|02| Lowongan Pekerjaan

1529 Kata
"Lo ngapain disini?" "Main gundu." "Hah?" Kulirik malas laki-laki yang masih setia berdiri di depanku. "Ya, lo pikir gue ke jobfair ngapain? Ngepel lantai?" Bukannya tersinggung, dia malah terbahak menanggapi sinisme yang sengaja kulontarkan padanya. Lah, sakit kali ini orang! "Masih sensian aja," sahutnya santai, lantas mengambil tempat di sampingku. Sebagai sikap defensif, aku menjauh sampai Adin memekik karena tak sengaja tergencet. "Kenapa, sih, dari dulu lo kesal banget lihat gue? Nggak kangen? Kita udah lama nggak ketemu, lho." "Dih! Lo sering wara-wiri di medsos kali, ngapain juga kangen?" “Oh, ternyata kepo sama gue juga," seringai tipisnya tersungging, lantas mengacak rambutku. Segera kutepis tangannya kasar, tak peduli ia mengaduh kesakitan. Bodo amat! Sudah sifat dasarnya ke-PeDe-an! Pandangannya kini beralih pada Adin yang masih diam di belakangku. Ia tersenyum menyapa, lalu langsung dibalas Adin dengan anggukan. "Kok, gue nggak dikenalin ke teman lo?" Tanpa menunggu persetujuan, tangannya sudah terulur menyalami Adin. "Gue Adrian. Panggil Rian saja." "Adin, teman satu kampus Gika." "Oh, sudah lama kenal Gika, dong?" "Lumayan sih. Kami sudah dekat banget." "Salam kenal, ya. Temannya Gika, secara nggak langsung jadi teman gue juga." Dahiku berkerut dalam memperhatikan interaksi keduanya. Hmm, bau-baunya ada niatan licik dibalik sikap ramahnya. Rian, kan, tipe cowok kardus yang suka modus. Merasa memiliki tanggung jawab melindungi Adin dari segala mara bahaya, langsung kulepaskan tangan mereka yang masih bertaut. "Lama amat salamannya." Adin tergagap salah tingkah, sementara Rian malah terkekeh seperti orang tak punya dosa. "Lo mau sampai kapan disini?" tanyaku pada Rian, kode supaya dia cepat enyah. "Nanti. Kenapa?" "Nggak. Siapa tahu ada kepentingan lain." "Nggak ada kok," jawabnya santai. "Jadi, lo ke sini cari kerja?" "Iya lah." "Masih nganggur atau cari better offer?" "Eee," aku memutar mata gelisah, lalu menjawab cepat, "nganggur." Sontak, Rian menyemburkan tawa yang langsung dibungkamnya cepat. Mataku menyipit, menatapnya tak suka. Aku tahu, aku tak berguna, tapi responnya benar-benar membuat harga diriku semakin jatuh kemudian diinjak-injak. Sudah kuduga sifat jahatnya itu tidak akan berubah. Ini yang paling membuatku mengantipasi bertemu dengannya lagi. Kalau sedikit kuceritakan tentang sosok Rian, dia itu orang yang paling totalitas untuk membuatku geram. "Sorry, sorry, gue keceplosan," katanya tanpa menghentikan kekehan merendahkan. Halah! Pasti sengaja! "Ngapain sampai sekarang nggak kerja? Lulus dari kapan lo?" "Gue lulus tepat waktu, ya. Memang belum ada rejeki dapat kerjaan." "Lo b**o, sih." Aku mendengkus sebal. Jujur banget! "Memangnya di kantor bokap lo nggak ada lowongan?" "Nggak tahu. Nggak tanya." "Kan, sekarang baru ramai ada CPNS. Lo bisa manfaatin peluang itu, kan? Apalagi, Om punya banyak kenalan." "Lo mau gue jadi bibit nepotisme?" dahiku mengerut samar. "Wah, parah!" Rian mendecak lidah. "Bukan gitu maksud gue. Bisa, dong, cari info dari bokap lo? Atau, paling nggak magang dimana dulu, kek, buat pengalaman. Kalau banyak kenalan, mereka bisa mempermudah jalan lo, Gi. Jadi orang inisiatif sedikit, jangan negative thinking terus!" "Gue nggak butuh bantuan orang buat sukses. Selagi gue bisa kesana kemari, ngapain bergantung sama orang tua?" "Ohh, gitu. Jadi, lo nggak butuh bantuan gue, nih? Padahal gue mau nawarin kerjaan." "Eh!?" Praktis, aku menoleh cepat. "Kerjaan?" Tapi, cowok itu malah berdiri. Sok tidak peduli. "Iya kerjaan. Tapi, lo nggak butuh bantuan, ya? Sayang, sih, tapi ya udah de—" Baru saja kakinya akan melangkah, kutarik lagi tangannya sampai tubuhnya terpelanting dan kembali duduk di sofa. "Tunggu dulu! Maksud lo tadi apa? Ada lowongan kerja buat gue? Dimana?" Ia menghela napas panjang. "Ini bisa dilepas dulu, nggak? Cari kesempatan, ya?" Katanya menggoyangkan tangan. Kepalaku menunduk, lalu mendelik kaget begitu sadar tanganku masih melingkar di bisepnya. Segera kulepas lengannya cepat. Namanya juga khilaf. "Di tempat gue," ia menyahut lagi. "Gue punya usaha sepatu. Nah, dua bulan lalu sudah buka outlet dan kantor baru. Sementara ini memang gue yang handle bagian keuangan sama dibantuin teman, tapi karena gue harus keliling setiap hari, jadi kadang nggak bisa full time ngawasin keuangannya. Apalagi, sekarang tambah toko satu lagi." Dengan seksama, aku mendengarkan penjelasannya. Lantas mengangguk-anggukkan kepala mengerti. Dari informasi terakhir yang kudapat, sebelum lulus, Rian sudah mulai merintis bisnis pembuatan sepatu itu. Sekarang aku tak menyangka bisnisnya bisa maju cukup pesat sampai memiliki outlet di Jakarta dan Bandung. Dan, sekarang dia mau menambah toko lagi? Mungkin omzet-nya sudah berkali lipat. Peluang pasarnya juga lumayan. Anak muda zaman sekarang pasti menyukai barang fashion yang menawarkan ragam bentuk dan pilihan. Yang penting nyaman, kualitas terjamin, dan harganya masuk akal. "Itu kalau lo mau kerja disana." Aku berpikir sebentar. "Gue sebenarnya juga tertarik sih."  "Dipikir dulu aja, apalagi tadi lo udah sebar lamaran ke perusahaan, kan?" "Oke, deh. Eh, bagi nomor, dong," aku mengeluarkan ponsel dari saku. "Dih, modus," kekehnya. Kuputar bola mata malas. "Jadi bantuin nggak, nih?" Sambil tertawa singkat, ia mengambil ponsel kemudian menyebutkan dua belas digit nomor telepon sekaligus nomor w******p-nya. "Tumben mau nawarin kerjaan? Padahal dulu anti banget kalau kelompokan sama gue." Asal tahu saja, Rian masa kecil tiga kali lipat lebih menjengkelkan dan kata-kata sarkasnya bisa membuat kejang-kejang. Berhubung kami sudah dekat dari jaman SD dan selalu aku yang jadi korban kejahilan dan mulut setannya, sampai SMP pun aku masih tidak bisa lepas dari aksi pem-bully-an karena dia. Enam tambah tiga tahun. Sembilan tahun. Sudah cukup stress terus menerus berurusan dengan manusia satu ini. Setiap bertemu saja, kami lebih mirip dua kucing yang siap cakar-cakaran dibanding teman yang saling membutuhkan. Sambil meletakkan sebelah kaki dipaha, dia menjawab, "Percaya saja, sih. Lo kan punya background akuntansi. Yah, meski gue yakin absen juga paling kebanyakan TA sama teman," nyinyirnya Langsung kupukul bahunya keras.  "ENAK SAJA KALAU NGOMONG!" *** Usai urusan dengan jobfair. Aku dan Adin lebih dulu mampir ke ‘Tea Leaf’ Sebuah kedai masa kini yang menawarkan berbagai jenis teh. Tentu saja tempat ini menjadi salah satu magnet bagi tea lover untuk nongkrong-nongkrong cantik bersama teman atau lahan bagi para jomblo untuk tebar pesona. Lumayan lah, banyak kok muda-mudi ibukota mulai dari tingkat SMU sampai karyawan kantoran muda. Strategis. Dekat pusat perbelanjaan dan wilayah gedung perkantoran. Adin memilih tempat duduk di tengah ruangan, sementara aku menghampiri Ayid, si penunggu tetap meja pesan. "Green tea sama pancake dua, Yid." Pria berkacamata itu mengacungkan jempol lantas meracik minuman pesanan dengan gesit. Sepuluh menit kemudian, green tea serta pancake telah tersaji di nampan. Menggiurkan. "Ah, gue baru ingat. Dia yang punya 'Patronum', ya?" Aku mendongak sekilas. "Siapa?" "Rian." "Oh," gumamku, lantas mengangguk. "Iya." Patronum merupakan brand yang Rian ciptakan untuk produk sneekers, sepatu kets dan slip-on. Intinya, usahanya memproduksi sepatu dengan gaya simple, sporty dan santai. Sebenarnya aku punya beberapa. Kadang memang sengaja beli online, namun dengan identitas teman-temanku. Bisa tambah besar kepala dia kalau tahu aku sudah jadi langganannya sejak lama. "Kok, nggak pernah bilang, sih, kalau kalian kenal dekat? Lo, kan, tahu gue konsumen setianya," omel Adin seraya melahap pancake. "Huh! Kalau tahu, gue bisa minta diskon." gerutunya pelan. "Nggak dekat. Cuma kenal." "Tetap saja kalian pernah sahabatan!" "Dih! Siapa juga yang sahabatan?" Adin mencebik. "Memang kalian kenal sejak kapan?" "Kok, tanya-tanya?" "Ya, boleh dong. Ingin tahu saja, sih." "Nggak naksir kan?" "Nggak, lah. Gue penasaran aja kali, Gi. Cerita-cerita, dong, berita baru nih!" Napasku terembus pelan. Meletakkan kembali gelas greentea di meja. "Kita teman sejak SD sampai SMP. Sebenarnya kita itu masih saudara. Saudara jauh banget, sih, nggak ada ikatan darah apa-apa. Dulu nyebelin orangnya, eh ternyata sekarang masih." "Kalian bersaudara?" "Saudara jauh banget. Buyut gue sama buyutnya beda. Tapi ya gitu, berhubung keluarga kolot banget, gue disuruh kenal sampai saudara-saudara dari pasangan om, tante, kakek sampai nenek. Padahal gue nggak hafal sama mereka semua. Kita kenal juga karena satu SD, lalu pisah waktu SMA. Terus, dia kuliah ke luar kota. Pintar sih, tapi songong." Tanganku terkibas diudara. "Udah ah, males bahas dia!" "Keren. Bisa kebetulan ketemu lagi gitu." "Keren dari hongkong! Kalau tahu dia dulu, lo nggak bakal senyum selebar ini. Orangnya ngeselin!" Tanpa sadar aku menggenggam erat garpu. Menusuk-nusuk dengan nafsu menghancurkan pancake di piring. Bayangan kami dulu sedang bertengkar sampai jambak-jambakan tiba-tiba merangsek di pikiran. Itu gara-gara dia mengataiku 'g****k' karena nilai matematika ku jeblok. Dia mendapat skor sempurna, sementara aku hanya mendapat nilai 20. Tidak terima, aku langsung mencubitnya, lalu dia mendorongku. Aku bergerak menjambak rambutnya, dia balas menarik rambutku sampai rontok. Pergulatan berakhir begitu guru ku datang tergopoh-gopoh dan melerai kami berdua. Gara-gara kejadian itu, sepanjang tahun selama kelas 6 SD, kami dilarang duduk bersebelahan. "Tapi, karena kebetulan itu lo jadi ditawari pekerjaan, kan?" Suara Adin menghentikan aksi menyiksa pancake di piring. Aku mendongak memandangnya. "Gue belum tahu mau terima atau nggak." "Kenapa? Kerja dengan Rian bukan ide buruk, kok. Lo gengsi?" "Kerja sama Rian itu bukan ide bagus," ralatku. "Bukan masalah gengsi. Kita itu nggak cocok. Si Rian tuh perfeksionisnya sampai ke tulang. Belum lagi 'sambel' banget mulutnya kayak nggak ada filter. Kalau gue nggak betah kerja sama dia gimana?" "Lo mau kerja kayak mau nikah aja. Pakai cocok-cocokan segala." Mataku melotot. Kucubit punggung tangannya hingga dia memekik. "Amit-amit!" aku mengetuk-ketuk meja dan dahi bergantian. "Nikah sama dia nggak ada dalam istilah kamus gue!" "Hati-hati sama omongan. 'Amit-amit' bisa jadi 'amin-amin', lho." Aku mendengkus pelan, lalu melahap pancake yang sudah tak karuan bentuknya usai kutusuk-tusuk. Lama-lama bosan juga mendengar omongan random tentang Rian. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN