Bab 4 Melanggar

1065 Kata
Bukan niat sekolah menyembunyikan kasus bunuh diri. Sesaat setelah petugas kebersihan menemukan jenazah, Wakasek Kurikulum menghubungi kepolisian. Agar tidak menggangu proses belajar, polisi datang tanpa membunyikan sirine. Belakang sekolah langsung diblokade. Tidak ada yang bisa keluar masuk ke sana kecuali pihak berwenang. Sajaka dan para petinggi OSIS lain berjaga di sekitaran gedung. Mereka organisasi yang pertama kali tahu mengenai ini. Mereka melakukan rapat mendadak. Semua anggota inti dipanggil, dan di sana lah mereka. Masing-masing dari mereka punya banyak pertanyaan, tetapi semua bungkam. Mereka disumpah untuk tidak menyebar kejadian itu. Ponsel yang mereka bawa bahkan diamankan demi kelancaran misi. Berkali-kali Sajaka melirik arloji di pergelangan tangan. Ia khawatir tidak bisa mengawasi Sadina di kelas. "Bel pulang tuh. Lo mau ke kelas dulu ambil tas gantian sama yang lain?" Kevin menghampiri Sajaka yang bersandar pada pilar penyangga bangunan, kelihatan gelisah. "Gue duluan ke kelasnya ya, Kev?" Kevin balas mendorong lengan Sajaka. "Udah sana!" Melewati lorong-lorong bangunan, Sajaka berlari menuju Gedung A. Di antara cemas, ada harapan masih bisa bertemu Sadina. Sajaka hanya ingin memastikan Sadina baik-baik saja. Kursi telah dinaik-naikan ke atas meja oleh tugas piket esok pagi, ketika Sajaka tiba di kelas. Hanya tas miliknya yang masih diam di meja. Tidak ada seorang pun di kelas.  Sajaka baru bisa melihat Sadina lagi pada malam harinya. Ketika baru pulang dijemput Deka, karena pihak sekolah menahan anak-anak OSIS. Sajaka meminta ayahnya datang untuk menjamin bahwa anak-anak akan menjaga rahasia. Sampai halaman rumah, tidak sengaja Sajaka menengadah ke lantai dua. Ada Sadina mengintip di balik gorden. "Cantik ya Sadina?" tanya Deka ikut menengadah. "Iya," jawab Sajaka. "Suka?" "Iy--" Ia baru menyadari tengah digoda ayahnya. Deka tertawa sambil mengusak pucuk kepala Sajaka. Putranya sudah besar. "Apaan sih, Pa!" Sajaka menepis. Pipinya luar biasa panas. Usai memasukan motor ke dalam garasi, Sajaka buru-buru mendahului ayahnya masuk ke dalam rumah. "Sajaka udah makan belu--eh?" Bahkan sambutan ibunya juga diabaikan. Selin sampai bertanya-tanya pada sang suami, anak mereka kenapa. "Nggak apa-apa, biasa anak muda," ujar Deka senyam-senyum, bikin Selin mengernyit penasaran. Setengah berlari Sajaka menaiki tangga, lalu di depan kamar Sadina, ia berhenti. Cukup lama ia bergeming. Menimbang-nimbang bertemu Sadina malam ini atau tidak.  Tangannya yang siap mengetuk pintu, jatuh lagi. Sajaka beralih masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tubuhnya diempaskan ke atas tempat tidur. Pandangannya mengarah ke langit-langit kamar. Perkataan Deka tadi terngiang-ngiang lagi, lalu ia berpikir mengapa Sadina belum tidur? Mengapa Sadina mengintip dari jendela waktu ia datang? Apa Sadina menunggunya? Semua itu membuat Sajaka senyum sendiri. Paginya seperti biasa waktu turun dari kamar langsung disuguhi pemandangan Deka sedang membaca koran digital di tablet, Selin sibuk di dapur membuat sarapan, dan Sadina membantu Selin memindahkan makanan dari dapur ke meja makan. Syukurlah Sadina tampak baik-baik saja. Kemarin Sajaka sangat khawatir ada yang menjahili Sadina seperti tempo hari, ia pergi sebentar ke ruang guru. Ketika sedang menyuap, mimik muka Sadina mendadak berubah. Ponselnya ada di samping piring dalam keadaan menyala. Sajaka tidak bisa melihat apa yang sedang Sadina lihat sampai matanya membelalak. Begitu Sadina menyelesaikan sarapan, Sajaka menyusul. "Ada apa?" Sajaka hilang kesabaran untuk tidak bertanya di teras rumah. Sadina menatap cekalan tangan Sajaka di pergelangan tangannya. Sontak Sajaka melepasnya sambil menggumamkan permintaan maaf. "Ada apa, Nana?" tanya Sajaka lagi, sekarang menahan pintu mobil menghentikan Sadina menutupnya. "Ada yang ganggu kamu?" "Enggak ada, Jaka. Aku cuma ... cuma habis baca grup kelas." "Grup kelas?" Kedua alis Sajaka menyatu. "Iya." "Ada ap--" Perkataan Sajaka terpaksa tak tuntas begitu ayahnya keluar rumah dengan ibunya yang membawakan tas kerja. Berat hati Sajaka melepaskan pintu mobil. Sadina menyadari perubahan sikap Sajaka, tak ambil pusing menutup pintu mobil. Deka dan Selin melakukan ritual pagi, saling mengecup sebelum berangkat kerja. Sajaka mendapat tepukan di bahu dari Deka sebelum memasuki mobil. Sajaka menatap ekor mobil ayahnya menghilang di balik gerbang rumah. Sementara dari cara Selin berdiri di teras sambil melipat tangan, tatapannya terang-terangan memberi peringatan. Tentang berapa banyak jarak yang harus dijaga antara Sajaka dan Sadina. *** "Rumor hari ini harusnya tidak tersebar. Kenapa kalian membiarkan ini terjadi?" Wakasek Kesiswaan menyampaikan kekecewaannya terhadap kinerja anggota OSIS. Semuanya mendengarkan sambil menunduk. Sajaka selaku ketua juga tidak bisa membela diri. Ia baru mengetahui masalah besar ini dari Sadina tadi. Entah ulah siapa kabar kematian Slavina tersebar. Jika hanya kabar kematian bisa dimaafkan, tetapi ini foto-foto mengenaskan Slavina duduk di atas genangan darah, dan percakapan terakhir di aplikasi pesan singkat dengan temannya juga tersebar. Orang ini biadab. Tidak memikirkan perasaan sahabat terdekat mendiang. Bagaimana jika keluarganya juga melihat foto-foto mengenaskan putri mereka? Pasti hancur. Terakhir diketahui, Slavina bergabung dengan sebuah web.  Banyak yang menduga bahwa di sana tempat perkumpulan orang-orang putus asa. Jika dilihat dari percakapan Slavina di web itu, semua orang akan sepakat jika teman-teman di dunia online Slavina mendukung aksinya mengakhiri hidup. "Katanya dia di kelas tertutup banget. Duduk aja sendirian, nggak ada yang nemenin. Kalau belajar kelompok dia sering sendiri, kayak nggak mau berbaur. Dia emang suka sibuk sama dunia sendiri, tapi katanya akhir-akhir ini lumayan parah." "Jangan sembarang ngutip perkataan orang, Kev. Kaitannya sama orang meninggal ini ...." "Eh, serius, Jaka. Sumbernya dapat dipercaya. Tuh si Yonas temen sekelasnya Slavina." Sajaka termenung sesaat. Cerita Kevin mengingatkannya pada Sadina. Sepertinya Slavina dan Sadina punya kepribadian yang sama. Mereka tertutup dengan orang-orang sekeliling, sedangkan orang-orang di dunia maya dianggap teman sungguhan. "Woi, malah ngelamun!" Pukulan Kevin di punggung lumayan keras sehingga Sajaka berjengit kaget. "Nama web-nya apa?" "M-mys ... fit? Gue lupa, mis ... apa gitu. Kalau nggak salah link web-nya juga kesebar barengan sama foto-foto kejadian. Sejauh ini habis gue nyuruh semua ketua kelas dan ketua klub menghapus foto-foto dan hal yang berkaitan sama Slavina, katanya orang-orang nggak ada yang berani ngeklik link itu. Katanya loh ya, mana tahu ada yang diam-diam ngeklik. Ngapain lo nanya yang alamat web-nya? Mau gabung?" canda Kevin. Sajaka merotasi bola matanya. "Ya kagak lah!" Dalam hati Sajaka meneruskan, "Ini demi keselamatan seseorang." *** Sementara di lain tempat, Sadina menatap layar ponselnya lamat-lamat. Ia baru saja menyentuh tombol gabung. Menanti proses pendaftaran setelah memasukan alamat surel, password, dan nama pena yang ingin dipakai. Perasaan Sadina kini deg-degan. Keriuhan sekitarnya bahkan kalah. Fokusnya hanya pada layar ponsel. Pada gerakan melingkar beraturan loading. Putaran itu terasa bergerak lebih cepat dari keseruan orang-orang mengadakan pesta kecil merayakan jam kosong akibat rapat guru. Sedikit lama menunggu akhirnya sebuah pop up muncul memenuhi layar.  Selamat datang, Redzzona! Di sini tempat yang kamu inginkan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN