Hiiist, Ini Rahasiaku

985 Kata
"Kalau hanya temani ngobrol, 200 ribu aja. Kalau bobok bareng, per detiknya 900 ribu. Gimana, mau pilih nomer satu atau dua?" tanyaku sambil mengedipkan sebelah mata menggoda. Lalu, aku mengulas senyum di bibir, memamerkan dagu yang seakan terbelah dihias dua cekungan mungil di pipi yang selalu timbul tiap aku sedang melekuk senyum seperti ini. Lelaki di hadapanku ternganga kaget. Apa tarifku terlalu mahal baginya? Keterkejutan yang terlihat di matanya gak berlangsung lama. Mata tajam lelaki di hadapanku kini menelisik setiap inchi tubuhku dari atas turun ke bawah, naik lagi ke atas. Pasti, dia sedang terpana. Itu hal yang wajar. Aku dianugerahi tubuh sintal yang melenggok seperti gitar spanyol, dengan wajah ayu menggemaskan. Mata bulat dengan bulu panjang lentik menaungi, hidung bangir, juga bibir penuh merekah. Rambut kusanggul ke atas memperlihatkan leher yang jenjang aduhai menggoda. "Bagaimana, Om? Mau boking gak? Murah, lhooo." Aku melempar senyum manja. Tatapanku jatuh merayapi penampilannya yang santai. Tubuh putih kekarnya dibalut kaus oblong putih tanpa lengan dengan bawahan jins di bawah lutut. Kaca mata hitam bertengger di kepalanya, sedikit menutupi rambut cepaknya. Dia tegap dan kekar. Kutafsir, umurnya sekitar 35 tahunan. "Apa kamu pe la cur?!" Dia menatapku tajam. Wajahnya terlihat sedikit jengkel. Hah? Bilang apa dia barusan? Aku tercengang heran. Lho, lho, ini orang bagaimana, sih? Dia kan yang datang sendiri ke klub ini mencariku. Bertanya pada sebagian teman seprofesiku bahwa dia mencari perempuan bernama Ayu Dewi Anggraini. Itulah aku. Seharusnya, sudah paham, dong, pekerjaan apa yang kulakoni? Kenapa harus ditanyakan lagi? Aneh sekali lelaki di hadapanku ini. Sungguh aneh. "Jadi benar, gadis murahan!" Dia mendengkus sebal, dengan tergesa membalikkan badan, tergesa pergi. Dia bilang aku gadis murahan? Rasa panas seperti terbakar dengan cepat merayapi dadaku. Gesit, aku berlari mengejar, susah payah mendesak kerumunan orang yang sedang melenggak-lenggokkan badannya disirami lampu warna-warni dan akhirnya aku mendorong tubuh lelaki bermulut tajam di hadapanku dengan sekuat tenaga. "Minta maaf sekarang! Padaku!" Teriakku jengkel. Dia membalikkan badan dengan santai. Mata elangnya langsung menghujamkan tatapan merendahkan. Senyumnya menyeringai sinis. "Minta maaf pada gadis yang jelas-jelas pe la cur? Aku pasti sudah jadi gila jika melakukannya." Dia tersenyum penuh ejekan. Dadaku bergejolak. Jantungku mengentak-ngentak kuat dikuasai amarah. Lelaki ini sungguh keterlaluan. Kugigit bibir kuat, berusaha meredam amarah yang menggelora. Namun, ternyata aku gak sanggup. PLAK! Tanganku akhirnya mendarat kuat dan mantap di pipinya. Pipinya yang memerah itu, langsung diusap sang pemilik dengan gerakan pelan. Lagi-lagi, dia menatapku dengan begitu merendahkan. Aku balas menatap. Tajam. Menantang. Aku sangat marah padanya. Walaupun aku mengais uang di ladang haram, terkadang harus rela menari sambil menanggalkan pakaian di hadapan klien, namun aku gak seperti yang dia katakan. Tidak sama sekali! Kuberi tahu rahasiaku. Aku, masih gadis. Benar-benar gadis. Aku gak akan sudi 'ditiduri' jika bukan pasangan sah kelak yang melakukannya. Cecunguk-cecunguk d***u itu, tentu saja gak tahu bahwa selama ini, mereka telah aku kelabui. Tiap klien membawaku ke hotel, maka akan segera kusuruh mereka mandi, lalu dengan cekatan, aku memasukkan obat tidur ke minuman mereka. Setelah klienku terlelap, maka aku akan melepas pakaian si cecunguk dan setelah itu, aku akan melenggang keluar dengan lembaran merah di tangan. Tentu saja sebelum pergi, aku selalu meninggalkan secarik kertas dengan tulisan, Anda hebat sekali, Pak. Jadi, walau profesi gak bener ini terus kugeluti, aku tetap gak sudi dihina. Aku bukan perempuan murahan karena sejauh ini, aku masih perawan. Aku membawa langkah mendekat hingga berdiri persis di hadapannya lalu jari telunjukku menekan-nekan d**a lelaki bermulut tajam. "Apa?! Apa?! Gak terima aku gampar? Mau nyolot? Nyolot aja!" Aku berteriak lantang. Satu dua orang menoleh kemari. Sebagian mengernyit heran. kemudian dengan gak peduli mereka kembali berjoget. Cahaya warna-warni terus menyirami tubuh pengunjung. Musik terus mengentak-entak memekakkan telinga. Seorang klien langgananku melambaikan tangan dari kejauhan, sambil menebar senyum ke sana kemari, dia berjalan mendekat. Lelaki tambun berkulit putih itu bernama Arjuna, pemilik perusahaan besar. Tak segan-segan dia merogoh kantong hingga jutaan asal bisa membuatnya senang. "Hai, Sayangku? Apa sudah ada yang booking malam ini, Cantik?" tanyanya. "Sudah jelas murahan. Tapi harga dirinya selangit!" PLAK Tanganku kembali mendarat kuat di pipi si lelaki asing. Kepalaku berkedut oleh amarah. Kami bahkan gak saling mengenal. Tapi bisa-bisanya dia berkata demikian merendahkan padaku. "Sayang, kita pergi, yuk?" Pak Arjuna merangkul bahuku. Bibirnya tersenyum lebar. Aku menurunkan tangan Pak Arjuna dari pundakku dengan pelan. "Siapa yang murahan? Aku? Emang kamu tau siapa aku?! Emang kamu pernah tidur sama aku?! Asal kamu tau, meskipun bekerja begini, tapi aku masih perawan!" Lelaki di hadapanku menyipitkan mata tak percaya. Aku menekan dadanya dengan jari telunjuk. Lagi. Dan lagi. "Iya, aku memang masih perawan. Mau bukt--" Spontan kubekap mulut saat menyadari Pak Arjuna tengah memandangku. Dadaku berdebar hebat saat Pak Arjuna mengerutkan kening. Tiba-tiba, wajahnya yang tadi ramah berubah marah. Dia mencengkeram tanganku lalu menarikku dengan kasar. "Mau apa, Pak?" "Membuktikan ucapanmu. Pantas saja tiap bangun, aku seperti tak merasakan apa-apa!" Dia kembali menyeretku yang terus saja memberontak ingin melepaskan diri. "Pak! Aku ... aku sedang datang bulan! Iya, sedang datang bulan!" Aku langsung mencari alasan. Pak Arjuna menatapku sangsi. Bisa mampus aku, kalau sampai dia gak percaya. Pak Arjuna klien paling royal. Pak Arjuna mengangguk, aku menghela napas lega. Namun sesaat kemudian tersentak kaget karena Pak Arjuna kembali menarik tanganku. "Aku ingin melihatnya sendiri apa kamu benar-benar sedang datang bulan atau tidak!" Duuh, bagaimana ini? Aku menatap orang-orang yang tampak gak peduli. Mereka asyik bergoyang, melenggok-lenggokkan badan mengiringi irama musik yang menghentak-hentak. Sesekali, terdengar rayuan yang disusul sahutan malu-malu tapi mau. "Pak, aku benar-benar sedang datang bulan! Lepaskan! Lepas!" Aku semakin panik saja. Pak Arjuna terus saja menarikku hingga kami sampai di area parkir yang sunyi. Dibukanya pintu mobil, dengan cepat mendorongku masuk. Aku tergesa keluar, mendorong tubuhnya sekuat tenaga lalu lari lintang pukang gak tentu arah. Baru saja aku mengembuskan napas lega karena gak mendengar bunyi sepatu mengejar, tiba-tiba saja tanganku disambar dari belakang. Aku sudah akan berteriak minta tolong saat mulutku di bekap lalu tubuhku di dorong masuk ke dalam mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN