2. Suami Pilih Kasih

1014 Kata
"Siapa yang menikmati uangmu, Mas? Yang jelas bukan aku ya! Kamu aja hanya memberiku jatah satu juta! Gimana ceritanya menikmati uangmu?!" Mas Haikal terbungkam. Mungkin dia sadar. Kalau tidak sadar juga berarti dia sudah tak waras. Ada alasan kenapa aku lakukan hal ini padanya. Setiap hari aku selalu dimaki-maki, entah soal makanan yang terlalu sederhana atau soal anak-anak yang berisik dan ribut. Aku sudah capek. Muak sekali mendengarnya. Hampir menyerah dan ingin pulang saja ke rumah orang tua. Tapi jauh sekali di luar pulau. Harus punya dana yang banyak untuk pulang, sedangkan uang yang kukumpulkan pun lama-lama habis untuk menutupi kebutuhan. Kemarin-kemarin mungkin aku masih bisa ikhlas menjalani ini semua, menambal sulam kebutuhan keluarga dengan uang jualanku. Karena kupikir gaji Mas Haikal memang sedikit. Tapi tidak setelah aku mengetahui kenyataannya. Beberapa hari yang lalu ... "Mas, katanya kamu kan diangkat jadi manager, aku mau uang belanjanya ditambah mas, harga kebutuhan pokok semakin hari semakin mahal. Bisa kan, Mas?" Tak ada sahutan apapun dari mulut Mas Haikal, dia bergeming, pandangannya hanya fokus pada benda berlayar pipih itu. "Mas, kamu dengar aku?" Dia menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. "Tidak! Uang belanjaanmu seperti biasa. Satu juta per bulan," tukasnya dengan nada garang. "Tapi--" "Tidak ada kata tapi-tapi, urus rumah aja yang bener gak usah banyak nuntut. Jadi istri kok gak bersyukur banget. Adikku masih butuh biaya buat kuliah, apalagi sebentar lagi dia akan wisuda. Aku gak bisa menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak penting." Seketika aku terdiam. Aku hanya pasrah, mendengar ucapannya sudah tentu ia akan berbicara panjang lebar mengenai keluarganya. Memang, Mas Haikal adalah tulang punggung keluarga. Dia menghidupi ibunya yang janda dan adiknya yang sekarang duduk di bangku kuliah, bahkan kakaknya pun turut jadi tanggungannya padahal dia sudah punya suami. Jujur, aku memang keberatan untuk hal itu. Apalagi dia tidak terbuka tentang apapun terhadapku. Pun mengenai gajinya. Aku hanya ingin ia terbuka dan bersikap adil pada kami. Ia sempat keceplosan bicara kalau sekarang ia menjabat sebagai seorang manager. Aku tidak tahu seberapa besar gajinya. Mas Haikal hanya menjatahku satu juta per bulan, dan itu harus cukup. Aku harus putar otak bagaimana caranya mengatur keuangan ini, bayar air, listrik, kebersihan lingkungan sudah termasuk didalamnya. Bahkan uang jajan Daffa-Daffi, anak kembar kami yang berusia lima tahun termasuk dalam jatah uang belanjaanku. Beruntung si bungsu ku masih ASI eksklusif, jadi tak perlu memikirkan membeli s**u formula. * Kuletakkan lipatan baju Mas Haikal di lemari. Tiba-tiba tanpa sengaja sebuah kertas jatuh ke lantai. Aku meraihnya, karena penasaran jadi aku membukanya. Isinya tentang struk gaji seorang manager, disana tertulis angka 10.000.000 Glek! Aku hanya mampu menelan saliva, gaji suamiku sebesar ini tapi dia hanya menjatahku satu juta? Kemana perginya sisa gajinya itu selain diberikan ke keluarganya? Tanpa terasa air mataku meleleh. Kenapa aku harus mengetahui kenyataan ini kalau ternyata begitu menyakitkan. Kutaruh kembali kertas itu dibawah lipatan bajunya. "Mil ... Milaaa ... Mana makanannya?!" teriak suara dari luar. Rupanya Mas Haikal sudah pulang dari kantor. Aku beringsut menemuinya. Hari ini aku memang tidak masak. Aku malu kalau harus berhutang kembali ke warung. Uang konsinyasiku belum turun, baru kuambil seminggu yang lalu. Itupun menipis, padahal akan kugunakan untuk membeli bahan yang kubutuhkan. Mas Haikal menatapku tajam. "Maaf mas, aku gak masak. Hanya masak nasi saja. Jatah uang bulanan udah habis." "Apaa?? Kamu kok boros banget jadi istri! Gajianku masih 3 hari lagi, dan kamu menghabiskannya secepat ini?" omelnya lagi. Dia meletakkan tudung saji itu dengan kasar. "Uangnya buat bayar SPP Daffa-Daffi mas, udah nunggak dua bulan dan harus dilunasi. Sebelumnya aku udah minta sama mas, tapi--" "Halaaah! Malu-maluin aja kamu jadi istri!" Mas Haikal berlalu, menghentakkan kakinya dengan kasar. Braakk!! Pintu kamar ditutup kencang, membuat Daffa-Daffi yang sedang bermain di belakang berlari ke arahku. Dan bayi dalam gendonganku menangis karena kaget. "Makanya, aku tuh gak percaya kalau kamu bisa ngatur uang! Dikasih segitu aja borosnya minta ampun! Beginilah begitulah dan banyak alasan lain!" hardiknya lagi muncul dari balik pintu. "Mas, tolonglah jangan marah-marah didepan anak-anak." Dia mendelik ke arahku lalu beralih menatap si kembar yang sedang memeluk kakiku ketakutan mendengar amarah sang ayah. "Dasar istri tidak berguna!" gerutunya lagi, yang masih terdengar jelas di telinga. Tanpa sepatah kata apapun lagi, Mas Haikal berlalu pergi meninggalkan rumah. Rasa sesak kembali memenuhi rongga d**a. Sakit. Ia kerap kali menghinaku seperti ini. Ya, aku disini seperti hidup menumpang di rumah suami. Rasanya sudah sangat lelah, gimana cara mengimbangi sikap suamiku dan tetap waras menjaga anak-anak. Dulu mungkin aku yang terlalu cinta padanya, tapi lama-lama rasa cintaku sudah mati, terkikis jauh di dasar hati. Tapi bisakah aku tetap bertahan selamanya seperti ini? "Bunda, kenapa ayah marah-marah terus?" tanya Daffi dengan polosnya. Aku mencoba tersenyum, memeluk keduanya dengan hangat. Merekalah yang membuatku masih bertahan. "Ayah sedang banyak pekerjaan di kantor. Daffa sama Daffi, harus nurut ya. Jangan bikin ayah marah-marah." "Baik, bunda." "Oh iya, gimana nak, puasanya masih kuat?" "Iya Bun, kata bunda harus tahan sampai bedug Maghrib." "Benar sayang, kalian masih kuat kan?" Keduanya mengangguk serempak. "Nanti bunda bikinin nasi goreng ya?" "Asyiiik, mau Bun. Tapi jangan pedas ya Bun." "Siaaapp ...!" Menjelang maghrib aku memasak nasi goreng untuk kami berbuka puasa. Terlebih aku sangat bersyukur, pada kedua anakku, mereka bisa menerima apa adanya, walaupun terkadang mereka juga rewel seperti anak-anak yang lain. Sampai ba'da isya, Mas Haikal tak juga kembali. Kalau seperti ini dia pasti akan bermalam di tempat ibunya. * "San, Mas udah transfer ya uang bonus buat kamu sama ibu. Belikan apa aja yang kalian suka," ucap Mas Haikal berbicara di telepon. Aku menyimaknya sekilas, berarti uang bonus Mas Haikal udah turun. Tapi kenapa dia tak bilang padaku? Gegas aku menghampirinya sembari menggendong bayiku. "Uang bonus udah turun, Mas?" tanyaku. Dengan penuh harap aku ingin agar dia memberiku sedikit. "Hmmm ..." Ia menoleh sekilas, cuek. Lalu kembali sibuk dengan benda pipih di tangannya. "Aku juga mau mas, pengin beli gamis. Gamis lamaku sudah pada belel kayak gini. Buat Alina juga Mas, baju bayinya dah pada kekecilan. Terus Daffa-Daffi ..." "Gak usah neko-neko deh, kalian tuh di rumah aja! Sok-sokan mau baju baru! Pake baju yang ada. Jangan hambur-hamburin uang!" "Tapi mas--"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN