Sejak pertemuan terakhirnya dengan Kanika beberapa hari lalu di toko roti yang berujung Kanika lari meninggalkannya, sampai hari ini Genta belum jumpa lagi dengannya.
Ya, bisa dilihat setiap hari sejak pagi hingga ke petang poli Obsgyn ramai di kunjungi para Mama muda yang sedang hamil tentunya dan tak menutup kemungkinan kalau dalam sehari poli Obsgyn menangani banyak proses kelahiran dari sekitar 5 dokter spesialis dan para Bidan yang wira-wiri dari poli ke ruang bersalin lalu ke baby ward.
Jelas saja Genta takkan mudah menemukan Kanika akhir-akhir ini entah itu di kantin, atau bahkan di lobby saat pulang. Pastinya Kanika akan pulang lebih lama dari biasanya. Ditambah jadwal shift Genta dan Kanika selalu bertabrakan sehingga memperkecil kemungkinan ia bertemu dengan Kanika di saat yang bersamaan. Kanika yang pulang sore sekitar jam 5 dan di saat itu pula Genta baru akan memulai shift malamnya atau sebaliknya.
Seperti sekarang ini, di tengah terik matahari sore yang cukup panas di langit Jakarta, sebelum ke KMC Genta menyempatkan diri menghampiri Bhima di rumah sakit tempatnya menjalankan PPDS yang kebetulan sedang kosong juga mendekati jam pulang. Mereka janjian di kantin dekat lobby rumah sakit, tenang mereka nggak akan batalin puasanya sekarang. Mereka cuma mau ngobrol, murni, man to man saja.
Saat Genta sampai, Bhima sudah ada di sana bersama dengan tas juga snellinya, sepertinya ia sudah siap-siap akan pulang.
"Bro!" Genta menyapa Bhima seperti biasa.
"Wey, duduk-duduk."
Genta duduk di hadapan Bhima, mereka siap memulai sesi pembicaraan yang sepertinya akan serius ini.
"Ada apaan lo? Tumben?" tanya Bhima, karena Genta tak memberi tahunya ada apa dan mengapa tiba-tiba di ajak ketemuan seperti ini.
"Gue mau nanya sesuatu." mulai Genta.
"Apaan?" Bhima kini mentapnya serius.
"Gue sering ketemu Kanika, di rs. Tapi kenapa ya dia kok menghindari gue terus?" ujar Genta membuat dahi Bhima mengkerut dalam.
"Menghindar gimana? Ya kan nggak ada keperluan sama lo juga kan?"
"Iya sih, tapi lo tahu kan kalau gue suka sama dia?" ujarnya pelan, takut sahabatnya ini jadi kaget dan apnea, kan gawat.
"Kadar suka lo yang gimana? Suka aja mah ya banyak bro! Satpam rs juga suka sama adek gue itu." papar Bhima seolah serius.
"Tapi gue serius, bukan sekedar suka aja."
Bhima menarik napasnya. Sepertinya Genta serius dengan ucapannya. "Ya serius tuh gimana? Adik gue nggak pernah pacaran asal lo tahu aja ya. Dia manja, kekanakan, anak mama banget lah." jelas Bhima lagi, ia mau tahu sejauh mana Genta akan bertahan bila aib adiknya di bongkar semua seperti ini.
Haqul yaqin, kalau Kanika denger, Bhima bakal di suntik KB kayaknya.
Kini Genta yang menarik napasnya, mengumpulkan kembali keberaniannya dan mencoba menjelaskan sesuatu pada Bhima, mengingatkan lebih tepatnya. "Lo tahu, sejak gue bilang boleh deketin dia apa nggak ke lo pas kita di bandara? Sejak itu juga gue nggak pernah deketin cewek lain." ucap Genta penuh keyakinan, dan ya, Genta tidak bohong soal itu.
"Anjir lah! Gue kira lo cuma asal aja!" hampir saja Bhima menggebrak meja bila tak ingat ini masih di lingkungan rumah sakit.
"Ya nggak lah! Gue serius kali, lo nggak pernah bilang ke Kani ya kalau gue suka sama dia?" tuduhnya dengan asas praduga tak bersalah.
"Ya terus lo maunya gimana? Kalau lo nggak ada mengutarakan ya mana tahu dia kalau lo suka," sahut Bhima dengan santainya.
"Gue mau izin sama lo, boleh nggak gue deketin adek lo? Gue serius mau jadiin dia istri dan gak mau pacaran." jujurnya kali memang benar tulus dari hati. Bhima masih membiarkan Genta bicara.
"..Gue mau ketemu bokap nyokap lo kalau lo izinin gue, Bhim." tutupnya.
"Jangan main-main, lo. Ya pernah sih gue godain doang, cuma dia yang lempeng-lempeng aja jawabnya gitu."
"Gue serius bro. Lo tahu gue, kan?"
"Iya tahu sih. Oke-oke gue napas dulu." seolah kaget, Bhima memilih untuk napas dan sejenak berpikir dengan kemauan sahabat sejak kuliahnya di Belanda ini.
Genta nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu saat melihat Bhima yang sepertinya kaget itu.
"Oke, gue bakal bilang nyokap bokap gue. Kalau mereka iya, gue kabarin lo buat segera ke rumah gue." putus Bhima, ya setelah ini ia akan bicara pada Mama dan Papanya mengenai hal ini.
"Makasi bro. Gue tunggu lampu hijau dari bu dokter dan pak arsitek." ada gurat kelegaan saat Genta mendengar keputusan mutlak dari Bhima. Yaa setidaknya saat ini Genta sudah maju satu langkah di depan dengan meminta izin baik-baik dari Bhima. Kini ia tinggal menunggu dari kedua orang tua Kanika saja.
"Lo nggak coba wa dia?" tanya Bhima kemudian.
"Canggung, bro. Bingung mulainya darimana?"
"Ya kenalan biasa elah. Atau besok deh samperin ke obsgyn," usulnya.
"Bro, asal lo tahu nih ya, kemarin-kemarin gue ke toko roti di kantin bawah, dia kabur begitu liat gue. Gue nyeremin ya? Padahal niatnya gue pengin bayarin rotinya dia sekalian sama gue,"
"Masa? Dia buru-buru kali."
"Nggak. Dia panik gitu."
"Lo freak kayaknya." ujarnya polos.
"Yee, k*****t!"
"Coba nanti-nanti pas pulang, lo samperin, ajakin pulang."
"Dia bawa motor kan? Lo inget nggak pas dia kenalan sama gue gimana? Apalagi pulang berdua doang?" Genta coba mengingatkan lagi, usul Bhima tak ada yang cocok.
"Hahaha iya sih. Sambil gue ngobrol sama nyokap bokap, lo coba via w******p atau ke poli langsung deh."
"Besok gue langsung samperin ke poli aja. Udah jam segini, gue takut ganggu dia. Lagian nggak etis aja di w******p, mending langsung ketemu muka aja."
"Oke, gitu aja."
"Iya bro. Makasi banyak sebelumnya,"
"Sama-sama calon adik ipar." Bhima menepuk bahu Genta pelan.
"Hahahaha, k*****t!"
Mereka berdua pisah di parkiran dengan Genta yang menuju KMC dan Bhima menuju pulang ke rumah. Setidaknya Genta bisa tenang untuk saat ini, entah besok atau lusa. Semoga saja jalannya di permudah karena niatannya baik. Untuk menikah, bukan lagi pacaran main-main seperti anak jam sekarang. Yang belum-belum udah pangil Ayah-Bunda, Abi-Umi, Mami-Papi dan lain sebagainya.
Ewh, Genta jadi jijik sendiri mengingatnya. Pasalnya kemarin saat ia pulang dengan ojek online karena jalan depan rumah sakita macet luar biasa, di sampingnya ada yang seperti itu. Rasa-rasanya Genta ingin turun dan menceramahi, namun urung karena tak ingin viral setelahnya, dengan judul yang pasti berlebihan.
Seorang Dokter Turun Dari Ojol Demi Menceramahi Anak Zaman Now Yang Pacaran Bermesraan Saat Jalan Macet.
Atau
Diduga Cemburu dan Jomblo, Seorang Dokter Memberi Kultum Pada ABG Di Sebelah Motornya Saat Macet.
Puasa woyy!!
Yassalam, lalu trending di i********:.
❤️❤️❤️❤️❤️
Bhima sampai di rumah ketika pas Adzan dan sudah buka puasa, saat ia memarkirkan mobilnya di carport ia tak melihat motor Kanika di sana. Ke mana dia? Saat masuk, anggota keluarga yang lain langsung memintanya untuk buka puasa terlebih dahulu. Seperti biasa, putri kecilnya langsung bermanja pada Ayahnya.
"Mam, Pap, mas mau bicara sesuatu nanti setelah jamaah maghrib." ujar Bhima sambil memangku Chika.
"Soal?" Mama menatapnya.
"Soal Kanika, mam." sahutnya, Jasmine juga menatapnya penasaran. Ada masalah kah? Seolah paham sang istri tengah menatapnya, Bhima segera tersenyum ke arahnya dan memberi kode semuanya baik-baik saja.
Selesai jamaah maghrib di rumah, Mama dan Papa membawa Bhima ke ruang kerja mereka. Mereka juga jadi penasaran ada apa dengan putri mereka itu.
"Ada apa, Bhima?" tanya Papa.
"Gini, Pap, Mam."
Lalu mengalirlah cerita tentang pertemuannya dan Genta hari ini yang membahas soal izin mengenal dan mendekati Kanika. Mama dan Papa sempat tak percaya dengan apa yang mereka dengan dari Bhima. Namun, dari keyakinan Bhima bercerita, Genta sepertinya serius dengan omongannya. Tetapi...
"Mas, kamu udah kasih tahu Genta soal Kanika yang bukan anak kandung Mama?" tanya Mama, rasanya seperti tercekat saat pertanyaan itu keluar.
"Seingat mas dia udah tahu soal ini ma, tapi sepertinya dia lupa. Biar Kanika aja yang mengingatkan dia nanti ketika udah saatnya. Dia terima Kanika apapun, ma." jelas Bhima.
"Dia bisa terima, apa nanti keluarganya akan terima kalau tahu dan begitu menikah bukan Papa yang mengijab dan nama Papa tidak di sebut sebagai bintinya?" kini Papa bersuara.
Bhima terdiam.
Ada setitik kekhawatiran Papa yang akhirnya muncul. Sejak dulu hal ini yang paling di takutkan Mama dan Papa, mereka takut, calon-calon yang mendekati Kanika akan mundur begitu tahu siapa Kanika di keluarga Prayuda. Tapi di satu sisi mereka yakin demi fastabiqul khairat, Allah sudah menyiapkan jodoh yang terbaik meski jalan melintang harus di laluinya. Akan ada lelaki yang datang lalu memuliakan anak mereka dengan menikahi Kanika dan menerima semua kekurangan dan kelebihannya.
"Insha Allah, mam, pap. Kalau emang jodohnya, Allah akan kasih jalan terbaik sekalipun berat. Jodoh akan tahu kemana dirinya harus pulang, mam, pap." jawab Bhima berusaha meyakinkan Mama dan Papa bahwa Genta betul-betul serius dengan Kanika. Bhima berusaha menghilangkan kekhawatiran kedua orang tuanya walau tak menutup kemungkinan akan ada rasa sakit yang timbuk di kemudian hari.
"Yawes, kalau kamu yakin adikmu bisa diterima dengan lapang d**a. Mama dan Papa pasrahkan semuanya sama Allah, kalau emang ini jodoh terbaik, setelah semua lelaki yang Mama dan Papa kenalkan di tolak mentah-mentah sama Kanika. Mama akan coba bicara baik-baik sama adikmu supaya nggak terjadi salah paham nantinya." sahut Mama akhirnya memberi lampu hijau.
"Suruh Genta datang secepatnya kesini sebelum ditikung sama orang lain," timpal Papa.
Geh. Bahasanya tikang tikung.
"Iya pap, mam. Nanti mas kasih tahu Genta soal ini. Tapi, kok mas nggak lihat motor Kani ya?"
"Oh tadi dia telepon mama katanya ada buka puasa di luar sama temen-temen Bidannya. Pulang agak malam sih, minta nggak ditungguin. Nanti shubuh deh coba ngobrol."
Bhima mengangguk paham dengan penuturan Mama. Pembicaraan selesai, mereka lalu keluar dari ruangan kerja dan bersiap tarawih ke Mushola.
❤️❤️❤️❤️❤️
Tepat jam 9 Kanika baru sampai di rumah. Keadaan rumah sudah sepi, semua penghuni termasuk para Bayi gemas sudah tidur di kamarnya. Karena sudah terlalu kenyang, Kanika langsung belok dan naik ke kamarnya. Ia lelah, sebenarnya tadi ia tak ingin ikut buka puasa bersama di luar namun dipaksa teman-teman jadilah ia terpaksa ikut.
Sudah enggan mandi, hanya cuci muka dan sikat gigi serta ganti baju, Kanika langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk kamarnya. Ia butuh tidur setelah seharian sibuk di poli dan ruang bersalin. Setelah memasang alarm pukul 03.00 pagi agar bisa bangun sahur, Kanika segera mengatur posisi dan menarik selimutnya lalu tidur dengan nyenyak.
.
.
.
.
Alarm ponsel Kanika sudah nyaring berbunyi, namun Kanika enggan membuka matanya. Meraih ponselnya saja ia enggan, ia malah meringkuk sambil memegangi perutnya yang kesakitan. Sepertinya asam lambung Kanika naik lagi, ia masih meringis-meringis hingga ponselnya berhenti berbunyi dan berganti suara ketukan dari pintu.
"Kani, sahur sayang." suara Mama.
Kanika makin ketakutan, kalau Mama tahu, Mama bisa marah pada Kanika. "I-iya mam, sebentar lagi turun," sahutnya mencoba membuat suaranya senormal mungkin.
"Yawes, mama tunggu di bawah."
Kanika tak menyahut lagi, sakit di perutnya semakin menjadi. Ia membuka laci nakasnya dan mencari obat penghilang rasa sakit yang biasa di minumnya ketika kambuh. Namun obat itu habis, di laci tidak ada.
"Astagfirullah," ringisnya, keringat sudah keluar banyak, padahal pendingin ruangan masih menyala dengan suhu cukup rendah namun tak mampu menghalau keringat itu keluar.
Sementara yang lain sedang sahur, sudah 15 menit Kanika tak kunjung turun. Tidak biasanya dia seperti ini.
"Mam, adek suruh turun. Udah 3.15 ini," perintah Papa.
Mama segera bangun dari kursinya dan kembali naik ke atas. Beliau mengetuk pintu namun tak ada sahutan, begitu coba memutar kenop ternyata pintu tidak di kunci. Mama masuk ke dalam kamar lalu menyalakan lampu dan melihat Kanika masih dengan posisi membelakanginya. Kanika pulas sekali.
"Dek, bangun. Sahur dulu sayang," panggilnya namun Kanika tak menyahuti. "Kani?" Mama mencoba mengguncang tubuh Kanika dan membalik tubuhnya pelan-pelan.
"Engghh, mama, sakit..." rintihnya sudah setengah sadar.
"Astagfirullah, kamu kenapa dek?"
"Sa-kit, pe-rut adek, mam." ucapnya sebelum akhirnya semua gelap.
"Kani! Kanika!! Papa!! Bhima!! Bian!!" teriak Mama panik begitu Kanika tak sadarkan diri.
TO BE CONTINUE....