Raffa mengumpat dalam hati. Sedetik saja dirinya lengah, Snow sudah langsung bergegas pergi. Wanita itu tidak meninggalkan pesan, tidak memberikan nomor ponsel yang baru, bahkan, menoleh ke arah Raffa pun tidak.
Tentu saja Raffa sudah mengejar dan mencoba menahan Snow. Sialnya, tepat setelah dirinya menjejak pintu keluar, segerombolan wartawan langsung menyerbunya. Raffa baru saja memenangkan award kategori solo drummer terbaik. Namun, lelaki itu tidak bisa datang di acara besar yang diadakan di London. Alhasil, kemunculan wajahnya di tempat publik seperti ini pasti dijadikan ajang para wartawan untuk mencari informasi.
Sambil menghela napas lega, Snow sedikit menoleh ke belakang guna memastikan Raffa tidak lagi mengikutinya. Gio, anak lelakinya, menatap Snow dengan pandangan bingung. Pun sama halnya dengan Ava, seorang teman baiknya yang sejak tadi terasa seperti hilang akal ketika melihat Snow duduk satu meja dengan lelaki yang dinobatkan sebagai makhluk Tuhan paling sexy.
"Snow!" pekik Ava. "Ini apa-apaan ya?"
Snow terus berjalan setengah berlari seraya menggendong Gio. "Diem dulu, Va."
"Nggak bisa! Jelasin!"
"Nanti."
Ava lantas berlari sedikit lebih kencang untuk menghadang langkah Snow. "Sekarang."
"Aturan nomor satu, kita harus kabur dari sini dulu," pungkas Snow yang lantas kembali berjalan ke arah tempat parkir.
"Itu yang tadi sama kamu Raffaele, 'kan?"
"Va, bisa nggak nanyanya ntar aja?" balas Snow seraya terus berjalan dengan cepat.
"Nggak bisa!" pekik Ava.
"Sabar!" balas Snow yang ikut meninggikan suara.
Ava sempat tertawa menanggapi pertengkaran mereka yang sengit tapi tetap terdengar akrab. Setelahnya, Ava menjawab lagi ucapan Snow dengan suara yang tidak kalah kencang. "Nggak bisa sabar kalo soal ini!"
"Mending kamu buruan jalannya, biar ngga kayak siput gitu."
"Ini aku udah lari," balas Ava. "Jawab doang apa susahnya. Itu tadi Raffaele?"
"Iya."
"Raffaele De Carlo?"
"Iyaaa."
"Raffaele yang drummer itu?"
"Iya, Vaaa."
"Yang kamu puja-puja banget itu?"
Snow hanya melirik tanpa menjawab, lalu bergegas masuk ke dalam mobil.
"Snow!"
Ava gegas berlari dan menyusul. Kali ini, dia harus menyetir. Namun, bukannya menyalakan mesin, Ava justru kembali membombardir Snow dengan berbagai pertanyaan dan reaksi keterkejutan.
"Kamu gila, Snow."
"Diem," pungkas Snow seraya sibuk mendudukkan Gio di atas car seat. "Yuk udah, jalan."
"Jawab dulu, ini ada apa antara kamu sama Raffa?"
"Ceritanya panjang. Sekarang jalan dulu, bawa aku kabur, please," jawab Snow.
"Bawa kabur dari cowok yang kamu stalk medsos-nya tiap hari? Kamu waras?"
Alih-alih menjawab, Snow kini justru menjentikkan jari. Dia ingat satu hal penting.
Sambil terus mengabaikan Ava yang terus mengoceh, Snow lantas mengambil ponsel dari dalam clutch. Jemarinya bergerak cepat membuka akun sosial media miliknya, lalu menuju kolom pencarian dan mengetikkan nama Raffaele De Carlo. Setelah membuka akun itu, Snow segera memencet tombol unfollow. Langkah selanjutnya adalah ... block.
"Snow, what's going on?"
Snow mendesah lelah. Dia menatap lurus ke arah depan, lalu melempar pelan ponselnya ke kursi samping.
"Snow."
"Jalan, Va," titah Snow.
Ava mendengus kesal. Walau ekspresi wajahnya masam, tapi dia tetap menuruti ucapan Snow. Sambil terus menggerutu, Ava lantas menyalakan mesin mobil, lalu bergegas meninggalkan bandara.
"Aku males ya kalo ada rahasia-rahasiaan gini. Jari kelingking aku pas kejepit tutup botol shampo aja aku cerita sama kamu. Masa kamu hal sebombastis ini nggak mau cerita?"
"Bukan nggak mau cerita," jawab Snow.
"Tapi?"
"Tapi aku nggak tau gimana ceritanya."
"Ok, kapan pertama kali kalian ketemu?" tanya Ava.
"Lima taun yang lalu."
"What?! Kok bisa?"
"Va, jangan sekarang. Ni anak udah bisa mudeng kalo aku cerita ini," balas Snow seraya mengusap kepala Gio.
Ava melirik ke kursi belakang, lalu hanya bisa mendesah pasrah. Obrolan dewasa memang tidak seharusnya didengar oleh anak kecil. Apalagi, ini tentang seorang lelaki yang ... entah ada hubungan apa dengan ibunya.
Kedua tangan Ava masih bergerak piawai mengendalikan stir. Namun, wanita itu masih saja tampak gelisah. Berkali-kali dia menoleh ke arah Snow, bersiap untuk angkat suara, tapi pada akhirnya hanya bisa diam seribu bahasa.
Menit-menit pertama, Ava masih bisa menahan rasa penasarannya. Namun, memasuki menit ke sepuluh, kesabaran Ava benar-benar habis. Dia mengangkat pandang ke arah spion tengah, lalu memicing ke arah Snow.
"Bocoran deh, dikiiit aja. Kalian gimana ketemunya?" tanya Ava.
Snow menggeleng. Bahkan, dengan sengaja, Snow justru meraih sekotak snack untuk dimakan bersama anaknya.
"Snow. Kalian ada hubungan apa?"
"Kamu ngomong apa si? Ini didengerin Gio lho, Va," balas Snow.
Ava lantas menggertakkan gigi. Sambil mendesis pelan, dia kemudian kembali fokus ke jalan depan. Namun, baru beberapa detik terdiam, Ava kembali menoleh ke arah Snow.
"Kasih satu clue. Apaaaa gitu. Jangan bikin aku mati penasaran."
Snow seketika mendelik dengan raut galak.
"Satu kata aja. Ap-"
"Nunggu sampe rumah apa susahnya," pungkas Snow.
"Tapi kan-"
"Ssstttt!"
Ava memutar bola matanya kesal.
"Gio rewel nggak dua hari ditinggal Mama?" Snow sengaja mengalihkan perhatian dengan mengajak anaknya bicara.
"Enggak dong. Gio taat kok sama aunty."
"Good boy," balas Snow. "Tidurnya sama Dante atau sendiri?"
"Sama Dante. Makan sama Dante. Main juga sama Dante," jawab Gio.
Anak berusia tiga tahun itu memang sangat dekat dengan Dante - anak lelaki Ava. Mereka bersahabat baik seperti kedua orang tuanya. Bahkan, Gio sudah sering bersama Dante sejak lahir. Wajar saja, karena usia mereka hanya selisih satu bulan.
Sama seperti Snow, Ava juga merupakan seorang perawat. Keduanya mulai dekat sejak masih bekerja di kapal pesiar. Uniknya, mereka selesai kontrak dari kapal di bulan yang sama, lalu menikah di tahun yang sama, dan sama-sama berjodoh dengan orang Italia. Bedanya, Ava masih hidup bahagia bersama Joe, suaminya, sementara Snow sudah menjanda sebab Leo telah berpulang kepada Tuhan.
Sebenarnya ada lagi satu teman baik Snow. Dia adalah seorang dokter bernama Feyra yang juga dipertemukan di atas kapal pesiar. Namun, mereka sudah jarang bertemu secara langsung karena Feyra tinggal di Jerman bersama suaminya yang seorang kapten kapal sekaligus CEO perusahaan terkenal.
"Gio tidur?" tanya Ava tepat ketika mobil berhenti di depan rumahnya.
Snow mengangguk. Perlahan, Snow menggendong anaknya lalu memindahkannya ke kamar dengan ranjang berbentuk mobil. Dante tidak ada di dalam. Ava bilang, Joe sedang membawanya keluar jalan-jalan.
"Udah, sekarang kamu harus cerita," kecam Ava begitu mereka berdua duduk di meja dapur.
Snow menatap Ava ragu. Entah dari mana harus memulainya. Ini terlalu sulit, terlalu memalukan, terlalu gila, dan terlalu konyol.
"Snow," desak Ava.
Meski awalnya sedikit terbata, pada akhirnya Snow lantas menceritakan semua tentang Raffa. Mulai dari kisah Balthazar, hingga pertemuan mereka di bandara. Semuanya. Tanpa ada satu pun yang Snow tutup-tutupi.
"I'm lost for words." Ava tercengang sekaligus tidak menyangka. "Kayak boongan, tapi aku liat sendiri kalian berdua di depan mata."
"Aku yang ngalamin sendiri lebih nggak nyangka, Va."
"Terus perasaan kamu sebenernya tu gimana?" tanya Ava.
Snow diam, lalu menatap langit-langit rumah. Bayangan wajah Raffa dan Leo lantas muncul bersamaan. Jujur saja, Snow tidak bisa menjawab pertanyaan Ava. Ini terlalu sulit.
Dulu, Snow memang seorang wanita yang mudah dekat dengan banyak lelaki. Dia bisa mengatakan cinta dengan lancar tanpa perlu berpikir panjang. Namun, semua berubah setelah Snow menikah dengan Leo.
Leo adalah lelaki paling sabar dan paling baik yang pernah Snow punya. Dia juga lelaki yang berhasil membuat Snow berhenti menjadi pengembara. Begitu mereka menikah, Snow benar-benar hanya memiliki Leo seorang.
Kehidupan pernikahan mereka nyaris sempurna. Sayangnya, sosok suami yang juga sempurna harus pergi meninggalkan Snow.
Sejak Leo meninggal, Snow seperti mati rasa. Dia hancur sehancur-hancurnya. Walau ada banyak lelaki yang mendekatinya, tapi Snow tetap memilih sendiri hingga saat ini.
"Aku masih sayang sama Leo," ucap Snow pada akhirnya.
"I know. Dan mungkin selamanya perasaan itu bakal selalu ada. Tapi yang sedang aku bahas sekarang soal Raffa. Gimana dia?"
"Nggak tau, Va. Ini nggak gampang."
"Tunggu dulu, Raffa ini jangan-jangan orang yang kamu telepon malem-malem sebelum kamu nikah?"
Snow hanya menatap Ava, tapi sahabatnya itu pasti tahu kalau jawabannya 'iya'.
"Yang kamu nangis sampe pagi, yang katanya kamu cinta banget, tapi harus putus karena kamu ngerasa kalau kalian nggak ada masa depan?"
Kepala Snow perlahan mengangguk.
"Oh my God."
Ava lagi-lagi tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Snow pernah bercerita kalau dia memiliki kekasih yang sangat Snow sayang. Bahkan, Snow mengaku lebih nyaman bersama kekasihnya satu itu dibandingkan dengan Leo. Namun, Snow pada akhirnya tetap menerima Leo menjadi seorang suami karena dia adalah lelaki yang baik dan ... Leo seperti tidak memiliki cela untuk Snow tolak.
"Dokter Feyra udah tau soal ini belum"
Snow menggeleng. "Belum lah."
"Aku harus cerita," ucap Ava seraya menyambar ponsel miliknya.
"Jangan! Besok aja. Besok dia kesini, jadi kita bisa ketemu langsung."
Ava menimbang ucapan Snow sambil menggerakkan ponselnya. Ingin rasanya tetap menghubungi Feyra untuk segera bertukar cerita. Namun, niatnya seketika urung begitu Ava melihat notifikasi pesan di akun sosial medianya.
Jujur saja, rasanya seperti mimpi ketika melihat sederet nama dengan logo centang biru di belakangnya. Ava sebisa mungkin tidak berekspresi dengan berlebihan. Namun, matanya tidak bisa tidak membola ketika membaca nama Raffa.
Raffaele De Carlo:
Ciao. Saya Raffa. I'm sorry in advance. Ini tentang Snow Estelle. Mungkin cara saya menghubungi kamu memang sedikit lancang, tapi saya tidak tahu harus tanya siapa karena kamu orang yang keliatannya paling dekat sama Snow.
Saya harus bicara sama Snow. Ini hal yang sangat penting. Bisa saya minta nomor ponselnya? Grazie, Ava.