Langit di malam hari selalu membuat hatinya terpikat. Ia begitu takjub melihat kumpulan bintang-bintang yang seperti memiliki formasi. Seolah tak pernah habis, setiap malam selalu berbeda. Ia kadang mencari bintang mana yang paling terang dan berharap bintang tersebut jatuh. Konon kata banyak orang, berdoa saat bintang jatuh itu cepat terkabul. Sungguhkah?
Tidak ada keinginan yang paling ia harapkan adalah keluar dari tempat itu. Walau saat ini sudah jauh lebih layak. Lantai dan kaca sudah terlihat warna aslinya. Bahkan ada aroma pembersih lantai yang menyegarkan hidung. Perabotan yang terlihat baru dan juga berwarna warni. Teko dan cangkir yang cantik menyatakan diri bahwa mereka baru saja dibeli.
Suara jenset sebagai alat bantu penerangan agar lampu bisa menyala menemani malam ini. Anggara membawa alat itu tadi sore dengan berbagai macam benda yang dibungkus dengan plastik yang bertuliskan merek toko tempatnya membeli. Entah apa saja itu. Ia hanya bisa melihat dari balik jendela. Memperhatikan laki-laki itu tanpa rasa ingin tahu.
Suara burung hantu, cicak yang berdecak bahkan sesekali suara longlongan anjing dari dalam hutan awalnya menjadi momok menakutkan baginya. Namun sekarang, telinganya sudah lebih luwes mendengarnya tiap malam. Juga sering kali tikus kecil melewati garis tembok, tidak membuatnya bergidik lagi.
Almaira. Gadis itu merasakan suasana hatinya lebih baik saat ini. Ia berusaha menenangkan hati agar pikiran bisa terbuka. Bukankah pikiran yang damai bisa memberikan berbagai solusi?
Ia terus menghirup udara malam dari balik jendela kaca yang dibukanya lebar-lebar.
"Aku harus mampu bersahabat dengan gelapnya malam dan suara-suara bising ini." Almaira kembali melihat bulan. Begitu indah dan menawan seolah mengajaknya berkawan.
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan itu. Almaira enggan untuk menoleh. Sudah tahu, siapa dia.
"Letakkan saja di situ. Nanti aku akan memakannya," ucapnya dingin.
Terdengar lagi suara pintu tertutup. Kali ini dengan jauh lebih pelan. Almaira menoleh ke belakang. Memperhatikan kali ini menu apa yang dibawa oleh Anggara.
"Apa ini?" Almaira mendekati sebuah kotak hitam yang berukuran cukup besar. Dibukanya dengan perasaan was-was namun sebelum kotak itu benar-benar terbuka, lekas ia menutupnya kembali.
"Bisa jadi di dalamnya ada ular kobra. Laki-laki itu kan berbisa," duganya.
Gadis itu lalu mengambil sebuah jeruk dan mengupasnya tanpa melepaskan pandangannya pada kotak hitam itu. Tanpa pikir panjang. Almaira mengambil sapu lidi yang bisa ia gunakan untuk menyapu debu kasur. Ia menjaga jarak, lalu memukul, membolak-balikkan benda itu agar bisa terbuka sendiri. Belum berhasil misinya. Anggara tiba-tiba membuka pintu.
Almaira menghentikan aksinya yang sempat terlihat Anggara. Jelas laki-laki itu menahan tawanya dengan dia melipat kedua bibirnya. Tiba-tiba gadis itu merasa salah tingkah.
"Di dalam kotak itu isinya adalah landak. Ketika nanti terbuka, duri-durinya akan menusuk kulitmu," tukas Anggara sambil meletakkan segelas s**u hangat. Ia pun berlalu dengan meninggalkan tatapan mengejek.
Almaira semakin bingung bercampur was-was. "Orang aneh," ketusnya.
Gadis itu kembali memasang kuda-kuda, siapa yang tahu jika di dalamnya memang ada landaknya. Tapi mungkinkah? Tidak logis.
Sedikit lebih keras ia membolak-balikkan kotak hitam itu dengan sapu. Berhasil. Menyeruaklah berhamburan isinya. Almaira begitu kaget. Matanya mendelik memastikan apa yang sedang dilihatnya.
"Pakaian?" Ia langsung mendekat.
"Parfum. Set make up. Baju tidur." Almaira memungut isi kotak itu dengan mata tak berkedip.
"Apa dia pikirkan tentangku. Apa dia akan menjadikanku simpanannya di tengah hutan ini? Tak waras. Psikopat! "
Ia memasukkan kembali benda-benda tersebut ke dalam kotak itu lalu mendorongnya menjauh. Raut wajahnya sulit untuk diterka karena ia pun bingung dengan perasaannya menerima 'hadiah' itu.
Almaira memilih menutup jendela lalu membaringkan tubuhnya. Tampak nasi dengan daging panggang, sedikit saus dan kecap jadi pelengkapnya. Nampak enak tapi ia enggan untuk memakannya. Gadis itu memilih membelakangi sajian-sajian itu dan memeluk dirinya sendiri.
Suara gemerincing rantai di tangan kanannya membuat hati terdalamnya merasa pilu. Cairan bening dari kelopak mata pun tak bisa dihadang. Mengalir dengan lembut, membasahi bibir dan sprai yang masih baru. Tangisannya nyaris tak terdengar namun tetap deras. Terlalu lelah ia bertengkar dengan laki-laki itu setiap kali ia mengungkapkan keinginannya. Akhir-akhir ini, ia memilih untuk lebih tenang sambil mencari celah untuk keluar.
Tiba-tiba ia merasakan ada kain hangat yang menyelimutinya. Seketika tubuhnya terbangun. Yang di hadapannya juga mundur menunjukkan ekpresi kaget.
"Kamu? Mau apa ke sini?" bentak Amaira sembari mengeratkan kain yang sudah menutup tubuhnya.
"Jaga pikiran kotormu. Aku hanya tidak ingin kau terlalu sering menahan dingin. Jika kau sakit, aku pula yang repot," imbuh Anggara.
"Kalau begitu lepaskan aku dari sini."
"Malam ini aku sedang tidak ingin bertengkar," tegas Anggara. Ia membakar rokoknya dan menghisapnya dalam-dalam. Ia duduk bersandar pada dinding memalingkan wajahnya.
"Lalu apa maumu?" cecar gadis itu.
"Diamlah sementara waktu. Setelah tujuanku selesai, aku akan melepaskanmu."
"Kapan itu?" Alis indah Almaira melengkung begitu ingin tahu.
"Kamu tunggu saja."
"Pembohong!" cerca gadis itu.
"Aku benar-benar lelah hari ini Almaira, jangan kau pancing emosiku." Anggara menggertak.
"Kau tahu namaku?" Almaira menyelidik.
“Quisya Almaira Irsyad.”
“Apa?” Almaira kaget mendengar nama lengkapnya disebut.
"Apa yang tidak aku tahu darimu? " lanjut Anggara.
"Dasar penguntit!"
"Tidak bisakah mulutmu itu kau gunakan berkata yang lebih sopan?" sindir Anggara. Ia tetap menghisap rokoknya sesekali melentik-lentikkan ujungnya agar abunya terjatuh.
"Itu tidak berlaku saat berbicara dengan penjahat sepertimu."
"Aku berusaha melayanimu dengan sebaik mungkin dan kau masih mengatakanku penjahat?" Anggara mulai merasakan kekesalan naik ke kepalanya.
“Lalu dengan mengurungku di sini, tanpa alasan bukanlah sebuah kejahatan?”
“Apa pernah aku sengaja menyiksamu?” Anggara mendekati Almaira, memojokkannya dengan tatapannya tak berkedip.
“Kau menjadikanku simpananmu seperti ini adalah siksaan bagiku.” Almaira melebarkan matanya seolah tidak mau kalah.
Anggara tertegun. Ia menelan kuat cairan di tenggorokannya hingga jakunnya terlihat jelas bergerak naik turun. Begitu asing kata ’simpanan’ di telinganya. Apa yang sedang dipikirkan gadis itu?
“Sebentar, sebentar!" Anggara sedikit melangkah mundur.” Kau bilang apa tadi?”
Melihat respon Anggara yang begitu kaget, Almaira menjadi salah tingkah. Pasti Anggara berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Isshh …ingin rasanya ia menyumpal mulutnya sendiri sehingga tidak keluar kata ‘simpanan’ itu. Namun kepalang basah, mandi saja, batin Almaira.
“I-I-iya … tentu saja.” Almaira terbata, ia bingung harus berkata apa untuk mempertahankan harga dirinya.
“Laki-laki predator sepertimu, selalu berusaha menyogok setiap wanita dengan hadiah. Seperti yang kau berikan padaku di kotak hitam itu, apa namanya kalau bukan kau memiliki niat buruk? Buaya darat!” lanjutnya menatap sinis.
Anggara mendengar ucapan Almaira seketika tertawa terbahak-bahak.
“Jangan percaya diri berlebihan seperti itu. Aku hanya kasihan padamu jika bajumu berhari-hari tidak diganti. Bisa penuh ruangan ini dengan aroma tidak sedap, tidak mempan pengharum ruangan sekali pun!” kelakar Anggara membuat Almaira naik darah.
"Tunggu! Jangan senang dulu. Aku tahu, kau hanya ingin memanfaatkanku untuk tujuanmu menyakiti ayahku, bukan? Ayahku sebentar lagi akan menemukanku dan kau akan membusuk di penjara!" Tatapan Almaira menyala-nyala.
"Sebelum itu terjadi, ayahmu sudah di balik gundukan tanah merah. Dan kau hanya akan menabur bunga untuknya."
Anggara melumatkan putung rokoknya dengan sepatunya hingga hancur. Ia seolah menyalurkan amarahnya pada benda kecil itu.
"Kau!!!" teriak Almaira yang berdiri di sisi ranjang. Nafasnya tersenggal. Ingin rasanya ia mencabik-cabik laki-laki di hadapannya hingga hancur seperti putung rokok itu.
Sosok yang ia benci terlihat bangkit dan berjalan menuju pintu. Membawa raut wajah yang muram. Sejenak ia berhenti. Entah apa yang dipikirkannya, lalu menutup pintu dengan keras dan suara langkahnya pun semakin pudar.