Hujan sore itu turun tanpa aba-aba, mengguyur Kota Bogor seperti ingin menghapus seluruh hiruk pikuk yang menumpuk sejak pagi. Aira berdiri di teras kafe kecil tempat ia bekerja paruh waktu, memandangi jalanan yang mulai basah, sambil mencoba menenangkan getaran aneh yang sejak kemarin tinggal di dadanya.
Sejak pertemuan tidak terduga di halte, bayangan lelaki berkacamata itu—Dipa—muncul begitu saja setiap kali sunyi datang. Tidak ada alasan logis baginya untuk memikirkannya. Mereka bahkan belum saling kenal. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Dipa yang terasa seperti undangan untuk membuka sebuah bab baru dalam hidupnya.
Ketukan lembut terdengar dari belakang.
“Mbak Aira, pesanan sudah siap. Tolong antar ke meja tiga, ya,” ujar Nia, rekan kerjanya.
Aira mengangguk, mengambil nampan berisi kopi panas. Saat ia berjalan menuju meja tiga, suara pintu masuk berbunyi. Dari sudut mata, ia melihat sosok yang membuat langkahnya terhenti sepersekian detik.
Dipa.
Basah kuyup, rambutnya meneteskan air, tetapi senyumnya tetap sama—tenang namun mampu mengaduk perasaan.
“Aira?” katanya, sedikit ragu namun jelas.
Aira membalas dengan anggukan kecil. “Kamu… kehujanan?”
“Kelihatannya begitu,” jawabnya sambil tersenyum kaku. “Aku lewat sini dan… tidak sengaja lihat kamu.”
Jawaban itu membuat jantung Aira bekerja dua kali lebih cepat. Ia meletakkan pesanan, lalu mendekat.
“Mau duduk dulu? Aku buatin minuman hangat.”
“Boleh. Favoritmu apa? Biar aku pesan yang sama.”
Aira tertegun sejenak. “Cinnamon latte. Tapi rasanya agak manis.”
“Tidak apa. Aku lagi butuh sesuatu yang manis hari ini.”
Mengabaikan detak yang makin berantakan, Aira kembali ke area barista. Nia langsung menatapnya dengan senyum geli.
“Itu siapa? Cowokmu?” bisiknya.
“Bukan, cuma kenalan… mungkin,” sahut Aira, berusaha terdengar biasa saja.
Beberapa menit kemudian ia kembali dengan dua cangkir. Dipa meniup permukaannya sambil menatap ke luar jendela.
“Kota ini selalu romantis kalau sedang hujan,” katanya lirih. “Sebenarnya… hujan yang bikin aku datang ke sini hari ini.”
Aira menatapnya. “Maksudnya?”
Dipa tersenyum samar. “Kadang hujan membawa kita ke tempat yang tidak kita rencanakan. Tapi justru di situlah, kita menemukan sesuatu yang tidak kita duga.”
Aira ikut tersenyum. “Kamu suka ngomong hal-hal puitis, ya?”
“Tidak juga. Aku hanya… merasa harus ke sini.”
Percakapan mengalir begitu saja, seolah mereka sudah saling kenal lama. Hujan turun lebih deras, namun tidak mengganggu apa pun. Justru sebaliknya—hujan menjadi musik latar yang mempertemukan dua hati yang belum tahu hendak ke mana.
Dan tanpa Aira sadari, sore itu menjadi jejak pertama Dipa dalam hidupnya—jejak rindu yang pelan-pelan mulai tumbuh di kota hujan.
Pagi di Kota Bogor selalu datang dengan hawa lembap yang lembut. Aira berjalan menuju kampus sambil memeluk buku-bukunya erat, tidak benar-benar fokus pada langkahnya. Semalam, ia sulit tidur. Bukan karena tugas, bukan karena suara hujan yang tidak berhenti, tetapi karena percakapannya dengan Dipa di kafe.
Ada sesuatu yang berbeda dari laki-laki itu. Tenangnya, caranya mendengarkan, bahkan caranya memilih kata. Semuanya terasa… menenangkan sekaligus mengusik.
Saat Aira baru saja memasuki halaman kampus, suara seseorang memanggil pelan dari belakang.
“Aira.”
Langkahnya terhenti. Ia menoleh—dan lagi, menemukan Dipa berdiri beberapa meter di belakangnya, kali ini dengan pakaian rapi dan tas selempang.
“Dipa? Kamu ngapain di kampusku?” tanyanya, heran tapi juga tidak bisa menyembunyikan senyum yang nyaris muncul.
“Aku kuliah di sini juga,” jawab Dipa santai. “Fakultas Teknik. Aku kira kamu sudah tahu.”
Aira membelalakkan mata. “Serius? Kita satu kampus?”
“Sepertinya takdir lumayan rajin belakangan ini,” ujar Dipa dengan nada setengah bercanda.
Aira menggeleng pelan, tidak tahu harus membalas apa. Dipa berjalan mendekat, menjaga jarak sopan.
“Aku mau ke perpustakaan. Kamu ada kelas?”
“Masih ada waktu lima belas menit,” jawab Aira.
“Kalau begitu… boleh aku temani sebentar?”
Aira setuju. Mereka berjalan beriringan melewati lorong kampus yang ramai. Meskipun banyak suara, percakapan mereka terasa seperti ruang kecil yang hanya berisi dua orang.
“Ngomong-ngomong,” kata Dipa, “kopi buatanmu kemarin enak. Aku jadi mikir buat sering-sering mampir.”
Aira tertawa kecil. “Sering mampir atau sering ketemu aku?”
Dipa menatapnya cepat, seolah tidak menyangka Aira bisa selincah itu. “Keduanya tidak terdengar buruk.”
Pipi Aira panas seketika. Ia cepat-cepat menunduk. “Bicaramu benar-benar… bikin repot.”
“Kenapa? Karena jujur?”
Aira menahan napas. Dipa memang tidak banyak bicara, tetapi setiap kalimatnya terasa terarah, seolah ia sudah memikirkan semuanya sebelum diucapkan.
Ketika mereka tiba di dekat perpustakaan, Dipa berhenti.
“Aku tidak mau ganggu jadwalmu. Kita ketemu lagi nanti?”
Aira mengangguk pelan. “Kalau hujan tiba-tiba turun, mungkin kamu akan muncul lagi.”
“Aku tidak perlu hujan untuk datang,” balas Dipa, suaranya rendah namun jelas.
Untuk pertama kalinya, Aira tidak tahu bagaimana menahan senyumnya. Ia hanya mengangguk sebelum berbalik menuju kelas.
Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, Dipa memanggilnya lagi.
“Aira?”
Aira menoleh.
“Terima kasih sudah bikin soreku kemarin berbeda.”
Ada jeda singkat sebelum Aira menjawab, tetapi hatinya sudah memberi jawaban jauh lebih cepat.
“Terima kasih juga… sudah datang di waktu yang tidak kuduga.”
Saat Aira memasuki gedung kuliah, ia sadar bahwa pertemuan-pertemuan kecil itu mulai membentuk pola. Seolah semesta sedang melukis sesuatu perlahan—garis demi garis—menghubungkan dirinya dengan Dipa.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Aira merasa ingin tahu seperti apa gambaran akhir dari jejak yang baru mulai itu.
Langit sore itu tampak gelap, seakan menyimpan sesuatu yang belum ingin ia ungkapkan. Aira berdiri di bawah atap gedung kampus, menunggu hujan mereda sebelum pulang. Payungnya tertinggal di kafe, dan ia tidak ingin menerobos hujan deras tanpa perlindungan.
Namun pikirannya bukan pada hujan, melainkan pada pesan singkat yang baru saja ia terima dari Dipa.
Aira, kamu masih di kampus? Tunggu aku sebentar.
Ia tidak membalas apa pun, tetapi jantungnya sudah memberikan respons lebih dulu: berdebar lebih cepat dari biasanya.
Tidak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Dipa muncul dengan payung hitam di tangan, wajahnya sedikit basah oleh rintik hujan yang tertiup angin.
“Kamu kedinginan?” tanya Dipa.
“Sedikit,” jawab Aira, mencoba tidak terlihat terlalu gugup.
Dipa membuka payung dan mengangkatnya tinggi. “Ayo, aku antar sampai halte.”
Mereka berjalan berdua di bawah payung itu, bahu hampir bersentuhan. Aroma hujan bercampur dengan wangi yang samar dari jaket Dipa. Suasana terasa damai, tetapi ada sesuatu dalam diamnya yang terasa tidak biasa.
Aira melirik. “Kamu kenapa? Dari tadi diam saja.”
Dipa menarik napas pelan. “Aku… ingin cerita sesuatu. Tapi aku tidak tahu apakah ini waktu yang tepat.”
Aira berhenti melangkah. “Kamu bikin aku khawatir.”
Dipa mengangguk, menatap jauh ke jalan yang basah. “Aira, beberapa minggu lagi… aku mungkin harus pindah.”
Aira merasakan dadanya mengerut. “Pindah? Ke mana?”
“Ke Bandung. Ayahku sakit dan aku harus bantu mengurus usaha keluarga sementara.”
Dipa tersenyum tipis, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan. “Aku sebenarnya tidak ingin pergi. Terutama setelah… mengenal kamu.”
Aira terdiam. Hujan terasa lebih dingin tiba-tiba.
“Kamu sudah lama tahu?” tanyanya.
“Baru kemarin malam. Aku sebenarnya tidak mau membahasnya dulu karena… aku takut mengubah cara kamu melihat aku.”
Aira menatap Dipa lekat-lekat. Entah mengapa, ekspresi tulus itu membuatnya sulit marah atau kecewa.
“Kamu tidak salah apa-apa,” ucapnya. “Aku hanya… tidak siap mendengarnya.”
Dipa tersenyum tipis. “Aku juga tidak siap.”
Mereka melanjutkan langkah, kali ini lebih pelan, seolah ingin memperpanjang waktu yang tersisa. Sampai di dekat halte, hujan mulai mereda. Dipa menutup payung, lalu menatap Aira dengan ragu.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti,” katanya. “Tapi… aku ingin kamu tahu satu hal.”
Aira menunggu.
“Aku tidak pernah seserius ini pada seseorang sebelumnya.”
Kata-kata itu membuat Aira kehilangan napas sesaat. Ia ingin menjawab, namun kata-katanya terjebak di tenggorokan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Aku harus pulang,” ujar Aira akhirnya, pelan.
Dipa mengangguk, meski jelas ia ingin menahan Aira sedikit lebih lama.
“Baik. Hati-hati di jalan.”
Aira melangkah masuk ke dalam halte, menatap hujan yang kini hanya tinggal rintik. Ketika ia menoleh kembali, Dipa masih berdiri di sana, memandangi langkahnya menjauh.
Dan di titik itu, Aira menyadari bahwa jejak rindu yang semula terasa manis mulai berubah bentuk—menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih berat, dan lebih sulit untuk dihindari.
Sudah tiga hari sejak percakapan itu, tetapi Aira masih merasa seperti berjalan sambil membawa beban yang tidak ia kenal bentuknya. Setiap kali mengingat kata-kata Dipa—tentang kepergiannya, tentang ayahnya yang sakit, tentang perasaannya—dadanya terasa penuh dan sesak.
Di kafe tempat ia bekerja, suasana sore tampak tenang. Tidak banyak pengunjung. Namun, justru ketenangan itu membuat pikiran Aira semakin bising.
“Aira,” panggil Nia dari balik meja kasir. “Kamu lagi banyak pikiran, ya?”
Aira mencoba tersenyum. “Kelihatan banget, ya?”
“Kelihatan seperti orang yang nunggu pesan dari seseorang.”
Aira terdiam. Itulah yang ia lakukan sejak pagi. Menunggu pesan dari Dipa—yang tidak pernah datang.
Nia mengetuk meja. “Kalau kamu butuh cerita, aku siap dengar, tapi… kamu juga harus berani hadapi apa pun itu.”
Aira mengangguk pelan. Mungkin Nia benar. Ia tidak bisa terus terkurung dalam kecemasan yang belum tentu perlu.
Namun saat ia hendak merapikan meja, pintu kafe terbuka. Dipa berdiri di sana.
Aira langsung membeku.
Laki-laki itu tampak berbeda—lebih letih, mata sedikit sembab, jaketnya masih basah oleh gerimis. Bukan seperti Dipa yang biasanya hadir dengan ketenangan, melainkan seseorang yang sedang menahan banyak hal.
“Aira… boleh bicara sebentar?” suaranya rendah, hampir bergetar.
Aira menelan ludah. “Tentu. Kita duduk di belakang.”
Mereka menuju meja kosong di sudut kafe. Dipa duduk dengan tangan mengepal, seolah mencari keberanian.
“Aku tidak sempat hubungi kamu,” katanya. “Ayahku harus opname lebih cepat dari rencana. Aku bolak-balik Bandung dua hari ini.”
Aira merasakan rasa bersalah menjalar. “Maaf. Aku tidak tahu…”
“Kamu tidak perlu minta maaf.” Dipa menggeleng. “Aku datang karena… aku tidak mau kamu merasa aku menjauh.”
Aira menatapnya dalam-dalam. “Aku memang menunggu kabar kamu.”
Dipa mengembuskan napas panjang, lalu berkata dengan jujur, “Aira, aku takut kehilangan hal yang baru saja mulai kita bangun.”
Kata-kata itu menghantam relung hati Aira lebih kuat dari hujan paling deras.
Ia memejamkan mata sejenak sebelum menjawab.
“Aku juga takut, Dip. Tapi bukan kehilangan… lebih ke takut kalau semuanya berubah bahkan sebelum sempat dimulai.”
Dipa meraih meja, jemarinya berhenti dekat tangan Aira, tidak menyentuh, tetapi cukup untuk menghadirkan getaran.
“Aku tidak janji bisa selalu ada secara fisik,” ucapnya, “tapi aku janji… aku tidak akan hilang.”
Aira melihat ketulusan itu, dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa rasa takut yang selama ini ia simpan berasal dari bayangan masa lalu—namun Dipa bukan masa lalunya.
“Kalau begitu… jangan pergi tanpa memberi tahu apa pun,” kata Aira lirih.
“Aku tidak kuat menjalani ketidakpastian sendirian.”
Dipa tersenyum tipis. “Aku janji.”
Keduanya terdiam beberapa saat. Hujan kembali turun, tipis-tipis, seperti bagian dari percakapan yang tidak perlu diucapkan.
“Aku berangkat ke Bandung besok pagi,” ujar Dipa akhirnya. “Mungkin beberapa minggu.”
Aira menunduk, merasakan sesuatu menegang di dadanya.
“Baik. Aku… aku akan menunggu.”
Dipa menatapnya dalam. “Aira, kamu tidak harus menunggu. Tapi kalau kamu memilih untuk itu… aku akan pulang membawa alasan untuk tidak membuatmu menyesal.”
Aira menggenggam ujung lengan bajunya sendiri, berusaha meredam gemetar kecil.
“Aku tidak menunggu karena terpaksa. Aku menunggu karena… kamu penting.”
Wajah Dipa melembut. Ia tidak menyentuh Aira, tetapi tatapannya sudah cukup untuk mengirim kehangatan.
Di luar, hujan semakin deras.
Namun untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka, Aira merasa siap menghadapi apa pun jarak yang akan datang. Rindu yang menakutkan itu kini berubah menjadi sesuatu yang ingin ia perjuangkan.
Karena dalam hujan sore itu, mereka sama-sama memilih.
Dan pilihan itu menjadi langkah pertama menuju bab yang lebih sulit… namun juga lebih berarti.
---
Sekian dan terima kasih ...