Dua
Aku pernah, diajak makan siang sama Ibu Wakil Kepala Sekolah yang killer minta ampun waktu SMP. Berdua saja karena beliau dulu mengantarku lomba tari ke kantor Seni Budaya di Kabupaten. Dan itu super canggung karena aku tidak terlalu mengenal guru itu, guru itu hanya diam, nyaplok-nyaplok makanan yang dihidangkan tanpa suara.
Tapi ternyata ada yang lebih canggung dari have lunch berdua sama guru killer yang diem aja. Makan malam sama keluarga Om Bayu --papi Kiyo-- yang baik banget. Sumpah, mereka itu ramah dan kelewat baik. Masa ya, Tante Vira--mami kiyo, teman bundaku-- bawain aku sekardus mie instan yang isinya kue kering buatannya. Dan Om Bayu malah memberiku uang dua ratus ribu, katanya buat uang saku aku.
Gimana gak jadi canggung? Baru pertama ketemu loh ini. Dan mereka itu hangat banget sama aku. Serius itu bikin aku tambah canggung, mana si Aiko --adik kiyo-- gadis cantik dengan rambut panjang, minta duduk aku pangku.
Oh, juga si tampan di depanku, yang sedari kami sampai restoran, memandangku. Ya Allah, itu dua mata sipit, tapi kalau lihatin, bisa bikin hati meleleh juga.
“Kak Nala kok rambutnya harum stroberi sih? Wangi banget. Sampo kakak apasih? Belinya di mana?” berondong Aiko. Aku menyengir lagi.
Duh masa iya aku jujur, kalau aku pakai sampo bayi?
“Aduh, Aiko, nanya satu-satu, Sayang,” ucap Tante Vira lembut. Mengambil alih Aiko dari pangkuanku. “Sini duduk sendiri, kasihan itu Kak Nala, pegel kamu dudukin.” Dan si kecil dengan rambut lurus ini turun dari pangkuanku.
Alhamdulillah ya Allah. Pegel bener!
“Tante Vira repot banget bawain Nala kue banyak gini,” ucapku, melirik kardus mie itu sekilas. Lalu tersenyum tidak enak pada Tante Vira.
“Alah gak repot, Tante itu suka bikin kue, dan saat Bunda kamu bilang kamu mau liburan ke Bali, Tante jadi tambah suka banget bikin kuenya.” Tante Vira tersenyum.
“Iya La, sampai lupa ngurus anaknya,” imbuh Kiyo.
“Ya gak pa-pa kan, Yo, bawain calon mantu juga.” Tante Vira menatap sinis pada Kiyo.
“Kamu gak usah dengerin Mami , La.”
“Cih, Kiyo baru juga ketemu, udah aku-kamu aja sama Nala,” goda Om Bayu. Sungguh membuat pipiku memanas. Plis, kamu kenapa pipi?
”Itu kuenya bisa kamu bagi-bagi ke temen kamu. Tapi uang jajannya jangan. Itutuh sebenernya angpau buat kamu pas kamu masih kecil tiap lebaran, tapi baru bisa ngasih ke kamu sekarang,” imbuh Tante Vira
SAY WHAT???
“Mami , ih,” decak Kiyo kesal menatap Mami nya.
“Apa sih, Yo? Kamu jadi udah berubah pikiran, gak mau dijodohin sama Nala?” tanya Tante Vira.
Kiyo diam. Dia hanya menatapku untuk lima detik, setelah-nya dia tersenyum entah apa artinya.
“Besok jadwalnya kamu liburan ke mana, La?” tanya Om Bayu, lalu menyesap tehnya.
“Ke Joger, Om. Terus ke Khrisna, sorenya ke Kuta. Kalau gak salah sih, Om.” Aku tersenyum canggung. Gila, biasanya juga gak lupa jadwal. Ini kenapa jadi lupa?
“Ati-ati ya, La. Besok kami main lagi ke sini, gak apa kan ya?”
Aku belum sempat berpikir akan menjawab apa, tapi kepala sialanku ini sudah mengangguk. Antusias malah, juga senyum sialan ini, kenapa mengembang sedemikian lebar di wajah?
Aku kembali berfoto dengan dua temanku di pantai Kuta. Dengan background luasnya lautan Kuta dan beberapa bule yang sedang berselancar.
“La, abis ini kita jadi cari baju buat Om kamu?” kata Nadin mengingatkan.
“Oh iya, jadi lah, Nadin. Kalau sampai lupa, bisa gak dapet uang saku.” Aku memasukkan hpku ke dalam tas. “Kalian ikut, kan?” Aku menatap penuh harap pada kedua temanku.
“Ikut lah, ya kali aku berdua doang sama Nadin, dikira aku lesbian?” Najwa ikut memasukkan hpnya ke dalam tas.
Singkatnya, kami berjalan bertiga, beriringan menuju distro yang dimaksud Om Riko --adik Ayahku--. Kami sempat bertanya pada beberapa orang. Dan sial banget, distronya udah jauh, kecil lagi tempatnya, nggak kelihatan karena terhimpin bangu-nan lain. Tapi entah kenapa, perasaan bangga ini menyeruak saat dapat menemukan distro ini.
Aku berpisah dengan Najwa dan Nadin. Mereka ke toko lain untuk membeli baju dan oleh-oleh. Dengan kami berjanji untuk bertemu lagi satu jam kemudian di depan distro.
“Om, ini bajunya masa warna item semua yang dipesen?” Aku bersuara setelah panggilan teleponku tersambung.
“Ya iya, La, masak mau warna warni kayak pelangi. Item aja lah. Pilihan yang tulisannya bagus.”
“Delapan item semua?”
“Bawel! Iya, Lla. Uangnya kemaren udah dikasih sama Ayah kamu, kan?” Om Riko berujar malas.
“Udah. Gambarnya terserah kan?”
“Asal jangan gambar kamu, atau mantannya Om Riko aja.”
“Ck..” Aku berdecak kesal, memutuskan panggilan telepon. Membawa delapan baju pesanan Omku ke kasir.
Aku melirik jam di hpku, sudah satu jam. Tapi kedua temanku itu belum muncul. Aku kembali menyalakan data selular di hp. Mengintip pesan yang mungkin dikirim Bundaku.
Lalu.. tiba-tiba kepanikan melandaku, saat aku mendapat pesan dari Najwa dan Nadin.
Najwawawawa : La, kamu di mana?
Najwawawawa : La aku ke dalam distro tapi sepi, kamu gak ada.
Najwawawawa : La, aku udah naik komotra. Aku cari Nadin juga gak ada.
Najwawawawa : Aku udah sampai rumah makan La. Ajak Nadin cepet balik.
Tanganku gemetaran. Lalu aku berpindah pada chat Nadin.
Nadinding : La, Najwa ada sama kamu? Aku udah di rumah makan.
Nadinding : Ni Najwa juga udah sampai. Kamu di mana La?
Nadinding : Aduh jangan bilang kamu masih ketinggalan di sana.
Nadinding : Tadi bu Irma sms, komotra terakhir jam 5, jadi aku cuss duluan.
Nadinding : Aku gak ada batre buat chat kamu
Nadinding : LA BURUAN CARI KOMOTRA.
Nadinding : TERAKHIR JAM LIMA!!
Aku kembali menilik jam di hp. Lahh!?! Kenapa udah mau setengah 6 aja? Terus komotra itu apa sih? Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi kepanikan yang melandaku.
Ya Allah, masa ini aku ditinggal rombongan sih? Tenang, La, tenang. Jangan panik.
Aku membuka dompetku. Menilik isinya, apakah cukup untukku naik taksi atau ojek ke rumah makan. Aku bahkan sampai merem-melek setelah tahu isinya tinggal lima puluh ribu. Dan sialnya, dompet kartuku ketinggalan di hotel. Aduh, terus aku gimana ini. Bundaaaa...
Lalu, di saat kepanikan mulai melanda karena mentari di ufuk barat mulai lenyap, tiba-tiba terbesit satu nama itu. Adhelard Akyo? Eh gitu gak sih namanya kemarin?
Ya!! Kiyo.
Aku buru-buru mencari pesan yang kemarin aku terima. Dari nomor hp Kiyo. Lalu aku menekan opsi telepon. Tersambung.
“Halo, ini siapa?” Suara di seberang terdengar mengantuk.
“Kiyo? Aku Nala, kamu lagi di mana?”
Hening cukup lama. Sebelum Kiyo menjawab, “Nala? Nala yang semalem?”
“Iya. Nala yang calon mantu mam--” La, ada apa sama mulutmu, La?
“Kenapa, La?” Suara Kiyo berubah panik.
“Aku nyasar deh. Kamu, mau kesini gak? A--”
“Kamu di mana?”
“Distro Electro Hell?” Aku membaca nama Distro tempatku belanja.
“Tunggu di sana, lima belas menit. Eh sepuluh menit.” Lalu panggilan terputus. Menyisakan aku yang merutuki diri sendiri karena opsi filter di mulutku tidak berfungsi. Tapi ya sebodo amat lah ya, yang penting ada yang mau nyamperin aku, jadi, aman lah duit lima puluh ribu di dompet.
Sepuluh menit berlalu, tepat dengan berhentinya mobil hitam di depanku. Aku buru-buru menegakkan berdiriku yang tadi bersandar tiang. Lalu si empunya mobil itu keluar. Jengjeng, dialah Adhelard Akyo Ramadhan. Dengan wajah kantuknya yang semakin membuat kedua matanya terlihat sipit. Lelali itu hanya mengenakan kaos barong khas Bali, juga boxer hitam dengan logo centang. Ah, that dark brown messy hair-nya yang masih sama seperti semalam, sedikit lebih messy.
“Lama?” tanyanya, membuka pintu penumpang mobilnya. Memberi isyarat agar aku masuk.
“Sepuluh menit.” Aku berkata seraya tersenyum tipis. “Kamu.. tadi mau tidur?”
“Iya, tadi abis nganter Mami , mau tidur.” Kiyo menutup pintu itu setelah aku masuk dan duduk dengan gemetaran. Gila, ini pertama kali aku duduk di kursi penumpang depan, berdua sama cowok. Pernah sih dulu, tapi sama Om Riko.
“Maaf ya jadi ganggu kamu. Soalnya aku ditinggal temenku. Kata mereka komotra terakhir jam 5, sedangkan aku gak tau komotra itu apa,” jujurku, menatap Kiyo yang sudah duduk di balik kemudi. Dia menolehku sekilas, tersenyum hangat, lalu mengenakan seatbelt. Aku ikut mengenakan seatbelt.
“Gak pa-pa, La,” jawabnya, mulai menyalakan mesin mobil. “Trus sekarang kamu mau aku anter ke mana?” tanya Kiyo. Ia mulai melajukan mobil.
“Ke rumah makan,” jawabaku singkat. Membuat kepala Kiyo kembali menoleh ke arahku.
“Kamu laper?”
“Gak terlalu sih, tapi temenku bilang, aku ditunggu di rumah makan. Kamu tau gak di mana rumah makannya? Rombongan sekolahku ngumpul di rumah makan, kamu kan orang Bali, mungkin kamu tau?”
Kiyo menghentikan mobilnya, karena lampu lalu lintas menyala merah. Dia kembali menatapku. “Sorry nih La, aku memang orang Bali, tapi aku bukan dukun juga. Jadi aku gak tau rombongan sekolah kamu kumpul di rumah makan mana.”
Lah iya juga sih.
“Tapi kalau kamu laper, kita bisa mampir dulu di rumah makan deket sini.” Mobil Kiyo kembali melaju pelan, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, seperti sedang mencari sesuatu.
“Cari apa sih?” Aku kepo.
“Rumah makan, La.”
“Emang gak pa-pa mampir ke rumah makan dulu?”
“Ya gak pa-pa, La.” Kiyo kembali menolehku, dan tersenyum. Yailah, orang Bali memang murah senyum gini ya? Beda banget sama orang Jawa yang senggol bacok mulu. Kayak Bundaku. “Jadi mampir gak?”
“Beneran gak pa-pa?” ulangku, Kiyo menghela napas, lalu menggeleng.
Maksudku tuh, gak pa-pa gitu kita mampir di rumah makan, tapi kamu yang bayarin makan? Karena please, duitku tinggal lima puluh ribu doang di dompet. Itulah kenapa aku nelpon kamu, Kiyo. Bukan Najwa atau Nadin.
Karena sungguh aku gak mau disembur guru pakai api neraka kalau lapor mereka, dan mereka lapor guru karena aku asik belanja.
“Kalau kita makan di rumahku aja gimana? Mami ku masak masakan kesukaan aku, dan kamu pasti juga suka. Nanti aku langsung anter kamu ke hotel aja, kamu sms aja tuh temen kamu. Gimana?” Ngangguk aja, La.
****