Anggara menatap tipis wajah pucat Almaira. Dia sadar bahwa gadis malang di depannya, tidak berkaitan dengan kematian ibunya. Namun hal yang pasti adalah ayah Almaira memiliki hubungan yang erat dengan peristiwa berdarah itu, entah disengaja ataupun tidak. Baginya Almaira adalah pedang yang akan ia hunuskan dalam-dalam pada jantung laki-laki tua pembawa petaka dalam hidupnya.
Masih lekat dalam ingatannya saat seorang dokter menghampirinya yang sedang menatap kosong dinding ruangan yang beraroma khas. Aroma yang membuat hati menjadi tak berkutik dan pikiran akan kematian begitu dekat.
“Dokter, ba-bagaimana keadaan i-ibu saya?”
Dengan susah payah Anggara kecil mengeluarkan suara. Terasa pahit dan getir saat ia menelan silivanya. Terlebih menatap wajah dokter yang di depannya, seolah berbicara bahwa semua tidak sedang baik-baik saja.
“Maafkan saya, Dik. Ibumu tidak bisa diselamatkan. Terlalu banyak darah yang keluar dan bagian kepala terluka parah sehingga tidak mampu memberikan kemampuan untuk bernafas lagi.”
Dokter itu terdiam sejenak. Memikirkan kalimat sederhana apa lagi yang bisa ia keluarkan untuk memberikan pemahaman pada remaja kurus di hadapannya itu. Rasa iba mengetuk hatinya namun ia tidak bisa mengatur takdir.
Wanita yang sudah menjadi mayat itu mengalami benturan yang sangat keras. Tepat mengenai bagian cervical 1 atau yang disebut pusat pernafasan di bagian lehernya. Ia juga mengalami cedera otak yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. Hal ini tentu saja menyebabkan henti nafas dan henti jantung dalam istilah kedokteran.
“Tuhan sangat mencintai ibumu, Dik. DIA tidak ingin ibumu menderita menahan sakit. Jika pun ibumu bisa ditolong maka ia akan lumpuh total.”
Anggara terdiam. Hanya air matanya saja yang jatuh. Remaja itu tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Hanya ibunya saja. Sudah fakir harta, sekarang ia pun fakir keluarga. Tidak ibakah Tuhan padanya?
Suara kaki tupai yang bermain di atas cap mobil mengejutkan Anggara. Hewan itu menemukan tempat yang menyenangkan untuk bermain. Mereka tidak peduli, pemilik mobil itu sedang terluka. Tetesan bening di sudut matanya tak mampu tertahan. Jatuh perlahan lalu kering tak terlihat lagi. Hilang dan menyisakan sakit.
Anggara akan selalu seperti itu jika mengingat ibunya. Manusia satu-satunya yang mencintainya tanpa pamrih. Rela menukar nyawa untuk anaknya dalam berbagai waktu. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan makhluk seperti itu?
Anggara mendekati Almaira sambil memikirkan cara membangunkan gadis berkulit bersih itu. Ia tidak ingin terkesan peduli sehingga Almaira akan lebih berani lagi melawannya.
Ia menuangkan air dari gelas yang dibawanya. Sedikit dan pelan-pelan, dipercikkan pada wajah cantik itu. Almaira tidak bergeming. Lagi, ia menuangkan lebih banyak air pada telapak tangannya namun gadis itu masih tidak membuka mata.
“Hhh … wanita ini benar-benar merepotkanku. Apa aku harus membenamkan tubuhmu ke sungai baru kamu bangun?!” gerutu Anggara sembari menuangkan perlahan sisa air gelas langsung pada wajah Almaira.
Almaira beringsut kaget. Ia benar-benar belum mampu membuka sempurna matanya. Air masih menutup pandangan. Refleks kedua tangannya mengusap wajah dan pipinya. Spontan ia menyadari, laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya itu telah melepaskan ikatan di tangan dan kakinya lalu memindahkannya ke ruangan yang berbeda.
Gadis bermata hazel itu mengerahkan semua sisa tenaganya dan beranjak dengan cepat. Pikirnya mungkin saatnya ia bisa melarikan diri. Namun nihil, baru beberapa langkah menjauh dari pembaringan, ia terseok jatuh. Lagi-lagi ia harus menahan kembali rasa sakit akibat benturan lututnya dengan lantai yang sangat kotor.
"Aaaahhh … sakit,” rintihnya lemah.
Sekarang Almaira benar-benar melihat dengan jelas sebuah benda melingkar di tangan kanannya yang mengikat dan menghubungkannya dengan bagian kepala ranjang. Besi itu longgar di pergelangan tangannya namun menggenggam erat saat ia mencoba untuk melepaskannya. Pupuslah harapan gadis bermata indah itu.
Anggara masih memperhatikan Almaira tanpa berbicara satu patah kata pun. Ia menyenderkan punggungnya pada dinding dan sedikit melekukkan kaki kanannya. Tatapannya awas, seolah tidak memberikan netranya untuk sedetik saja berkedip.
“Lepaskan! Aku ingin keluar! Tolong jangan sakiti aku lagi! Aku masih ingin meneruskan hidup! Aku tidak mau mati sia-sia! Tolong aku ...,” isak Almaira sedih.
“Tenang saja, aku tak akan membunuhmu,” ucap Anggara seperti memberi kepastian.
“Kamu kurung aku di tempat busuk ini, itu sama saja membunuhku secara perlahan!” teriak Almaira menimpali.
“Lihat! Saat ini aku memiliki banyak penderitaan dan kau penyebabnya!” Lanjut Almaira sembari mulai menangis.
“Jika saja kamu mampu menahan diri dan tidak melawanku, tidak mungkin kamu akan terluka sebanyak itu,” ucap Anggara dingin sembari membuka jendela kaca dan membebaskan sinar matahari masuk menyinari setiap sisi ruangan itu.
Almaira menarik nafasnya pelan dan berkata, “Aku sama sekali tak menangisi luka di tubuh ini. Aku hanya tak ingin di sini. Ini bukan tempatku. Kembalikan aku atau setidaknya biarkan aku pergi dari sini. Aku akan menemukan jalan kembali sendiri.”
“Hilangkan pikiranmu untuk lari dari sini karena batas amanmu adalah dinding rumah ini. Di luar sangat berbahaya dan aku tidak bertanggung jawab jika kamu menjadi mangsa hewan buas di hutan ini,” balas Anggara dengan tegas.
Pemuda berkulit sawo matang itu mendekati telinga Almaira lalu berbisik, ”Tentang permintaanmu untuk mengantarmu kembali, itu adalah suatu ketidakmungkinan yang pasti.”
Anggara mengangkat sedikit bibir atasnya hingga tampak gigi taringnya. Ia benar-benar menjatuhkan mental gadis itu.
“Jahaaaat!!!” Almaira berteriak sekencang yang ia mampu. Sesak rasa di d**a, jika harus melewati hari dengan laki-laki asing yang sewatu-waktu bisa mengancam kehormatannya bahkan bisa membunuhnya.
Bayangan kematian semakin tebal menutup penglihatan Almaira. Gadis itu pun terkulai lemah dan menjatuhkan dirinya ke lantai kotor itu. Tetiba ia merasakan sepasang tangan mengangkat tubuhnya kembali ke atas ranjang. Sedang ia sudah tidak memiliki tenaga lagi. Habis tak tersisa. Apakah ini akhir bagi hidupnya?
“Tuhan … tolong aku,” jeritnya dalam hati.
Anggara meletakkan tubuh Almaira dengan sedikit menghempaskannya. Ia menarik sebuah meja kecil dari sudut ruangan lalu meletakkannnya di samping ranjang tua itu. Dengan sigap ia meletakkan tak beraturan piring yang berisikan nasi goreng yang dibawanya dan sebuah teko kecil yang berisikan air.
Tidak lupa Anggara mengeluarkan bungkusan putih berisikan obat. Ia keluar dan kembali membawa tiga buah jeruk dan satu sisir pisang hijau. Almaira hanya melihat pergerakan Anggara dengan mata yang menyempit. Terasa lemah rasa seluruh tubuhnya.
“Makan dan minumlah obat ini. Setidaknya kamu harus tetap hidup dan bisa melampiaskan kemarahanmu kembali. Aku akan kembali dalam waktu tiga jam. Bersikaplah lebih manis jika masih mau hidup!”
Anggara menarik gagang pintu dan bersiap menutup penuh.
“Jika kau keras kepala, aku pastikan hari ini adalah hari terakhirmu melihat makanan!” tegas laki-laki berambut sedikit ikal itu dengan wajah yang sangat dingin.