Adegan Dewasa

2154 Kata
"Jadi gimana menurut kamu, Dis? Apa kita harus menerima naskah ini?" Pertanyaan Mbak Rain membuyarkan lamunanku. Entah kenapa, kejadian tadi malam terus diputar ulang oleh memori otakku. Bahkan rasanya lembut bibir Satya masih terasa di bibirku. Astaga! Apa-apaan ini? Kenapa malah memikirkan hal itu di kantor? Aku mengusap-usapkan jari telunjuk di layar i-pad. Pura-pura sibuk meneliti, padahal baru berusaha mencari naskah yang dimaksud. "Kalo menurut gue, naksah ini sama sekali nggak perlu dipertimbangkan. Gue menolak keras adegan p********i di novel remaja kekgini. Apalagi penulisnya masih remaja juga, bisa-bisanya dia menulis adegan dewasa dengan sangat detail. Ini naskah sampah!" Itu bukan suaraku. Yang barusan berbicara itu adalah Gisca alias Cacha. Salah satu editor di Rain Media. "Lo nggak bisa gitu dong, Cha. Kita juga mesti mempertimbangkan tentang bobot cerita. Menurut gue, novel ini punya pesan moral yang cukup bagus. Ketimbang nilai minusnya, dia punya sisi positif yang jauh lebih banyak. Bahkan dari sini juga, pembaca akan diajarkan untuk lebih memahami orang lain, dan nggak gampang menjudge kesalahan yang belum tentu salah." "Gue juga baca, Dit. Tapi target pasar novel ini adalah anak-anak remaja yang masih labil. Ini novel remaja. Nggak layak banget ada adegan beginian, sampe segala batangan disebut. Gue aja geli bacanya. Sumpah, gue nggak pernah ngebayangin, gimana bisa seorang remaja nulis adegan v****r macam ini. Ini keterlaluan. Kalo emang ratte-nya dewasa sekalian, gue juga gak bakal masalahin ini kali." Gisca dan Radit itu termasuk editor senior. Mereka bahkan sudah bergabung dengan tim redaksi penerbitan ini sejak awal berdiri. Dan uniknya, mereka jarang sekali akur. Setiap rapat, pasti selalu berbeda pendapat seperti sekarang. "Dis? Kamu belum kasih tanggapan. Gimana menurutmu?" Mbak Rain kembali melemparkan pertanyaan padaku. "Iya, nih. Perasaan tumben banget Nona Korea kita jadi pendiem. Biasanya paling nyerocos kalau udah ngomingin masalah ginian," Gisca menimpali. Dia memang selalu menyindirku dengan sebutan Nona Korea karena penampilan yang suka mengikuti trend kpopers. Seperti syal cokelat yang melekat di leher saat ini, itu salah satu yang membuat Gisca makin hobi meledekku. Padahal, selain karena sok kekorea-koreaan, sebenarnya kulitku memang agak sensitif dengan hawa dingin. Sementara ruang kerja kami semuanya full AC. Nggak mungkin juga kan, aku minta mereka buat matiin pendingin ruangan, sementara yang kedinginan di sini hanya aku? Aku tak seegois itu, Jendral! "Bukan gitu, Cha. Aku ngerasa kali ini Radit ada benernya. Naskah ini punya banyak pesan moral yang bisa diambil—" "Jadi lo mihak Radit sekarang?" Gisca menggeleng seolah tak percaya. "Keknya otak lo mulai geser karena kebanyakan nonton drama korea, deh. Mending lo berhenti mulai sekarang, biar nggak makin mesum." "Nggak ada hubungannya ama drama korea kali, Cha." Ini anak kenapa, sih, sejak hamil perasaan jadi makin demen ngomel. Apa iya bawaan jabang bayi? "Nggak ada gimana? Gue juga dulu suka nonton drakor, dan gue tau persis gimana adegan m***m yang sering disuguhkan dalam drama." "Terus apa hubungannya sama naskah ini, Chachaaa?" Paling kesel kalau ada orang yang ngejek drama korea dan menyamakan kdrama lovers sepertiku dengan tukang m***m. Asli. Walau tidak dipungkiri, drama korea memang banyak menyajikan adegan bibir sebagai pemanis, tapi bukan itu alasanku menyukainya. Selain karena oppa-oppa-nya yang ganteng kebablasan, aku suka nonton drama korea karena konflik yang cerdas dan alurnya sulit ditebak. Aku banyak belajar tentang bagaimana mengolah konflik dalam sebuah novel, justru dari nonton drama korea itu. "Ya, terus? Kenapa lo setuju kita nerbitin novel sampah ini? Itu karena otak lo udah keracunan adegan m***m, kan?" Ya ampun, mulut anak satu ini emang ngalahin bon cabe level tiga puluh kalo udah mulai frontal. Aku menghela napas. "Oke, gini. Kalian semua nanyain pendapatku, kan? Nah, menurutku, naskah ini punya banyak sisi positif. Kisah yang dijabarkan mampu memberikan banyak pelajaran bagi pembacanya. Alur dan penokohannya juga kuat. Karakter setiap tokohnya menarik, dan adegan 'itu' juga bener. Ini terlalu vulgar." "Jadi?" Mbak Rain, saat ini dia tengah menunggu jawabanku dengan mata penuh rasa penasaran. Padahal dari tadi, kulihat wanita dengan hijab lebar itu hanya senyum-senyum tipis melihatku berdebat dengan Gisca. "Menurutku sayang kalau naskah ini kita lepas." "Nggak bisa gitu dong, Dis. Prinsip kita, kita nggak mau menerbitkan naskah remaja dengan adegan dewasa. Apalagi yang p***o begini. Lo baca dong itu di halaman 182, ada adegan meremas b*******a, bahkan memasukkan itu ke anu. Masa adegan kayak gitu ditulis di novel remaja. Mana nggak cuma satu lagi. Di novel ini ada beberapa adegan ranjang yang menurut gue terlalu v****r. Parahnya lagi, salah satunya dilakukan sama anak SMA. Sebagai calon orang tua, gue khawatir sama generasi anak-anak gue nanti. Bakalan jadi apa mereka kalau dicekoki bacaan ginian? Gimana kalau mereka ikut-ikutan apa yang mereka baca, dan ngelakuin hal yang nggak seharusnya hanya karena rasa penasaran? Bacaan kayak gini tuh, pengaruhnya besar banget buat jiwa-jiwa remaja yang penasaran, Dis. Lo juga biasanya nolak mentah-mentah naskah beginian, kenapa tiba-tiba lo jadi ikut-ikutan si Radit, sih?" Gisca cemberut. Beberapa kali dia mengusap perut yang mulai membuncit. Calon ibu muda itu tengah mengandung anak pertamanya, dan saat ini usia kandungannya memasuki bulan keempat. Belakangan ini emosinya memang mudah sekali tersulut kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan pemikirannya. "Cha ... kamu jangan emosi, ya. Pikirkan calon anak kita di dalam sana." Radit meraih tangan istrinya, dan mengusap-usap punggung tangan perempuan itu lembut sebelum menciumnya. Satu ruangan dengan pasangan macam mereka berdua memang menyebalkan. Sebentar-sebentar berantem, sebentar-sebentar pamer kemesraan, seolah dunia hanya milik berdua. "Mesra-mesraan terooooos. Sekalian aja kalian praktekin adegan 'itu' di sini. Heuheuuu!" "Dih, sewot. Makanya buruan nikah, biar bisa mesra-mesraan, dan ngerti apa itu romantis. Nggak cuma jago nulis doang." "Embek lu, Cha!" Aku hampir melemparkan botol air mineral yang sudah kosong ke arahnya. Kalau saja tidak ingat kalau di ruangan ini juga ada Mbak Rain. Perempuan yang selalu menolak dipanggil ibu ataupun bos oleh karyawan. Katanya panggilan semacam itu terlalu formal. Tahu apa yang dilakukan Radit? Dia bersikap sok melindungi dengan memeluk Gisca yang duduk anteng di kursinya. Jangan lupakan senyum ngeselin yang dipamerkan gadis itu sambil menjulurkan lidah ke arahku. Mereka menyebalkan. Asli. Ah, ya, meski ini kantor penerbitan, tapi suasana kerja di sini selalu kental dengan nuansa kekeluargaan. Nyaris tidak ada batasan antara senior dan junior. Siapa yang mampu berkontribusi dalam kemajuan penerbitan ini, maka dia yang akan mendapat reward. Tidak peduli anak lama atau baru bergabung, yang terpenting adalah perannya di sini. Sekarang, penerbitan indie baru banyak sekali bermunculan. Meski Rain Media sudah mendapat banyak kepercayaan dari banyak penulis, baik para pelaku self publishing maupun penulis indie yang melewati tahap seleksi, tetapi mempertahankan kepercayaan itu terkadang jauh lebih sulit dari membangunnya. "Sudah, cukup debatnya. Kita lanjut ngobrol tentang naskah ini dulu, ya," ucap Mbak Rain membuat dua makhluk biang onar itu akhirnya anteng. "Saya sendiri setuju kalau naskah ini bagus. Dari segi alur, tema, dan juga tokoh-tokohnya tergolong unik. Walau bukan satu dua di luar sana kita menemukan novel dengan tema serupa, tapi novel ini punya daya tarik tersendiri. Hanya saja, saya juga setuju kalau naskah ini terlalu v****r. Kita tidak bisa mengambil risiko terlalu besar yang bisa membuat citra penerbitan kita anjlok di mata masyarakat. Jadi menurut saya—" "Kita harus menerbitkannya," potongku sebelum Mbak Rain melanjutkan kalimat, membuat seluruh mata yang ada di ruang rapat tertuju padaku. "Kita harus menerbitkan novel ini," ulangku sekali lagi. "Novel remaja dengan keunikan dan kekuatan cerita sebagus ini, sangat sayang kalau kita lepaskan." "Maksud lo apa, Dis? Lo mau nanganin novel itu sendirian? Lo mau tanggung jawab kalau sampai kepercayaan mereka terhadap kita jadi berkurang? Lo mau—" "Kita punya hak buat mengubahnya kan, Cha? Seenggaknya, buat kasih saran ke penulisnya." Sekali lagi aku memotong kalimat yang hendak keluar dari mulut Gisca. Entah kenapa, semenjak hamil, selain makin doyan ngoceh, Gisca juga makin religius. Sekadar info, gadis itu juga mulai mengenakan hijab sejak sebulan ini. "Kita yang akan menerbitkan. Kita editornya. Jadi kita punya hak buat mengubah cerita ini demi kebaikan. Menurutku, adegan itu bisa kita sederhanakan tanpa mempengaruhi jalan cerita, jadi kita bisa memilih opsi itu ketimbang menolaknya mentah-mentah." "Tapi kan kita cuma penerbit indie, Dis. Kita punya batasan dalam mengubah naskah orang. Para penulis lebih memilih menerbitkan karyanya secara indie, karena mereka nggak mau naskahnya terlalu banyak disunatin. Kalau kita potong dan sederhanakan adegan itu, mungkin penulisnya bakalan milih narik naskahnya dari kita." Kali ini Radit yang berbicara. Pertanyaan itu, kurasa hanya untuk mengorek alasanku menerima, dan lebih meyakinkan  kalau kami memang perlu mengambilnya. Dia hanya butuh alasan lebih kuat agar bisa menerima naskah yang sedang dibicarakan ini, karena dari awal aku sudah bisa melihat kalau Radit tidak setuju untuk menolak begitu saja. "Kita akan diskusikan dengan penulisnya. Kalau dia setuju untuk melakukan sedikit perubahan demi kebaikan, kita ambil. Kalau enggak, maka terpaksa kita tolak naskah ini." Keputusan akhir itu diambil oleh Mbak Rain selaku pimpinan redaksi. Walau Rain Media adalah penerbit indie, tapi kami punya standar yang nggak kalah dari penerbit-penerbit mayor. Untuk naskah yang masuk lewat jalur seleksi, terkadang kami bahkan menghabiskan banyak waktu demi mengambil keputusan terbaik. "Bener banget. Adalah keputusan penulis mau menjadikan naskahnya sebagai apa. Karena itu, kita juga harus mempertimbangkan kemauan penulisnya." "Oke, Dis. Naskah ini saya serahkan sama kamu. Silakan kamu hubungi penulisnya, dan diskusikan masalah ini sama dia. Kalau dia setuju untuk memangkas adegan itu, kamu langsung masuk tahap selanjutnya aja." "Siap, Jendral!" Aku memberikan hormat dua jari pada Mbak Rain. Keputusannya menjadi yang paling final dari rapat kali ini.  Selanjutnya, kalau penulis setuju, maka minggu depan kita akan kembali mengadakan rapat untuk pemilihan cover dan membahas strategi pemasaran. Sebenarnya, masalah utama bukan hanya dari segi adegan bikin anak yang ada di dalam novel. Terkadang, untuk naskah novel dengan sasaran pembaca dewasa, tim redaksi tidak mempermasalahkan adegan tersebut asal tidak berlebihan. Jaringan pasar Rain Media cukup luas, dan tim marketingnya juga sudah dibagi dalam beberapa tim. Yang menangani novel remaja, adult, sampai novel dewasa. Akan tetapi, kali ini karena konten ceritanya mengisahkan dunia remaja, adegan semacam itu menjadi sesuatu yang sangat perlu dipertimbangkan, karena target pasarnya adalah benar-benar  pasar remaja. *** Hari ini berjalan cukup melelahkan. Setelah menyelesaikan editing naskah yang tertunda karena sakit, sepertinya hari ini aku harus rela pulang terlambat. Besok naskah yang sedang kutangani susah harus naik cetak, jadi mau tidak mau harus lembur demi menyelesaikan pekerjaan. "Dis, kalau kamu masih sakit, biar nanti naskahmu diselesaikan sama Radit aja. Jangan terlalu memaksakan diri." Suara Mbak Rain dari meja seberang memecah keheningan. Sudah hampir jam delapan, dan hanya tinggal kami berdua yang masih ada di kantor ini. "Nggak papa, Mbak. Ini bentar lagi kelar, kok." "Saya pulang duluan tapi, ya. Papanya anak-anak lagi di luar kota, kasihan mereka kalau saya pulangnya kemaleman." Mbak Rain seorang ibu muda dengan dua jagoan kecil. Perempuan tangguh yang membangun penerbitan ini sejak masih kuliah. Beliau adalah wanita luar biasa, yang selalu membuatku kagum dengan segala tindak-tanduknya. Caranya berbicara pada bawahan, bagaimana berperan sebagai ibu, dan juga ... bagaimana memahami orang sepertiku yang sering kali tidak bisa melakukan pekerjaan dengan baik karena mudah sakit. "Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Kesehatanmu belum sepenuhnya pulih." Baru saja Mbak Rain keluar ruangan, sebuah pesan masuk lewat aplikasi w******p yang sengaja kusambungkan ke PC. Dokter Vhir. Perhatiannya selalu membuatku merasa ada. Aku tersenyum membaca pesan itu, lalu segera mengetik balasan, "Siap, Dokter." "Mau pulang jam berapa? Kebetulan aku juga belum pulang, biar nanti sekalian lewat kantormu saja." Lagi-lagi pesannya membuatku tersenyum. Bohong banget kalau jam segini dia belum pulang dari rumah sakit. Aku tahu persis jadwalnya hari ini hanya sampai jam lima sore. Sekarang sudah jam delapan, rajin kebangetan namanya kalau dia belum juga pulang. "Ini sebentar lagi saya selesai, Dok. Tinggal kirim email ke percetakan aja." "Oke, tunggu ya. Aku siap-siap meluncur." "Tidak usah, Dok. Saya bawa motor." "Nggak usah nolak. Dokter sepertiku juga punya tanggung jawab dalam hal menjaga kesehatan pasiennya. Kamu masih belum benar-benar pulih, jadi tidak ada alasan untuk menolak." "Ini salah satu bentuk perawatan." Aku mengetik jawaban itu untuk meledeknya. Biasanya dia akan selalu mengatakan hal seperti itu sebagai alasan yang menurutku terlalu dibuat-buat. Balasan selanjutnya, dia hanya mengirim tiga emotikon tertawa, disusul emotikon suntik. Dasar dokter aneh! Selesai mengirim email ke akun percetakan, aku bergegas keluar. Jarak antara rumah sakit tempat Dokter Vhir bekerja dengan gedung kantor ini sekitar lima belas menit perjalanan, jadi aku sengaja berjalan santai sambil menunggu dokter itu. Hari ini moodku cukup baik, dan aku juga sudah sering kali menolak tawarannya untuk menjemput. Sekali ini saja, rasanya tak apa kan, kalau aku membiarkannya mengantarku pulang? Ruang kerja editor ada di lantai tiga, sementara lantai dua adalah tempatnya para tim marketing, dan admin-admin, lantai satu tim produksi. Aku selalu merasa bahagia setiap melewati tumpukan kertas dan buku-buku di sepanjang ruangan lantai satu. Napasku ada di antara keajaiban bernama buku. Aku bahagia setiap memikirkan hal itu. Meski hanya penerbit indie, tapi Rain Media memiliki kantor yang cukup besar dengan jumlah karyawan yang juga lumayan banyak. Aku saja heran, kenapa Mbak Rain tetap kekeuh untuk berjalan di jalur indie, saat untuk bersaing dengan para penerbit mayor pun sebenarnya lebih dari sekadar mampu? Baru saja keluar dan menyerahkan kunci pada satpam, sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Akan tetapi mobil itu bukan milik Dokter Vhir, melainkan ... Satya. Tidak lama kemudian, mobil lain juga berhenti di belakang mobil Satya. Dokter Vhir menurunkan kaca depan dan tersenyum semringah sambil melambaikan tangan ke arahku. Duh! Kenapa bisa begini? *** LovRegards, MandisParawansa
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN