8. Hangat

2245 Kata
Setangkai bunga tulip berwarna orange disodorkan tepat di hadapan Snow. Kedua mata biru itu lantas berbinar saat melihat betapa indahnya semburat kekuningan di bagian tengah. Ini cantik sekali. Walau ukurannya cenderung kecil, tapi Snow sangat suka. "Ini untukmu." Snow tidak bisa tidak tersenyum. Lelaki di hadapannya sangat manis. Hampir setiap melihat bunga yang sekiranya cantik, dia akan memetik dan memberikannya kepada Snow. "Makasih, cantik banget bunganya," balas Snow. "Secantik Snow Estelle." Snow lantas tertawa. Entah mencontoh siapa, tapi anak kecil berusia tiga tahun ini memang pandai merayu. Sama persis seperti ayahnya. Mungkin sisi romantisnya menurun dari Leonardo Bianchi. "Aku masih punya sesuatu buat Mama," ucap Gio kemudian. "Really? Apa itu?" "Coba Mama tutup mata dulu." Bibir Snow menyunggingkan senyum, lalu menuruti ucapan Gio untuk memejam. Detik-detik awal, tak ada satu hal pun yang terjadi. Namun, tiba-tiba Snow merasakan sebuah kecupan di pipi kiri. "Gio!" pekik Snow seraya tertawa. Gio ikut tergelak, lalu berlari ke taman belakang. "Ti amo, Mama." Snow tidak bisa menghentikan tawa. Dia merasa sedang digoda oleh anaknya sendiri. Sambil masih melebarkan bibirnya, Snow lantas melangkah cepat ke arah Gio yang sedang berlari ke arah kebun bunga. Taman belakang rumah ini sangat luas. Snow bisa leluasa berkejaran bersama Gio yang memang sangat suka dikejar. Semula, Snow tidak merasa ada yang janggal. Namun, tawa di bibirnya mulai musnah ketika sudut matanya menangkap bayang seorang lelaki yang sepertinya sedang menatapnya dari kejauhan. Awalnya Snow pikir, semua itu hanya perasaannya saja. Sialnya, ketika Snow menoleh dan mata mereka bertemu, dugaan Snow ternyata tidaklah salah. Raffa, lirih Snow dalam hati. Ini seperti mustahil. Snow terus mengelak kalau lelaki itu pasti bukan Raffa. Dia mungkin hanya salah lihat. Namun, ... ah, sial. Lelaki itu melempar seutas senyum beracun andalannya seolah menyiratkan kalau keberadaannya memanglah nyata. "Gio main sama Dante sama kakak kakak yang lain dulu ya. Mama mau masuk," ucap Snow seraya mengusap kepala anaknya. Gio mengangguk. Anaknya itu memang tampak langsung bisa akrab dengan beberapa teman barunya. Awalnya, dia hanya mau bermain dengan Dante. Namun, setelah Jane mengajaknya berkenalan dengan Alessandro, dia lantas mulai membaur. Bahkan, Gio tampak sangat menyukai Alessia, adik perempuan Alessandro yang masih berusia satu setengah tahun. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah Raffa, Snow lantas berjalan setengah berlari menuju ruang dekat teras samping. Ava dan Feyra sedang mengobrol seraya mengawasi anak-anak mereka dari sana. "Va!" pekik Snow. Melihat wajah Snow yang tampak panik, Ava langsung berdiri. Pun sama halnya dengan Feyra yang beranjak dari tempat duduknya untuk mendekat ke arah Snow. "Kamu kenapa?" tanya Snow. "Dia di sini." "Dia? Dia siapa? Dimana?" Snow masih gusar dan kesulitan menjelaskan. Hanya tangannya yang bergerak mengarahkan jari telunjuk ke arah dimana Raffa berdiri. "Siapa?" Kini giliran Feyra yang bertanya. Jika dilihat dari posisi mereka berdiri, Raffa memang tdiak terlihat sama sekali. "Dia." "Siapa?" tanya Ava setengah membentak. Snow mendesahkan napas panjang, lalu sekuat tenaga mengucapkan satu nama. "Raffa." "What?!" Ava dan Feyra menjawab dengan reaksi keterkejutan yang sama. "Kok bisa dia ada di sini?" tanya Snow. "Ya aku mana tau," jawab Ava yang lantas menatap ke arah Feyra. "Aku juga nggak tau. Aku nggak kenal dia. Elio mungkin?" Tepat saat mereka berdebat, Sascha melintas seraya membawa beberapa ikat bunga segar. "Sha," panggil Feyra sambil setengah menarik lengan adik iparnya. "Sini." "Kenapa, Kak?" "Itu yang di depan beneran Raffa bukan? Raffaele De Carlo," tanya Feyra. "Iya. Kak Feyra kenal sama dia juga?" Feyra lantas menatap Snow yang kini sibuk mengusap wajah. Ya Tuhan. Bencana memang terkadang datang di saat-saat yang tidak tepat. "Dia diundang juga?" Kali ini Ava yang bicara. "Enggak sebenernya. Tapi kebetulan aja dia kesini. Kan dia anaknya Om Andrea, yang bikin lukisan depan," terang Sascha. Snow tidak sanggup menanggapi. Dia hanya menunduk dan langsung beringsut duduk. Entah mengapa, jika berhubungan dengan Raffa, tubuhnya mendadak lemas kehilangan tenaga. "Mau aku panggilin kesini?" tawar Sascha. "Enggakkkk!" Snow langsung menolak dengan nada sedikit berteriak. Sascha sempat terkejut, tapi detik selanjutnya dia tertawa kecil. Ekspresi Snow begitu mudah dibaca. Hanya dengan menampakkan raut panik dan risau saja, Sascha yang semula tidak tahu apa-apa menjadi sedikit bisa menebak. "Ok, so, how?" "Dia ikut pesta juga?" tanya Snow. "Nggak tau juga ya, Kak. Dia tu temen lama Elio. Jadi dia bebas aja di sini, kalo dia mau ikut ya tinggal ikut, kalo nggak mau, ya bakal pulang sendiri dianya." "Fix, dia bakal di sini sampe acara selesai," celetuk Ava. Snow langsung menoleh dan melotot ke arah salah satu temannya. Namun, bukannya ikut kesal seperti Snow, Sascha justru tertawa. "Aku nggka ikutan ya," ucap Sascha yang langsung melenggang pergi. Snow kembali menundukkan kepala. Walau dari luar tampak lemas, tapi sebenarnya jantungnya sedang berdetak cepat. Snow merasa akan ada hal mengerikan yang terjadi setelah ini. "Aku harus gimana ya? Aku nggak mau ketemu dia," keluh Snow. "Tenang, ngga akan ada hal buruk," ucap Ava. "Menurutku, kalo kamu emang nggak mau, ya tinggal anggep aja nggak ada apa-apa di antara kalian. Bersikap biasa aja." Feyra berbicara dengan pelan. Snow menarik napas panjang. Ucapan Feyra ada benarnya juga. "Ok," tegas Snow seraya berdiri. Ini sulit. Namun, tidak ada cara lain selain menjadi berani. Hingga pesta ulang tahun dilangsungkan, Raffa tidak sedikit pun mendekati Snow. Namun, Snow sadar betul kalau beberapa kali lelaki itu tampak mencuri pandang ke arahnya. Snow sudah berusaha untuk tampak biasa saja. Sialnya, hatinya tetap saja berdesir hebat ketika tak sengaja mata mereka saling tatap. "Mama, aku suka cupcake-nya," ucap Gio yang mulutnya sudah terkena noda cokelat. Snow terkekeh, lalu mengusap sudut bibir anaknya. Walau sedang berinteraksi dengan Gio, tapi sebenarnya Snow tidak lepas mengamati Raffa. Bukan apa-apa. Dia hanya mencoba memastikan Raffa tidak mendekatinya. Jika Raffa melangkah sedikit saja ke arahnya, Snow akan berpura-pura mengajak Gio untuk berkeliling mencari makanan baru untuk dicoba. "Boleh ice cream?" tanya Gio dengan wajah memelas. Snow pura-pura tampak berpikir. Namun, detik selanjutnya Snow lantas mengangguk dan sukses membuat Gio melompat girang. "Aku mau yang itu," pinta Gio. Snow segera mengiyakan. Kalau boleh berlebihan, ini adalah pesta ulang tahun anak kecil termewah yang pernah Snow hadiri. Walau diselenggarakan di dalam rumah pribadi, tapi apa jadinya jika rumah ini saja sudah tampak seperti istana. Mulai dari dekorasi, konsep, makanan, dan hiburan, semuanya benar-benar sempurna. "Mama mau?" tanya Gio. "Non. Kamu aja." Snow menjawab, lalu mengedarkan pandang ke arah tempat semula Raffa berdiri. Oh, shitt. Lelaki itu sudah tidak ada di sana. Snow sudah menyisir dari sudut kanan hingga kiri. Namun, sial. Raffa menghilang entah kemana. "Gio." Suara Alessandro membuat Snow dan Gio seketika menoleh. "Sini main ini." Setelah menghabiskan sendok terakhir, Gio kembali menatap Snow seolah sedang meminta persetujuan. Begitu Snow mengangguk, Gio langsung berlari ke arah Alessandro yang sedang bermain bersama Dante. Sepeninggal Gio, mata Snow kembali menelisik satu per satu gerombolan manusia di hadapannya. Feyra sedang mengobrol bersama keluarga besarnya, Ava sedang berada di photo booth bersama Joe, dan ... lelaki yang sedari tadi dia cari masih belum juga dia temukan. Kelopak mata Snow sedikit menyipit guna memfokuskan pandangan agar bisa menemukan Raffa. Apapun yang terjadi, Snow bersumpah harus berada di kutub yang berlawanan dengan lelaki itu. Sialnya, ketika sibuk menoleh ke kiri dan kanan, suara bisikan dari belakang tiba-tiba membuat nyawa Snow seperti hampir melayang. "Nyari aku?" Snow mematung di tempat. Ah, sial! Snow benci suara itu. Snow benci nada rendah yang sedikit terkesan serak. Snow benci ucapan lirih yang terdengar seperti bisikan hangat. Snow benci segala sesuatu yang ada pada diri Raffa. "Ngobrol di luar bentar yuk," ajak Raffa. "Sorry, aku harus ngawasin Gio di sini." "Bentar doang, nggak akan lama." "Well, kalo emang nggak ada yang penting, mending nggak usah aja." Raffa lantas dengan berani melangkah ke hadapan Snow. Dia tidak menyentuh tubuh Snow sama sekali, tapi tatapan matanya sangat tajam dan seperti sedang menguliti. "Penting," tegas Raffa. "Ya, udah, tinggal ngomong aja." "Aku mau ngobrol berdua aja," pinta Raffa seraya melirik ke area sekitar mereka. Selain terlalu ramai, di tempat ini juga cukup bising. "Aku nggak bisa," tolak Snow. "Please." "No." "Snow, please." "No." Raffa mengembuskan napas panjang. Menghadapi Snow memang susah susah gampang. Dia harus mencari celah untuk bisa membuat wanita itu menyerah dan kalah. "Kamu mau aku ngomong di sini? Ok, then," ucap Raffa yang kini tampak menyeringai lebar. "Apa?" Walau sempat gentar, tapi Snow memberanikan diri untuk tetap meladeni Raffa. "Aku masih sayang kamu, dan aku nggak bisa lupain kamu," ucap Raffa dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih kencang. Tak hanya Snow yang tercengang, beberapa orang yang melintas di sebelah mereka juga refleks menoleh ke arah Raffa. "Waktu ketemu di bandara kemarin, aku -" "Raff," pungkas Snow dengan suara sedikit berbisik. "Stop it!" "Why? Kamu yang minta aku ngomong di sini." Snow hanya bisa mengumpat dalam hati. Entah Snow yang bodoh, atau Raffa yang terlalu licik. Lelaki itu selalu saja mampu membalikkan keadaan dan membuat Snow berada di posisi yang lemah. "Ok, lima menit," ucap Snow pada akhirnya. "Nggak lebih." Raffa spontan melebarkan bibirnya. Dia lantas berjalan mengekori Snow yang sudah terlebih dahulu melangkah menuju pintu keluar. "Apa?" tanya Snow begitu keduanya sampai di teras belakang. "Jangan lari dari aku lagi." "Harus, Raff. Aku harus lari dari kamu." "Kenapa? Bilang sama aku, dimana masalahnya. Kalo kamu lari, nggak akan selesai. Kamu cuma bakal capek doang, Snow," ucap Raffa. Snow diam tidak membalas. Sempat Raffa hampir menyentuh tubuhnya, tapi Snow buru-buru melangkah mundur. "Kasih aku kesempatan. Kasih kita berdua kesempatan. Please," ucap Raffa lirih. "Kesempatan apa?" balas Snow. "Perlu aku sebutin? Perlu aku perjelas kalo aku sama kamu masih saling mencintai? Perlu aku pertegas kalo sebenernya kita sama-sama saling menginginkan?" Tubuh Snow semakin melemas. Ucapan Raffa mampu menggoyahkan segala penyangkalan yang selama ini mati-matian Snow pertahankan. Sungguh salah menantang manusia seperti Raffa. Lelaki itu akan selalu terang-terangan dalam segala hal. "Strawberry," bisik Raffa. "Non. Jangan panggil aku kayak gitu." Snow berusaha sekuat tenaga menatap mata Raffa. "Raff, kita berdua bukan orang yang sama lagi. "Apa maksudnya?" "Semua udah berubah, Raff. Aku bukan Snow yang dulu kamu kenal. Dan kamu, bukan lelaki yang dulu aku kenal." Snow menatap Raffa dari atas ke bawah. "Yang aku kenal dulu bukan Raffaele De Carlo. Buat aku, kalian adalah dua orang yang berbeda." "Ok, aku salah. Tapi apa salahnya mulai dari awal?" "Aku nggak mau. Aku udah bahagia sekarang," tegas Snow. "Aku bisa bikin kamu lebih bahagia dari yang sekarang." "Nggak mau, dan nggak perlu," balas Snow. Raffa mulai tampak frustasi. Semula, dia hanya ingin bicara baik-baik. Namun, setelah mendapati Snow seperti ini, Raffa seperti tidak punya cara lain selain memaksa. Tanpa peduli bahwa ini sedang ada di acara pesta, Raffa lantas menangkup wajah Snow dan membuatnya mendongak agar bisa dia tatap lekat-lekat. Seperti biasa, Snow pasti memberontak. Namun, Raffa tahu, kalau perlawanan Snow pasti akan melemah seiring berjalannya waktu. "Raff, lepasin," ucap Snow. "Enggak." 'I love you like crazy.' 'Aku nggak bisa lepasin kamu, aku nggak bisa lupain kamu, aku nggak bisa kalo kamu pergi ninggalin aku lagi.' 'Aku tau kamu masih punya perasaan yang sama. Tapi kenapa kamu nggak mau ngaku?' Snow seperti hampir menangis. Sederet kalimat yang ada di kepala Raffa satu persatu bisa Snow baca. Snow tidak ingin tahu. Namun, semua itu terus saja bermunculan sejak tangan Raffa menyentuh kedua pipinya. "Raff, lepas. Aku bisa teriak sekarang." Raffa justru tersenyum. "Coba aja." Snow memicing penuh kebencian. Setelah menarik napas panjang, Snow lantas bersiap melayangkan teriakan kencang. Sialnya, baru saja sedikit mengeluarkan suara, bibir Snow sudah terbungkam oleh sebuah ciuman yang sangat amat dalam. Otak Snow mengumpat dan terus memaki. Namun, anehnya, hatinya justru bersorak bahagia. Bagian tubuhnya yang satu itu memang tidak pernah tidak menginginkan ciuman dari Raffa. Sejak awal, inilah satu-satunya kelemahan Snow. Sialnya, Raffa seolah tahu kalau Snow akan luluh ketika berhasil dia sentuh. "Raff," lirih Snow di sela lumatan lembut yang sedikit pun tidak Raffa lepas. Raffa tampak tidak peduli. Dia justru bergerak menarik tubuh Snow agar semakin merapat padanya. "Raff, stop it!" pinta Snow. "I'll stop, asal kamu mau diajak ngobrol baik-baik." "Ok," sambar Snow cepat. Jangan sampai Raffa mengulangi ciuman itu lagi. Raffa langsung tersenyum. Sambil melepas tubuh Snow dari pelukannya, tangan Raffa dengan cepat meraih ponsel dari clutch kecil milik Snow yang resletingnya terbuka. "Mau ngapain?" tanya Snow ketika melihat Raffa mengutak-atik ponselnya. "Buka blokir." Snow lagi-lagi dilanda dilema. Separuh dirinya ingin mencegah, tapi separuhnya lagi justru tersentuh dan bahagia karena merasa dicintai dengan sedalam ini. "Nanti malem aku telepon. Harus diangkat. Kalo nggak, aku samperin ke rumah kamu," titah Raffa seraya menyodorkan ponsel ke arah Snow. "Raff," ucap Snow seraya menggelengkan kepala. "Atau mau aku samperin ke rumah sakit?" Snow seketika membelalakkan mata seraya menggeleng cepat. "Jangan." Tawa Raffa langsung pecah. Strawberry memang asam. Namun, Strawberry miliknya sangatlah manis. "Ok, enjoy the party. Aku pulang dulu. Kalo aku di sini terus, pasti kamu ngerasa terganggu," ucap Raffa. "Kita lanjut ntar malem?" Snow tidak tahu harus menjawab apa. Namun, dengan polosnya, kepala Snow justru mengangguk patuh. Bodoh! umpat Snow pada dirinya sendiri. Raffa tentu saja tersenyum bahagia. Sebelum pergi, dia sempat mendaratkan kecupan ringan di ujung kepala. Raffa juga tak lupa merapikan rambut yang sedikit berantakan akibat ulahnya. Gerakannya pelan dan lembut, seolah sengaja meninggalkan bekas sentuhan yang penuh dengan keintiman. Snow hanya bisa menahan napas. Jarak mereka terlalu rapat. Masih sambil mengusap rambut pirangnya, Raffa sesekali menyentuh Snow di bagian bibir, pipi, hingga ke telinga. Selaras dengan jemari tangannya yang hangat, tatapan mata Raffa juga menyorot dengan hangat. Namun, ... hangatnya adalah hangat yang mampu menuang segumpal hasrat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN