alex, Mom!" jawab Sisi pelan.
"Terus?"
Sisi menatap Binar lekat dan menggenggam jemari wanita paruh baya itu. "Sisi mohon percaya sama apa yang Sisi katakan sama Mommy!"
Binar tersenyum dan membalas genggaman tangan gadis itu. "Emangnya kamu mau ngomong apa?"
Sisi tampak terdiam sebentar sebelum menjelaskan kegundahan hatinya. "A--Axel, Mom. Axel masih hidup!" ucap Sisi terbata.
Spontan Binar melepaskan genggaman tangannya. Keningnya mengernyit dan menatap bingung ke arah Sisi.
"Axel---masih hidup?" cicitnya. Sisi tak mengangguk ataupun menggeleng. "Tapi---bukannya waktu itu---"
Sisi mengangguk sekali. "Kalo emang Axel udah meninggal, dimana letak pusaranya Mom? Dan selama ini nggak ada penjelasan dari kepolisian dimana jasad Axel. Dan aku---aku ketemu Axel, Mom. Dia masih hidup, Mom. Axel ada disini!"
Wajah Sisi terlihat berbinar saat mengucapkan nama itu. Binar menitikkan airmatanya, terharu mendengar tentang kabar Axel. Tapi Binar belum sepenuhnya meyakini ucapan Sisi. Bisa saja gadis itu hanya berhalusinasi.
"Kalo Mommy nggak percaya, ayo kita ketemu sama Axel!"
〰〰
"Binar? Kamu Binar, kan?" pekik Cindy saat bertemu dengan Binar.
Binar tampak mengernyit dan menatap Sisi.
"Kamu istrinya Arlan, kan?" sambung Cindy.
Binar mengangguk bingung dan hanya tersenyum. Cindy tiba-tiba memeluk Binar, hanya sebentar dan melepaskan pelukannya.
"Kamu lupa ya? Dulu aku pernah dateng waktu kalian nikah!"
Binar tampak berpikir tapi sayangnya ia sama sekali tidak ingat kejadian itu. "Sorry, aku lupa. Hehehe!" ucap Binar pada akhirnya.
"Hahaha. Oke deh nggak apa-apa. Mungkin karena kita nggak akrab--eh kok sama Sisi? Dia anak kamu?" tebak Cindy.
Binar mengembangkan senyumnya lalu tangannya meraih pinggang Sisi, memeluknya dari samping.
"Iya, dia anak aku. Anak mantu!" canda Binar.
"Duh, bisa aja kamu. Eh gimana kabar Arlan? Lama nggak ketemu sama dia!"
"Baik. Dan masih seperti biasanya, dia sibuk kerja!"
"Namanya juga kepala rumah tangga!" timpal Cindy. "Eh kebetulan aku mau makan siang diluar, sekalian aja yuk!" ajak Cindy.
Binar dan Sisi saling berpandangan sebentar. "Boleh!" sahut Binar.
"Nanti aku kenalin sama calon suamiku!" ucap Cindy dengan nada penuh semangat.
〰〰
Cindy, Binar dan Sisi duduk melingkar disebuah kursi cafe dengan model meja melingkar. Cindy terus berbicara panjang lebar. Sementara Binar hanya merespon seperlunya saja.
Sebelumnya Sisi sudah menjelaskan jika Cindy dan Ali akan menikah. Dan Ali yang dimaksud Sisi adalah Axel.
"Eh itu calon suami aku datang!"
Binar dan Sisi kompak menoleh ke belakang. Ekspresi dua wanita itu sama dan keduanya sama-sama menangis. Binar spontan berdiri dari kursinya dan berlari menghampiri Ali. Memeluknya sambil menangis.
Sungguh, Binar sangat merindukan Axel. "Ax," lirih Binar sambil mendekap tubuh tegap itu.
Ali terlihat bingung, ia hanya terdiam tanpa membalas pelukan Binar. Wanita dalam pelukannya itu terus memanggil dirinya dengan nama 'Ax'. Panggilan itu membuat Ali merasakan kedamaian yang luar biasa.
"Kalian saling kenal?" tanya Cindy setelah bangkit dari tempat duduknya.
Sisi ikut berdiri dan mencoba menenangkan Binar, ia menarik Binar dan membawa wanita itu kembali duduk.
"Maaf, Bu Cindy. Pak Ali wajahnya mirip dengan anak Mommy!" jelas Sisi pelan.
Binar tak bisa berkata apa-apa lagi. Jika Sisi tidak menahannya, mungkin ia sudah menceritakan semuanya, kejadian setahun yang lalu saat Axel menghilang.
"Aku kira kalian saling mengenal. Ali, duduk sini dong Sayang. Nah, kenalin dia namanya Binar, istrinya temen SMA aku. Bin, namanya Ali, dia calon suamiku!" jelas Cindy memperkenalkan Ali ke Binar.
Anakku! panggil Binar dalam hati.
Ali dan Binar saling bertatapan. Ali terpaku melihat wajah sendu itu, seolah mengenalnya tapi dimana? Ali tak mengingat semua itu. Tapi pandangan wanita paruh baya itu sangat meneduhkan.
Selama pertemuan siang itu, pandangan mata Sisi dan Binar terus tertuju pada sosok Ali yang duduk di depannya.
Saat pandangan Ali dan Sisi tak sengaja bertemu, Sisi dengan cepat menundukkan kepalanya. Airmatanya sudah menggenang dan dalam detik berikutnya, buliran bening itu terjatuh.
"Loh, Sisi. Kamu kenapa kok nangis? Kamu masih sakit?" tanya Cindy penuh perhatian.
Sisi mendongak dan tangannya meraih tisu di depannya. Ia mencoba tersenyum dan menggeleng. "Maaf, Bu Cindy. Makanannya terlalu pedas, saya nggak kuat pedas!" jelas Sisi bohong sambil menyeka matanya yang terus berair.
Binar menoleh dan hanya terdiam menatap gadis yang tampak terluka itu.
"Oh iya kamu kan masih sakit. Jangan makan yang pedes-pedes, ya. Aku pesenin yang baru aja klo gitu----"
"Nggak usah, Bu. Terimakasih!" tolak Sisi cepat.
Tiba-tiba apa yang dilakukan Ali membuat semua orang dimeja itu tampak kebingungan.
"Ambillah. Punyaku tidak terlalu pedas!" ucap Ali sambil menyodorkan makanannya yang belum dimakannya.
Sisi terdiam, menatap Ali yang tampak tersenyum tipis. Hal itu membuat airmata Sisi kembali mengalir.
Cindy yang terlihat kaget dengan apa yang dilakukan Ali, mencoba mencairkan suasana tegang itu. Ia menggeser piringnya kearah Ali.
"Ya udah, kalo gitu kamu makan punyaku aja. Biar aku pesen lagi!" putus Cindy pada akhirnya.
Sisi menelan makanannya dengan susah payah. Tenggorokannya terasa tercekat, menahan isak tangis yang siap pecah. Semua perhatian yang Ali berikan membuat ia semakin terluka.
〰〰
Siang itu Cindy harus kembali ke kantor. Sementara Binar dan Sisi pulang diantar oleh Ali, atas permintaan Cindy.
Sisi duduk didepan, bersebelahan dengan Ali yang duduk dibalik setir kemudinya. Sementara Binar memilih duduk di jok belakang. Wanita itu masih saja menangis, membuat Ali serba salah.
"Maafin, Mommy ya, Ax!" ucap Sisi. Ia tanpa sadar memanggil Ali dengan nama Axel.
Ali menoleh menatap Sisi yang sedang menatap kearahnya. "Kenapa kalian selalu memanggilku dengan nama itu?"
Sisi menoleh kebelakang, menatap Binar yang terus menangis. Ia kembali menatap Ali sebentar sebelum ia membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Jemari Sisi bergerak lincah membuka galeri di ponselnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, Sisi menunjukkannya pada Ali.
"Gimana pendapat kamu setelah liat foto ini?" tanya Sisi.
Ali diam, ia tampak berpikir. Bagaimana bisa wajahnya begitu mirip dengan laki-laki yang ada di foto itu? Siapa sebenarnya laki-laki itu? Siapa Axel?
Ali tiba-tiba menepikan mobilnya. Kepalanya mendadak pusing tapi sekuat tenaga ia menahannya.
"Namanya Axelio Vilandra. Anak dari Mommy Binar dan Daddy Arlan. Anaknya nyebelin, dingin dan kadang suka seenaknya sendiri!" Sisi mulai bercerita.
"Disekolah ia cukup terkenal tapi selalu bikin aku kesel!" Sisi terkekeh pelan diiringi airmatanya yang menetes. "Axel, dia janji nggak akan ninggalin aku tapi setahun yang lalu dia pergi dan nggak kembali!"
Ali diam mendengarkan cerita Sisi. Sisi menoleh dan tersenyum manis. "Dan sekarang dia kembali tapi dia bukan Axel yang aku nanti. Axelku berubah, Axelku nggak inget sama aku!"
Ali semakin bingung dan tak mengerti. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali, sakit dikepalanya masih terasa. "Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Ali.
Sisi tersenyum getir, ia bingung harus memulai darimana. Binar tampak menyeka airmatanya dan ikut angkat bicara.
"Kamu anakku, kamu Axelku yang hilang setahun yang lalu. Dan kamu berjanji mau menikahi Sisi. Apa kamu lupa, Ax?" seru Binar.
Ali menatap bingung kearah Sisi, sementara gadis itu tampak menunduk sambil menangis. Merasa ada yang aneh, Ali kembali menggeleng.
"Jangan mengarang cerita. Aku tidak mengenal kalian---"
"KAMU BOLEH NGOMONG KAYAK GITU AX, KAMU BOLEH NGELUPAIN AKU. TAPI KAMU NGGAK BOLEH NGELUPAIN MOMMY. BELIAU IBU KAMU, AX. BELIAU YANG NGELAHIRIN KAMU!! ASAL KAMU TAU ITU!" teriak Sisi.
Sisi mengusap airmatanya dengan punggung tangannya. Ia lalu menarik kalung yang tersembunyi di balik kerah bajunya. Melepasnya dan memberikan kalung itu ke Ali.
"Setahun lamanya aku nunggu kamu, aku yakin kamu masih hidup dan suatu saat nanti kamu bakalan balik!" Lagi-lagi Sisi tertawa getir. "Dan Tuhan menjawab doaku. Kamu kembali, tapi Tuhan mencabut semua ingatanmu tentangku!"
〰〰
Surabaya, 13 Januari 2020
ayastoria