Bab 2

1798 Kata
Rasanya sangat melelahkan, pernikahan dilihat saja bagus, ketika dilakukan sangat melelahkan, dari akad sampai resepsi benar-benar tidak dikasih jeda untuk rebahan. Tubuhku rasanya remuk dan langsung kuhempaskan di atas ranjang yang sudah kubersihkan kelopak bunga mawar di atasnya. Seharusnya ranjang itu milik Nabila tapi takdir malah berkata lain. Segera kuraih ponsel lalu menghubungi Nabila. “Oii, kampret lo udah ngerjain gue,” makiku ketika telepon tersambung. Dia tidak kesal malah tergelak tawa, membuat darahku mendidih. “Nikmati aja. Gue kasih lo ustadz loh. Deket sama surga.” “Hidup gue terancam. Cepat pulang gantiin gue ngurus suami lo.” “Yang nikah lo bukan gue. Ya lo sendiri yang ngurus. Gue mah lagi ngurus calon suami gue sendiri," jawabnya begitu santai. “Asem, sial banget gue ketemu sama lo.” “Entar lo bakalan bilang Nabila makasih ya udah kirim gue jodoh yang tampan, sholeh lagi,” ejek Nabila membuat emosiku terpancing. “Sialan.” “Mulai detik ini jangan ngomong kotor lagi! Udah jadi ummi lo sekarang.” Nabila makin gencar menggodaku, buka malu tapi malah emosi. “Ogah. Gue tetap pada diri gue sendiri … tapi bentar, Iyan kenapa nggak masuk-masuk dari tadi?” Aku menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ciee istri ustadz, udah nggak sabar ni mau diunboxing,” godanya dengan seringai jahat. “Tutup mulut lo!" “Dengar ya, gue kasih tau ni sama lo, konon katanya ustadz itu lembek-lembek di luar tapi giliran di ranjang, hot,” kekeh Nabila, membuat bulu kuduk meremang. “Terserah apa kata lo, gue nggak peduli. Cepat pulang, ambil balik suami lo!” “Nggak mau, selamat bercocok tanam, Sabila. Tata cara sama doa udah gue kirim, sana dipelajari sebelum suami lo masuk kamar,” pungkas Nabila langsung menutup telepon usai mengejekku. “Astaga apa-apaan ini?” Kedua mataku membelalak saat membaca panduan berijmak. Isinya sholat, doa dan tata cara lainnya. Sontak aku mengedik ngeri lekas menyilang kaki dan dadaku. "Parah ni. Apa benarnya? .... Aaa ... Nabila ..." Aku menutup wajahku sambil mengentakkan kaki. Mimpi apa aku nikah sama ustadz? Sorotan mataku kini menatap langit-langit kamar, masih teringat seminggu lalu sebelum pernikahan ini terjadi. “Sabila!” teriak Nabila menghampiriku yang sedang memakai kutek. “Apa?” tanyaku cuek. “Tolongin gue, penting, genting, nggak boleh nolak, ini menyangkut hidup dan mati gue,” cerocos si perempuan berhijab pink. Sudah berhijab tapi masih saja kelakuannya 11 12 sepertiku. “Cepet bilang, sebelum telinga gue boikot dari ocehan lo.” “Tolong jemput cowok di bandara!" “Jemput aja sendiri," balasku cuek kembali mengoles kutek warna cokelat di kuku. “Masalahnya ini calon suami gue. Dia itu agak alim itu, gue nggak suka. Mending lo jemput ya, pakai aja baju seksi kayak gini nggak apa-apa biar dia ilfeel.” Aku menoleh ke cermin, melihat pakaianku yang tidak pernah tertutup. “Lo yakin? Entar emak lo tau gue yang repot sendiri.” “Bunda gue gampang, nggak bakalan tau. Pokoknya lo datang ke bandara. Nama cowok ini Zayyan, fotonya udah gue kirim ke lo. Sekarang gue pamit dulu, Bara udah nunggu di depan.” Aku mendengkus sebal melihat Nabila sudah pergi begitu saja dan kini aku yang ikut terseret dalam perjodohan dia. Kuambil ponsel dan melihat foto laki-laki yang bernama Zayyan itu, tampan tapi terlalu religius dengan peci, dan baju koko. Sama sekali bukan kriteriaku yang maco, anak motor, pokoknya kekinian lah. Kukeringkan kutek di tangan dan kakiku, setelah itu baru merapikan penampilanku yang tadinya hanya pakai tank top dan hot pants. Beginilah penampilanku saat di apartemen, sama sekali tidak mengenal celana panjang. Hmm, ustadz, alim? Baiklah, akan aku nodai mata dia. Aku tersenyum nakal mengambil blus dengan cutting yang menonjolkan bagian pundak dipadu dengan rok pendek di atas lutut. "Ok, selesai," kataku pada cermin yang memantulkan diriku sendiri. Kuambil tas dan kunci mobil lalu pergi. "Baru aja mau jemput lu, udah siap aja," kata Heru datang menyapaku saat aku keluar dari apartemen. "Hai." Aku tersenyum memeluknya. "Yuk!" "Ke mana?" "Jalan dong. Apalagi?" "Duh, sorry, Ru. Gue nggak bisa. Nabila suruh gue jemput calon suami dia di bandara." "Bukan calon suami lu kan?" Aku menggeleng. "Nah, terus apa urusannya sama lu. Yuk, kita jalan!" Heru menarik tanganku, lantas aku menarik balik hingga dia menoleh, menatapku lekat. "Lain kali. Gue udah janji sama Nabila." "Oke, fix kita putus," katanya begitu enteng membuat mataku melebar. "Udah deh, Ru. Nggak usah kekanak-kanakan. Kita udah pacaran selama setahun, nggak pernah lihat gue selingkuhan kan? Apalagi waktu gue selalu sama lo." "Sa, gua ke sini demi lu. Gua kabur dari nyokap gua demi lu. Kenapa lu nggak bisa hargai gua sih?" "Bukan gue nggak hargai lo. Tapi gue udah duluan janji sama Nabila. Please! Kali ini aja. Gue janji, setelah hari ini waktu gue full buat lo," bujukku dengan memasang wajah melas. "Serah lu." Heru langsung pergi begitu saja membuat dadaku sesak. "Ah, udah deh, nanti urus si Heru." Aku berjalan ke arah pintu lift. Masuk ke sana lalu menekan tombol dasar di mana mobilku berada. Tujuan saat ini adalah menyelesaikan janjiku pada Nabila. Aku masuk ke dalam mobil kemudian pergi ke bandara. Wajahnya sudah terekam di kepalaku dan juga nama dia yang panjang seperti rel kereta api. Zayyan Zainul Muttaqin. Zayyan? ... Hmm, Ayan kali ya? Aku tergelak tawa menafsirkan nama Zayyan dikasih orangtuanya karena dia sakit ayan. Tak terasa mobil sudah masuk ke perkerangan bandara, segera kuhentikan di area parkiran. Lalu aku mengambil kertas karton menulis nama Ayan. Eh, ganti. Aku coret nama Ayan dan menulis nama Zayyan Zainul Muttaqin. Setelah semuanya selesai, gegas keluar dari mobil mencari yang namanya Zayyan di terminal kedatangan Internasional. Sudah hampir sepuluh menit aku mengangkat papan nama tapi Zayyan tak muncul juga. "Ayan, mana si lo?" teriakku. "Saya di sini." Aku terkejut menoleh ke belakang Deg! Jantungku berdetak kencang melihat si Ayan. Gegas aku merogoh saku, mengambil hp untuk melihat wajah yang dikirim. "Berdiri yang bagus!" titahku padanya. Aku mengarahkan layar hp dan kusandingkan dengan yang asli. "Eh, yang ini kenapa kayak orang busung lapar?" protesku melihat Zayyan di foto lebih kurus dan yang di depanku lebih tegap dan kulitnya juga lebih bersih. "Apa kita bisa pergi?" Aku mendongak. "Bentar." Segera kurapatkan tubuhku untuk selfi. "Bukan mahram." Ia mundur dan hampir saja aku terpeleset. "Foto doang pun pelit. Ini tu buat kasih laporan kalau gue udah berhasil jemput elo," cerocosku sambil mengirim foto pada Nabila. Dengan cepat anak hantu itu membalas. [Bilang lo itu gue. Bikin dia ilfeel!] Aku melirik Zayyan yang sedari tadi tak pernah menatapku. Dia yang terlihat cool dan alim dengan baju koko dan shawl di lenger ingin sekali kugoda. Cepat-cepat aku membalas pesan Nabila. [Oke. Bayarannya bisa langsung tf ke rekening gue.] "Yaudah yuk!" Dia menyeret koper berjalan beriringan denganku, sesekali kucuri pandang dan dia sama sekali tidak melirikku. Ah, benar-benar alim ni anak. Masa bodo. Aku terus berjalan ke arah parkiran mobil. Menekan tombol remot kontrol hingga lampu menyala. "Angkat sendiri koper lo!" kataku padanya yang tak ada respon, dia langsung berjalan ke belakang, membuka bagasi mobil lalu memasukkan koper. Sementara aku masuk ke dalam mobil terlebih dahulu sambil membalas pesan anak hantu. [Habis ini gue bawa ke mana?] [Serah lo, gue lepas tangan. Tapi jangan lo perkosa dia. Wkwkw.] [Setres.] Aku menoleh ke belakang saat pintu tertutup dan Zayyan sudah duduk dengan anteng. "Pindah! Gue bukan sopir lo." "Perbaiki pakaianmu baru saya pindah." Aku mengernyit, memalingkan wajah ke belakang, menatap lekat wajah Zayyan yang menoleh ke arah kaca mobil. "Lo risih?" "Hmm." "Kalau gitu batal aja ya perjodohan ini." Aku tersenyum mengambil keuntungan darinya. Sesuai dengan kesepakatan dengan Nabila 'menggagalkan perjodohan'. "Bukan hak saya." "Eh!" Aku terkejut. "Emangnya lo bukan laki sampai bilang bukan hak lo?" "Perjodohan sudah diatur dari sejak kita kecil. Jadi, sekeras apapun kamu mencoba menghentikan saya, tetap saya akan menikahimu," tekannya membuatku meneguk saliva. Gegas aku menatap hpku lagi, mengetik dengan cepat. [Gawat. Dia sama sekali nggak risih sama penampilan gue. Dia malah tetap nikah sama lo.] [Eh, gak bisa gitu. Mikir dong gimana caranya batal. Hmm, gimana kalau lo colek-colek dia atau apa kek yang nakal-nakal gitu.] [Lo kira gue sabun colek apa?] [Sa, tolongin gue! Lo minta apa aja gue turuti, yang penting lo gagalin perjodohan gue sama Zayyan.] Aku membuang napas kasar, dengan cepat berpikir cara ekstrim bikin cowok alim ketar-ketir. Sejenak, aku tersenyum miring seraya menjalankan mobil. "Kita makan dulu ya! Aku lapar." "Hmm." Eh, buset, irit banget ngomongnya. Apa habis pulsa? Sabar ... Hening, sayup-sayup kudengar Zayyan berzikir di belakang untuk mengisi kekosongan, lantas aku tersenyum mengingat jika Nabila berhasil menikahi Zayyan. Pasti di rukyah. Semua jin rontok seketika. "Hahaha ... Ops!" Aku langsung membekap mulutku yang mendadak suara tawa bocor. Untung Zayyan tidak merasa heran dan masih melanjutkan zikirnya. Apa jangan-jangan dia mikir gue gila ya? Aku menggeleng pelan kepalanya kemudian berbelok ke arah kafe. Zayyan ikut turun bersamaku, masuk ke dalam restoran Sunda. Saat aku dekat, dia langsung menjauh—menjaga jarak. Tapi aku tetap berusaha untuk menggodanya. "Jangan dekat-dekat!" katanya padaku saat aku hendak duduk di sebelahnya. "Kenapa? Bukankah kita mau nikah?" tanyaku menatap sedikit nakal, tapi dia sama sekali tak peduli. "Akan saya kasih jatahmu setelah menikah. Untuk sekarang jaga jarak dulu!" katanya sangat lembut tapi begitu menohok. Aku berdengus pelan duduk di kursi yang ada di depannya. Pelayan datang membawa daftar menu makanan, aku memesan nasi timbel komplit pun Zayyan yang memilih memesan nasi liwet. Tak lama kemudian pelayan datang membawa pesanan kami. Kebetulan belum makan pagi dan siang, tanpa sungkan aku langsung menyantap makananku. "Baca Bismillah dulu!" katanya dengan lembut. "Udah dalam hati." Aku menyeringai, padahal mana ada aku baca Bismillah. Saat makan, mendadak otakku encer. Tersenyum nakal membuka sepatu yang kupakai lalu kakiku menyentuh pahanya. "Uhuk ..." Zayyan terbatuk-batuk, pasti karena kaget. "Kenapa Iyan?" tanyaku sedikit nakal menyodorkan minuman padanya. Dia tampak berkeringat melonggarkan shawl lalu menegak air sampai habis. "A'udzubillahiminasysyaithanirrajim." Aku mengernyit kening saat dia membaca ta'awudz, dia pikir aku setan apa pakai diusir dengan ta'awudz segala. Tapi sudahlah, aku makin gemas mengerjai laki-laki tampang alim di depanku. Kakiku kembali bermain tapi sepertinya kaki Zayyan hilang. Segera kutundukkan wajah, melihat kolong meja. Eh buset, dia malah bersila. "Kenapa? Sudah tidak tahan?" Deg! Aku menarik napas dalam. Nyes banget. "Saya akan minta pernikahan kita dipercepat." "Eh, kenapa begitu?" teriakku langsung dipelototi semua orang. Aku pun cengengesan dan mulai memelankan suara. "Batal aja nikahnya, ya! Please! Lo kan risih lihat gue nakal kayak gini. Batal ya!" cerocosku membujuk. Dia menggeleng dan spontan kutarik lengan dia tapi malah ditepis. "Sekali lagi kamu menyentuh saya, saya akan bilang sama tante Nurma untuk nikahkan kita besok!" tegasnya membuatku kaget, gegas mundur alon-alon seperti anak kecil, patuh. "Gue nggak sentuh lo lagi, tapi janji batal nikah ya!" pintaku sungguh-sungguh. "Nggak. Kita tetap akan nikah." Aku memejamkan mata seraya menggigit bibir bawah. Mampus!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN