1. Aku Tak Mau Terjebak Ilusi (Belum)
Di dunia ini sangat sulit untuk mencari ketulusan. Terlalu banyak kepalsuan dan orang-orang berlomba untuk bersandiwara demi memberikan pertunjukan terbaik yang mampu memukau orang. Tempat di mana banyak kebohongan ini membuatmu kesulitan menilai manakah yang bukan ilusi dan pertunjukan semata. Hingga terkadang kau terjebak dalam drama yang sebenarnya tak ingin kau ikuti. Namun kau harus perlu beradaptasi dan mendapatkan kembali drama yang kau ikuti tersebut. Pada akhirnya, kau yang akan unggul dari para pemain.
“Tampaknya karena semakin tua, aku semakin pelupa,” ujar Wisnu setelah sudah mendapatkan ketenangannya kembali. Ia berusaha terlihat tenang, meski memang hatinya bisa menebak jika istrinya itu mencurigainya. Otaknya berpikir keras dan mencari tahu sikapnya yang mungkin mencurigakan dan membuat istrinya bersikap seperti sekarang, “Lain kali aku akan langsung memberikan apa yang kubelikan untukmu. Aku hanya berpikir kalau kita sudah lama nggak meluangkan waktu bersama. Perhatian juga berkurang karena kesibukan masing-masing. Oleh karena itu, aku berinisiatif untuk memberikan kejutan manis untuk istriku yang tercinta itu,” lanjut Wisnu seraya mengusap lembut wajah Lestari. Pria itu memberikan senyum manisnya dan ia tahu jika cara ini selalu meluluhkan Lestari. Wanita itu akan merasa bersalah.
“Maafkan aku yang mulai sibuk, Mas,” ujar Lestari seraya mengusap lengan kekar suaminya sekilas, “Untuk menebus semuanya. Aku akan mengambil waktu istirahat selama dua minggu setelah acara di Bogor selesai. Aku nggak akan ke mana-mana lagi.” Senyum di wajah perempuan itu terlihat manis seperti biasanya, tapi entah mengapa tak mampu menular pada Wisnu. Pria itu menatap istrinya sekilas dan tersenyum kikuk. Ada ketidaknyamanan yang terlihat begitu jelask. Kini, pikirannya sangat berkecamuk dan ia tak ingin kebersamaanya terganggu dengan adanya Lestari di rumah mereka, “Apa kamu nggak senang?”
Wisnu segera tertawa kecil untuk menutupi perasaannya yang sesungguhnya dan menggeleng. Ia membawa tangan Lestari ke dalam genggamannya dengan sebelah tangannya yang bebas. “Nggak mungkin jika aku nggak senang saat bisa bersamamu seharian.” Tangan pria itu kini berpindah ke pipi Lestari dan mengusap pipi istrinya dengan lembut, “Aku hanya takut kalau kamu akan kesepian saat aku bekerja. Aku nggak bisa menemanimu,” lanjut pria itu lagi.
“Tenang saja, Mas. Toh sejak meninggalkan perusahaan dan membiarkanmu mengambil alih semuanya, aku di rumah dan bersantai. Aku menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga. Aku malah membutuhkan waktu untuk menikmati kegiatan yang nggak menuntutku untuk berlari. Semua itu kudapatkan darimu. Aku seperti menemukan rumah. Terima kasih, Mas.”
Perkataan Lestari itu membuat Wisnu menatapnya sekilas. Pria itu tersenyum dan mengusap lengan Lestari. “Aku yang harusnya berterima kasih karena aku telah menemukan rumah pada dirimu,” ujar pria itu seraya membawa tangan Lestari ke dalam genggamannya. Keduanya saling bertukar senyum. Ada rasa bersalah yang perlahan menjalar ke penjuru hati Wisnu, tapi pria itu tak bisa menyangkal jika rasa di antara mereka sudah berubah. Walau bagaimanapun, dirinya adalah seorang pria yang membutuhkan perhatian. Pernikahan mereka terasa tak lagi hangat karena perempuan itu sibuk pada urusannya sendiri. Mereka sama-sama sibuk dan hampir tak punya waktu untuk berduaan. Pria mana yang tahan sendiri saat sudah beristri, bukan? Sayangnya, Wisnu tak mungkin melarang perempuan itu untuk beraktifitas. Ia tak mau dikatakan sebagai pria yang tak tahu diri. Berkat Lestari lah dirinya bisa seperti ini.
“Oh ya, Mas.” Suara Lestari membuat Wisnu menatap perempuan itu sekilas, “Aku mau memberikan libur buat Tina. Selama dua minggu aku di rumah. Aku mau dia ada waktu buat keluarganya di kampung.” Perkataan Lestari itu membuat Wisnu tercengang sesaat. Jika Tina pulang, maka mereka tak bisa bertemu. Entah mengapa, Wisnu merasa candu dengan tubuh gadis cantik itu. Mungkin karena terbiasa atau memang rasa di dalam hatinya sudah begitu dalam.
“Kenapa harus meliburkannya begitu lama? Aku nggak mau kamu kerepotan, Sayang?” Wisnu berpura-pura mengkhawatirkan Lestari. Padahal niat utamanya adalah rasa rindu yang akan dirasakannya saat Tina tak ada bersama mereka, “Jangan terlalu memanjakan pekerja.”
Lestari tersenyum dan menggeleng-geleng. “Aku nggak memanjakannya, tapi memang kita pun nggak boleh menindas pekerja kita. Meski memang sudah mendapatkan libur seminggu sekali, tapi dia layak mendapatkan waktu istirahat yang lebih panjang. Toh Mbok Darsi masih akan membantu. Jadi aku akan baik-baik aja, Mas.” Lestari mencoba menenangkan suaminya itu, sedang Wisnu tak lagi bisa mendapatkan alasan untuk menentang keinginan Lestari. Lagipula, ia tak ingin jika istrinya itu semakin mencurigainya. Lebih baik membiarkan keinginan Lestari itu.
“Kalau begitu, tertserah kamu aja, Sayang. Aku tahu kalau keputusanmu yang terbaik.”
Keduanya saling bertukar senyum dan mereka mengalihkan pembicaraan tentang bisnis Lestari yang baru. Wisnu hanya menanggapi pembicaraan itu sekenanya. Pikiran pria itu mendadak kalut. Perubahan sikap Lestari dan keinginan pria itu membuat Wisnu merasa tidak tenang. Ia mencoba menenangkan hatinya karena ia yakin jika dirinya dan Tina telah bermain aman. Rasanya tak mungkin jika hubungan keduanya terungkap. Apalagi, Lestari begitu sibuk dengan pekerjaannya. Ia bahkan tak punya waktu untuk mengurus Wisnu. Ah, semua ini hanya pemikirannya saja. Salahnya yang terlalu banyak berpikir. Mungkin karena merasa bersalah, hingga dirinya tak bisa berhenti memikirkan segala perubahan sikap Lestari.
Selang beberapa menit kemudian, keduanya sudah tiba di perusahaan kosmetik Lestari. Perempuan itu memberikan senyum dan kecupan hangat untuk suaminya. Ia mengamati mobil suaminya yang kian menjauh, kemudian senyum di wajahnya menghilang begitu saja. Ia mengeluarkan ponselnya dan menjalankan rencananya. Ia sudah mencium keanehan dari suaminya. Meski selalu berjauhan dan sibuk, Lestari dapat merasakan perubahan yang begitu jelas. Pria itu tak lagi berhasrat dengannya. Menjadi lebih sibuk dari sebelumnya, meski Lestari masih memantau pekerjaan pria itu dan tahu jika Wisnu tak sesibuk seperti apa yang ia bilang.
Tidak lama menunggu, Lestari kembali ke rumahnya. Ditemani dengan asisten dan juga supir pribadinya. Orang kepercayaan yang bisa diandalkannya dan Lestari tahu jika dirinya bisa bergantung pada keduanya. Di dalam perjalanan pulang, Lestari membahas beberapa masalah pekerjaan dan juga rencananya untuk menangkap basah suaminya. Perasaan seorang istri itu kuat dan ia tahu ada yang salah dalam pernikahan mereka. Lestari bukanlah seorang yang hanya bisa diam dan meratapi nasibnya. Ia akan mengingatkan pria itu siapa yang berkuasa.
“Apa kamu yakin kalau suami-mu berselingkuh?” Tanya Vera, asisten pribadi Lestari. Perempuan itu sebenarnya tak begitu percaya jika Wisnu yang selama ini terlihat lembut dan mencintai Lestari itu bisa berpaling. Pria itu sangat sederhana. Meski sekarang sudah memiliki kedudukan tinggi, pria itu tak pernah terlihat sombong, “Aku nggak begitu yakin kalau dia bisa melakukannya. Apalagi sudah ada perjanjian pranikah di antara kalian. Semuanya ditulis jelas jika dia akan kehilangan segalanya jika berani mengkhianatimu,” lanjut Vera dengan bingung.
Lestari tersenyum kecut dan mengangguk pelan. Memang ada perjanjian seperti itu yang dipaksa oleh nenek Lestari agar menyetujui pernikahan dirinya dengan Wisnu yang tidak lain adalah pria sederhana dan tak setara dengan dirinya. Neneknya takut jika pria itu hanya memanfaatkan Lestari. Tentu saja, hal itu ditentang oleh Lestari. Dirinya bahkan mendiamkan neneknya itu selama satu bulan lamanya karena cintanya pada Wisnu dan rasa percayanya pada suaminya itu. Anehnya, sekarang dirinya malah bertanya-tanya tentang perbuatan pria itu di belakangnya. Justru dirinya lah yang berpikir negative tentang suami yang dulu dipercayainya. Namun saat itu Wisnu dengan sabarnya membujuk Lestari untuk mengalah dan meminta maaf pada neneknya. Wisnu mengatakan jika dirinya tak keberatan jika ada perjanjian pranikah. Toh, dirinya ingin menikah dengan Lestari karena cinta bukan harta, hingga tak takut kehilangan semua yang akan didapatkannya setelah menikah dengan Lestari. Pria itu tampak tulus.
“Aku sudah menemukan banyak keanehan dan aku tahu ada yang salah. Dia punya perempuan lain karena semua yang dikatakannya terdengar nggak masuk akal. Aku memang sangat mencintainya, tapi aku bukanlah orang yang suka hidup dalam ilusi. Kamu tahu itu, Vera.” Lestari menngepalkan tangannya dan ia mengarahkan pandangan ke luar jendela, “Kenyataan memang pahit, tapi aku lebih suka jika menghadapi semua itu, daripada terus terbuai dalam rasa manis yang berakhir melukaiku. Aku hanya belum tahu siapa orangnya. Besok, aku akan ke perusahaannya. Aku akan diam di sana seharian dan mengamati secara langsung.”
Vera tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku akan mengurus semuanya dan ini akan menjadi kejutan untuk suamimu.” Perkataan perempuan itu membuat Lestari mengarahkan pandangannya sekilas ke samping. Perempuan itu mengucapkan terima kasih dan memberikan senyumnya pada Vera. Yang paling sakit dari pengkhianatan adalah ilusi dari kebohongan yang diberikan Si pelaku. Entah benar atau tidak. Lestari tak boleh mengabaikan kata hatinya.
Selang beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di rumah Lestari. Perempuan itu segera mencari Mbok Darsi yang segera keluar dari dapur untuk menemuinya begitu Lestari memanggil namanya. “Tina sudah berangkat kan, Mbok?” Lestari bertanya begitu mereka berdiri berhadapan. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari keberadaan orang yang tadi pagi sudah dimintanya untuk pulang ke kampung dan berlibur tanpa sepengetahuan suaminya. Lestari curiga jika Tina adalah kaki tangan dari suaminya.
“Sudah sejak sejam yang lalu, Mbak,” ujar Mbok Darsi yang membuat Lestari tersenyum puas. Perempuan itu mengucapkan terima kasih pada Mbok Darsi, “Saya nggak menceritakan apa pun padanya dan semua rahasia Mbak Lestari aman,” lanjut perempuan itu.
“Terima kasih banyak, Mbok. Aku percaya pada Mbok. Walau bagaimanapun, Mbok itu sudah seperti ibu keduaku dan rasanya nggak mungkin kalau Mbok mengkhianatiku.” Lestari memeluk perempuan tua yang sudah lama bekerja dengannya itu. Lestari tak mungkin membiarkan perempuan tua itu sendirian. Oleh karena itu, setelah menikah dirinya mempekerjakan Tina untuk membantu karena orang yang biasanya bekerja dengan Mbok Darsi mengundurkan diri karena ingin pulang ke kampungnya, “Aku mau memasang kamera tersembunyi di beberapa penjuru rumah. Tolong buatkan minum untuk mereka ya, Mbok. Orangnya sudah di luar dan akan langsung bekerja. Jangan sampai suamiku tahu akan hal ini.”
Perempuan tua itu mengangguk dan segera berpamitan. Lestari pun segera mengarahkan Vera untuk memanggil orang yang akan memasang kamera ke sekujur rumah. “Pastikan semua kamera yang dipasang bisa menangkap sudut yang pas dan tak terlihat,” ujar Lestari yang segera dipahami oleh asistennya. Lestari mengawasi secara langsung pengerjaan pemasangan kamera-kamera tersebut. Lestari tahu jika dirinya mulai terlihat mengerikan. Lagipula, Mbok Darsi memang mengatakan tak banyak tamu yang datang ke rumah saat perempuan itu bekerja, tapi tak tahu saat hanya ada Tina yang sedang bertugas di rumah itu. Lestari butuh bukti untuk menjaga kewarasan dan dirinya tak ingin terus-terusan merasa ragu pada suaminya sendiri.
“Apa kamu pikir, hal ini akan berhasil? Apa yang kamu lakukan ini nggak seperti dirimu. Apa dia akan tertangkap?” Pertanyaan Vera itu membuat Lestari tersenyum tipis. Perempuan itu adalah teman sekolahnya yang dipercaya Lestari untuk menjadi asistennya karena perempuan itu sangat mengenalnya. Vera pasti merasa Lestari telah kehilangan akal sehatnya. Lestari telah gila.
“Sebaik-baiknya tupai melompat, dia akan jatuh juga.” Lestari menoleh pada asistennya dan tersenyum miring, “Meski Mbok Darsi bilang nggak ada tamu yang mencurigakan, tapi gelagat suamiku itu sangat berbeda. Aku mengenalnya dan aku tahu ada yang nggak beres. Dia pasti memiliki perempuan lain. Aku menemukan transaksi uang dalam jumlah besar. Setelah ditelusuri, dia membeli sebuah apartemen studio di dekat rumah kami. Menurutmu apa artinya?”