02. INI HIDUP GUE!

1052 Kata
AYANA POV Gue lihat mama menghela napas panjang, sebelum akhirnya beliau berbalik badan dan menatap gue lelah. "Ayana sayang, ini demi kebaikan kamu." Gue spontan mendecakkan lidah. "Kebaikan apa sih ma?" tanya gue geram. Oke, waktunya gue melawan mama. Gue nggak mau diatur ya, ini hidup gue, udah jelas dong kalo apapun keputusannya gue yang tentuin sendiri. "Ayana, dengerin dan percaya apa kata mama. Mama yakin ini yang terbaik buat kamu, Dokter Pandu adalah jodoh yang tepat buat kamu." Oh jadi om-om tua itu namanya Pandu. Dia yang bakal jadi calon suami gue? Serius? Lah ... Gue mana sudi gue anjir! Mama ini kesambet apaan sih? Emangnya nggak bisa ya cari cowok yang sekiranya umurnya lebih muda daripada dokter itu? Minimal sepantaran gue lah. Jangan om-om gini, apa kata teman-teman gue kalau mereka tau? Yang ada gue bakal diejek habis-habisan nih. "Mama kok ngatur hidup Ayana sih? Ayana nggak mau tunangan apalagi nikah sama om-om tua itu!" sanggah gue yang sedari tadi udah gerah dan muak. Nyokap ngeselin juga lama-lama. "Ayana, mama nggak ng— "Nggak ngatur gimana? Orang jodoh aja mama yang cari gini," potong gue cepat. Emosi gue perlahan sudah bangkit, gue menatap mama geram. "Ayana juga masih kuliah ma, terus mama juga, kan, yang mau aku lanjutin kuliah sampe sarjana? Aku nggak habis pikir sama mama, tujuan mama tuh apa sih sebenarnya sampai Ayana yang jadi korban gini? Ayana nggak mau nikah ma, apalagi sama om-om tua!" Gue benar-benar kehabisan napas setelah ngomong ngotot dengan melibatkan urat dileher. Dadaa gue naik turun karena emosi, gue mencoba menetralkan deru napas gue yang sudah nggak kekontrol. Tatapan tajam gue kemudian menghunus tepat dimanik mata mama. Untuk sejenak mama tidak menjawab segala bantahan gue, hingga akhirnya emak-emak rempong itu menghela napas panjang. Beliau bangkit dari kursi riasnya dan memutuskan untuk duduk disamping gue. "Ayana, dengerin mama," ujar mama sambil mengelus pundak gue. "Jangan pandang pernikahan sebelah mata, nikah nggak seburuk yang kamu kira Ayana." Gondok banget gue sebenarnya sama mama. Gue tanya apa, dijawab apa. Tapi gue menahan diri untuk sementara ini denger omongan mama dulu. "Dan kamu juga jangan pandang Dokter Pandu sebelah mata Ayana. Walaupun umurnya emang udah dua puluh delapan tahun, tapi mama yakin dokter Pandu bisa jagain kamu. Dia umurnya udah mateng, emosinya udah kekontrol dan nggak labil lagi. Terus Dokter Pandu juga ganteng." "Apaan sih yang mama omongin?" Gue tambah kesel dong sama mama, telinga gue juga berasa mau pecah dengerin ocehannya yang terus menerus muji om-om kampret itu. "Kalo dia ganteng, kenapa juga harus Ayana yang jadi calonnya. Pasti juga banyak tuh wanita di luar sana." Mama terkekeh pelan sembari menyentil hidung gue. "Karena anak mama ini cantik, jadi kalian cocok." Sumpah, gue lelah banget anjir. Apa gue udah nggak punya harapan lagi untuk lolos dari kubangan masalah ini? "Sekarang Ayana tanya sekali lagi, apa motif mama mau jodohin Ayana sama om-om tua itu!" "Yang sopan kalo ngomong Ayana," tegur mama. "Nggak enak dengerinnya kalo Pandu denger omongan kamu. Dia belum tua, umur segitu tuh udah mateng." "Aku nggak peduli, mau dia ganteng kek, mateng kek, jabatannya dokter kek, kalo dimata aku dia itu om-om, aku nggak mau nikah sama dia." "Bukan nikah Ayana, kamu cuma mau tunangan doang," bantah mama. Lah ... Sama aja anjir namanya! Gue bakal terikat sama om-om kampret itu. Walaupun nggak lama lagi gue tunangan seperti apa yang mama jabarin, tapi tetap aja kan ujung-ujungnya bakal nikah? Ngeselin nggak sih? "Mama ngalihin pembicaraan terus ih dari tadi, sekali lagi Ayana tanya sama mama. Apa motif mama mau jodohin Ayana sama om-om itu?!" "Nggak ada motif sama sekali Ayana," ujar mama seraya tersenyum hangat ke gue. "Bohong!" Mama menghela napas pendek, beliau memosisikan tubuhnya lebih dekat sama gue, lalu tangan kanannya merangkul pundak gue. Dan setelahnya gue lihat senyuman mama yang terpampang lagi dibibirnya. "Kamu bakal tau jawabannya dari Pandu sayang." "Ma ..." Gue merengek dengan nada suara yang dibuat mendramatisir, dengan ini gue harap mama bisa tau apa kemauan gue. Semoga aja cara ini berhasil. "Iya sayang." "Ayana nggak mau nikah ma!" Dengan wajah cemberut yang dibuat-buat, gue membujuk mama dengan cara menggoyang-goyangkan tangan mama. Gue jamin kalo wajah gue saat ini udah mirip kek topeng monyet dah. Tapi gue nggak peduli, gue maunya cuma bebas dari ini semua. "Pandu laki-laki baik sayang, dia berwibawa dan sopan banget sama mama. Kamu harus terima Pandu, dia bakal bimbing kamu Ayana, sifat kamu yang masih kekanak-kanakan cocok banget sama Pandu yang udah dewasa." Nyesel gue mohon-mohon kayak tadi kalo ujung-ujungnya mama nggak bisa dibantah sama sekali. Gue semakin gondok sama mama. "Ini hidup Ayana ma, Ayana yang jalanin semuanya, bukan mama ataupun orang lain. Perjalanan hidup Ayana masih panjang, Ayana masih pengin bebas, bukan malah terkekang sama pernikahan nyebelin ini. Mama ngerti nggak sih perasaan Ayana?" "Mama paham sayang." "Ya kalo paham kenapa dari tadi permintaan Ayana nggak mama turutin? Ayana nggak mau nikah ataupun tunangan sama om-om itu. Lagian dia terlalu tua dari Ayana." "Ayana ...." "Ayana juga udah punya pacar ma!" Gue hajar aja sekalian, bodo amat kalau suara gue terkesan berani sama orang yang lebih tua. Gue nggak peduli, gue lagi emosi sekarang. "Ayana ..." "Apapun caranya, Ayana bakal tolak soal tunangan itu. Mama nggak bisa cegah pilihan Ayana. Dan mama nggak ada hak buat ikut campur urusan kisah cinta Ayana!" Mungkin gue terlalu jahat sama mama karena udah berkata kasar kayak gitu. Tapi mau gimana lagi dong? Gue sebel abis sama mama. Dikira nerima orang lain yang nggak kita cinta itu gampang apa? Gue sungguh frustrasi menghadapi masalah ini. Tanpa menatap mama, gue langsung bangkit dari kasur dan berjalan cepat keluar dari kamar mama dengan perasaan campur aduk. Dadaa gue panas, jantung gue terasa berdetak lebih cepat. "Ayana dengerin mama dulu!" teriak mama, "Ayana! Ayana!" Gue nggak peduli! Gue nggak denger teriakan mama. Yang gue pengin saat ini adalah sesuatu yang bakal nenangin perasaan dan pikiran gue. Gue janji bakal minta maaf sama mama soal ucapan kasar gue. Tapi nggak saat ini, gue lagi males ngadepin mama. Gue nutup pintu kamar mama dengan gerakan cepat dan sarkas, hingga menimbulkan suara yang begitu kencang. Dan gue harap mama sadar kalo anaknya ini lagi emosi dan mau dituruti kemauannya. Berharap nggak ada salahnya, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN