Swift POV.
Pagi menjelang siang kali ini kumanfaatkan dengan berjalan-jalan di sekeliling kompleks sendirian. Bosan di dalam rumah terus. Otakku butuh suasana baru. Niatnya ingin membawa Laudia jalan-jalan tapi tidak terlaksanakan karena Laudia ada acara dengan pacarnya. Yah, gini deh nasib jomblo kalau sahabat sudah punya pacar.
Memaksanya untuk menemani mingguku? Sorry, aku tidak seegois itu. Tidak hanya aku yang butuh bahagia di dunia ini tapi juga orang lain, salah satunya Laudia.
Suasana kompleks pagi ini cukup ramai. Anak-anak kecil bermain sepeda, ibu-ibu duduk di depan rumah mereka seraya mengobrol, para pasangan terlihat bergandengan tangan, dan tukang bubur berjalan mengelilingi komplek seraya mendorong gerobaknya.
Sesekali kutendang kerikil yang berada di dekat kakiku. Bosan juga rasanya sendirian. Mungkin karena selama ini aku terbiasa menghabiskan hari libur dengan Laudia. Apa aku mencari pacar saja ya? Biar hari liburku tidak terlalu sepi seperti ini. Hum, sepertinya itu rencana yang menarik.
Langkahku terhenti kala melihat seorang wanita berambut putih sedang celingak-celinguk kanan kiri. Sepertinya nenek itu ragu pas hendak menyebrang karena kendaraan berlalu lalang dengan cepat.
Tanpa sungkan, kuhampiri nenek itu. "Nenek mau menyebrang??" tanyaku berbasa-basi.
Nenek itu menoleh padaku seraya tersenyum. "Iya, nak. Tapi nenek ragu."
Tuh kan. Benar dugaanku. "Boleh kubantu, nek??"
"Tentu saja, nak. Terimakasih banyak." sahut nenek senang. Manik matanya yang berwarna coklat terlihat begitu berbinar. Segitu senangnya kah?
"Sama-sama, nek."
Kugenggam tangan keriputnya dengan erat. Takut sewaktu-waktu terlepas. Celingak-celinguk untuk melihat situasi jalan raya. "Kita nyebrang ya, nek." ujarku dan mulai berjalan.
Beberapa detik setelahnya kami sampai di sebrang jalan. Kulepaskan tangan nenek dan menyibak rambut yang menutupi leherku akibat merasa panas. Mengumpulkan rambut ke bahu kanan.
"Sekali lagi terimakasih, nak."
Aku mengangguk seraya tersenyum. "Sama-sama. Ehm, aku pergi dulu, nek."
"Eh, tunggu dulu!"
"Ada apa, nek? Nenek butuh sesuatu?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Nenek ingin memberikan sesuatu untukmu." Nenek.itu mengeluarkan sebuah kalung dari dalam saku bajunya. Kalung yang terlihat sangat indah. "Terima lah ini, nak. Tapi satu hal yang ingin nenek katakan. Ini bukan kalung biasa. Kalung ini adalah kalung pengabul harapan."
Nih nenek gila ya??
"Kalung ini menjadi milikmu sekarang. Siapa pun yang mengambilnya tidak akan bisa karena pada akhirnya kalung ini akan kembali padamu."
Kayaknya nenek ini benar-benar gila deh!
"Ambillah kalung ini, nak."
Aku menolak kalung yang disodorkan si nenek. Bukan karena aku tidak suka dengan kalungnya tapi karena aku ikhlas menolong. Aku tidak ingin imbalan apa pun. "Tidak usah, nek."
"Terima lah, nak. Ini hadiah dari nenek untukmu."
Dengan terpaksa aku menerima pemberiannya. "Makasih, nek."
Nenek itu tersenyum lagi. "Ngomong-ngomong, kau beruntung sekali, nak."
"Hah? Maksud nenek?"
"Kau menjadi mate seorang alpha yang sangat berpengaruh di dunia immortal. Kalian akan segera dipertemukan oleh takdir. Kalau saat itu tiba, terima lah dia dengan berlapang d**a, nak."
Sip! Kayaknya nenek ini tidak waras!! Sejak tadi ucapannya tidak masuk akal sama sekali!! Apakah nenek menjadi seperti ini karena terlalu banyak menonton film fantasy??
***
Tanpa merasa bosan sedikit pun, terus saja kutatap kalung berliontin air mata yang kupegang. Aku suka dengan bentuk liontinnya. Puas mengagumi, segera kupakaikan ke leherku.
Terlihat sangat indah di leherku. Tak mau berlama-lama mengagumi lagi, tanganku beralih mengambil sisir dan menyisir rambut pirangku. Selesai disisir, kuikat tinggi sehingga menampakkan leher jenjangku.
I love you baby?
Bunyi ponsel membuat ku tersentak. Segera saja kuangkat panggilan yang masuk.
"Halo, kecil!!! Kau dimana? Kenapa belum sampai juga ke sini? Kau baik-baik saja, kan? Apa kau sakit? Tapi jangan sakit sekarang lah, cil. Shawn sudah menunggumu dari tadi. Pakai acara jelek-jelekin dirimu, cil. Arghh! Aku pengen sekali mencakar wajah gantengnya. Cepat ke sini dan buktikan ke Shawn kalau kau itu lebih hebat dari dia." cerocos Laudia di sebrang sana.
"Astaga! Malam ini aku kan balapan."
Bisa-bisanya aku melupakan balapan malam ini. Segera saja ku sambar jaket kulit yang berada di atas kursi. Berlari dengan cepat ke garasi dan mengambil motor yang tepat untuk balapan. Mengendarai dengan ugal-ugalan di jalan raya, menyelap-nyelip dengan lihai tanpa memedulikan klaksonan pengendara lain. Tak lama kemudian aku sampai di arena balapan. Kubuka kaca helm.
Seorang cowok yang berada tak jauh dariku bertepuk tangan. "Datang juga kau, kupikir kau tidak ikut balapan karena takut kalah." ejeknya.
"Hello! Aku Swift. Dan seorang Swift tidak memiliki kata 'takut' dalam kamus hidupnya. Ngerti kau? Dan kalah? Oh no! Itu bukan aku banget." sinisku dengan nada sombong.
"Haha. Menarik sekali kau, gadis kecil." Shawn turun dari motornya. Berjalan menghampiriku seraya tebar-tebar pesona. Iuh, menggelikan!
"Gimana kalau kita ganti saja acara balapan malam ini?"
Maksudnya??
"Ke hotel aja yuk, cantik."
Aku langsung paham maksudnya. Turun dari motor dan langsung memberikannya bogeman mentah. "Heh?! Kau pikir aku perempuan murahan, hah?!" bentakku kesal.
"Iya. Kau memang perempuan murahan."
Tingkat kekesalanku semakin bertambah. Akibat kekesalanku itu, akhirnya kutendang barang berharganya sampai dia menjerit kesakitan seraya memegangi asetnya.
"Iya." sahut Shawn santai dan aku langsung saja menendang barang berharga cowok itu sampai cowok itu berteriak kesakitan. Kujambak rambutnya kencang sampai dia mendongak. "Dengar ya cowok m***m! Aku bukan perempuan murahan!!" tekanku.
Jambakan semakin kuperkuat sampai dia mendesis kesakitan dan menyuruhku melepaskan rambutnya.
"Jaga ucapanmu padaku. Sekali lagi kau bilang begitu, maka aku tidak akan segan-segan membuatmu menderita seumur hidup." Kulepaskan jambakanku dari rambutnya dengan kasar.
Orang-orang yang berada di arena balapan hanya menonton saja tanpa berniat ikut campur.
"Dasar cowok b*****t!" murka Laudia dan meninju pipi Shawn. Dia tidak terima Shawn merendahkanku. Dari dulu Laudia memang selalu membelaku. Oucchh, makin sayang deh.
"Cabut, cil!" perintah Laudia.
Kami menaiki motor masing-masing. Menoleh sekali lagi ke arah Shawn yang masih memegangi asetnya. "Untukmu, Shawn! Jangan pernah merendahkanku lagi jika tidak ingin pergi ke neraka lebih cepat dari yang seharusnya."
Huft, minggu ini memang minggu yang paling menyebalkan. 5 hari yang lalu aku berkelahi dengan Gladys, 4 hari yang lalu aku berkelahi dengan pencuri, 3 hari yang lalu aku tawuran dengan Sekolah Daysy, 2 hari yang lalu aku bermimpi dikejar anjing, dan hari ini aku malah berhadapan dengan Shawn. Sebenarnya aku belum puas menghajarnya tapi ya sudahlah. Aku harap kami tidak akan pernah bertemu lagi.
-Tbc-