1. Introduction

2135 Kata
--- Jangan patahkan asaku ---Karena kita tak pernah tahu, ---kemana langkah akan tertuju? *** “Nona sedang menuju lift, siap semuanya, clear area!” tukas salah seorang komandan security di sebuah gedung perusahaan besar yang berada di area perkomplekan Vincentius Tower. Vincentius tower merupakan gedung pencakar langit yang berada di daerah Jakarta, pemiliknya bernama Vincent, keturunan ketiga dari pendiri perusahaan besar tersebut. Sementara Nona yang dimaksud adalah anak tunggal dari Vincent, konglomerat yang namanya sering masuk majalah dan berbagai media asing maupun swasta. Beberapa security mengamankan area, saat wanita muda bergaun putih itu menuju ke lobby. Wanita berambut se-punggung yang di keriting gantung itu terlihat sangat cantik, hanya saja kulit putihnya membuat dia terlihat semakin pucat. Tubuh langsing semampai dan cenderung kurus. Memakai heels berwarna putih, sepertinya warna itu adalah favoritnya. Beberapa karyawan yang terpaksa berdiam di tempat demi mempersilakan sang Nona itu lewat hanya bisa saling berbisik memuji kecantikan dan keberuntungannya terlahir sebagai putri tunggal. Tak banyak yang tahu bahwa Vincent sudah mempunyai putri, karena setiap ada media yang memberitakan keluarganya, media itu habis di boikot dengan berbagai cara. Tak ada yang mengendus berita tentang putrinya tersebut. Ayahnya sangat melindunginya dengan berbagai alasan. Pun dengan karyawan yang mengetahuinya, pernah ada yang tak sengaja mengupload foto sang putri di social media, lima menit setelah itu, karyawan tersebut di beri teguran keras dan berjanji tak akan mempunyai social media apapun. Jika masih ingin bekerja disana. Ada seorang pengawal yang berada disamping sang nona terus mengekor dan berusaha melindunginya, tak boleh ada sedikitpun yang mendekati sang nona bernama lengkap Khaylila Vincentius tersebut. Termasuk salah seorang pria yang entah dari mana berjalan cepat menghampiri sang nona, kala itu sang pengawal mengangkat telepon yang berasal dari ayah sang nona. Khaylila atau biasa dipanggil Lila menoleh dan terkejut melihat seseorang berlari ke arahnya, dan dengan gerakan cepat dari arah berlawanan, pria lain menarik Lila ke dalam pelukannya dan melindungi Lila dari serangan pria yang tak diketahui asal usulnya tersebut. Mata Lila membelalak, beberapa security bergegas mengejar pria bertopi dengan masker wajah yang berlari cepat menembus kerumunan. Tangan Lila bergetar. “Kamu baik-baik saja?” Tanya pria penyelamat itu, Lila mengangguk, pria itu menghela pelan tubuh Lila melepaskan dari pelukannya. Pengawal Lila menutup telepon dan dengan tenang memasukkan ponsel itu ke saku jasnya. Wajah mereka berdua cukup dekat, Lila dapat merasakan bahu kekarnya saat memeluknya, dengan mata tajam dan alis yang tebal, hidung mancung dan rahang kokoh. Senyumnya hanya tipis namun membuatnya terlihat manis. Lila masih tergagap, selama ini hanya dua orang pria yang boleh menyentuh tubuhnya, satu ayahnya, satu Eros pengawalnya yang selama dua puluh tahun ini mengabdi padanya, dan kini ada pria ketiga. Yang entah kenapa justru membuat jantung Lila berdetak lebih cepat? Suara denting lift terdengar terbuka, Eros menghela Lila kedalam lift. “terima kasih,” ucap Eros sambil menutup pintu lift. Lelaki itu masih terdiam menatap pintu lift yang tertutup. Dilihat dari id yang menggantung di lehernya, jelas terlihat kalau pria itu adalah karyawan di sana. “Maaf saya lalai,” ucap Eros, pandangannya masih menuju ke depan, akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengusik pikirannya. “Kamu sengaja,” tutur Lila menunduk, ingin menangis. “Non,” Eros menoleh dan  mendapati Lila yang sudah menangis. Eros ingat pertama kali saat dia didaulat untuk menjadi pengawal Lila dua puluh tahun lalu. Saat itu Lila berusia lima tahun, gadis manis yang lincah. Tak ada yang tahu kalau dia ternyata mengidap sebuah penyakit langka yang membuatnya harus terkurung bak Rapunzell dan membuatnya membutuhkan pendamping jika ingin melakukan aktifitas luar. “Lila sudah bilang kan? kamu enggak boleh keluar! Kamu harus jagain Lila selamanya,” “Istri saya hamil, non tahu itu, sudah sepuluh tahun kami mengidamkan anak, sebentar lagi dia lahiran, saya tidak akan bisa memantau keduanya sekaligus.” Eros menunduk, saat denting lift menuju lantai Vincent terbuka. Lila berjalan cepat dan seorang wanita cantik membuka kan pintu untuk Lila. Lila segera menghambur di pelukan ayahnya. Vincent mengusap rambut anak gadis satu-satunya, peninggalan istri tercintanya yang terpaksa harus menghembuskan nafas terakhir saat melahirkan gadis itu, yang membuatnya tak berniat menikah lagi secara resmi, meskipun punya beberapa wanita yang disebutnya selir. “Bagaimana bisa kejadian itu terjadi?” Vincent menghela Lila duduk di sofa, ruangan kerja yang luasnya seperti lapangan bola itu membuat siapapun tentu merasa kagum. Dikelilingi tembok dari kaca dan hanya ada satu ruangan di lantai itu, ruangan pemiliknya. “Saya lalai pak,” Eros menunduk. Vincent menarik nafas panjang, menyuruh Eros duduk di Sofa tunggal menghadapnya. Sementara Lila terus terisak dipelukan sang ayah. Menjadi anak tunggal dan kesayangan ayahnya membuat dia menjadi sosok yang sangat manja meskipun usianya sudah menuju dua puluh lima tahun ini. “Bagaimana keadaan istri kamu?” “Dia sudah masuk ruang operasi saat saya sampai di gedung ini,” Eros menunduk, bagaimana bisa dia tetap memilih boss nya sementara istrinya sedang berjuang sendirian disana. “Baiklah, temui istri kamu, tinggal Lila disini, saya akan segera mencari pengganti kamu,” “Papah!” sungut Lila, mendongak dengan bibir manyun menatap sang ayah yang rambutnya mulai memutih. Vincent mengusap kepalanya erat, “Dia sayang anaknya, sama seperti papa menyayangi kamu Lila, karena itu kita cari teman lain untuk Lila ya,” Lila berjengit, melipat tangan di d**a, Eros hanya tersenyum melihat nona nya yang sangat menggemaskan saat ngambek. Selama ini ketika Lila ngambek dengan ayahnya, hanya dia yang bisa menenangkannya, Eros sudah lebih seperti keluarga bagi Lila dan juga Vincent, namun dia tahu, dia tak akan mungkin bisa mendampingi Lila terus. Usianya sudah masuk ke empat puluh lima tahun, tubuhnya tidak sebugar dahulu dan sebentar lagi dia akan menjadi ayah, yang itu berarti dia butuh jam kerja normal untuk keluarganya. Bukan seperti sekarang yang hanya bisa pulang seminggu sekali saja, dan dua puluh empat jam selama enam hari siap sedia di sekitar Lila meskipun wanita itu hanya berdiam diri dirumah. Eros mendengar notifikasi di handphonenya, melirik pada Vincent yang mengangguk, mempersilahkan membuka handphonenya, Eros menatap layar itu tanpa berkedip. Tangannya gemetar, “Istri saya pendarahan, bisakah saya pergi sekarang?” tanya Eros menatap Lila. Lila mengangguk dan memandang ayahnya. “Pergilah dan kabari saya kalau butuh apa-apa?” tutur Vincent, “Terimakasih pak, bisa dirawat di rumah sakit milik bapak pun sudah membuat saya sangat bersyukur, Non, saya pamit.” “Iya,” tutur Lila pelan, Eros berjalan cepat menuju pintu ruangan kaca tersebut, lalu berlari pergi. Terdengar derap langkahnya semakin menjauh. Lalu ketukan di pintu terdengar, didorong sekretaris ayahnya, tampaklah komandan security berwajah pucat berjalan lunglai sambil terus menatap lantai. “Maafkan saya, orang itu pergi dan terlepas dari saya,” tuturnya, tubuhnya luruh ke lantai dan berlutut. Vincent hanya menarik nafas panjang dan memperhatikan putrinya yang tampak tak perduli. “Ya sudah, mulai sekarang lebih diperketat keamanan.” “Pah,” Lila menarik ujung jas ayahnya, “Lila mau laki-laki yang tadi lindungi Lila yang jadi teman Lila, bisa kah?” Tanya Lila, komandan security itu mendongak dan diminta berdiri oleh Vincent. “Kamu tahu siapa namanya?” Tanya Vincent pada pria yang terlah berdiri itu. “Gibran Ghaisani, karyawan bagian marketing komunikasi pak.” Vincent menoleh ke sekretarisnya yang masih berdiri disana, “Buat jadwal temu saya dan dia besok,” tutur Vincent sambil berdiri. “Yuk pulang dulu,”Vincent mengulurkan tangan, disambut sumringah oleh Lila. Dia sangat mencintai gadis itu tentunya, terlihat jelas dari matanya yang sangat melindungi Lila. Pun dengan Lila yang hanya mempunyai ayahnya. Vincent berjalan disamping Lila, di belakangnya ada beberapa pengawal dan assisten pribadinya. Setelah iringan mobil yang membawa mereka pergi, barulah karyawan di perusahaan tersebut bertingkah normal. Termasuk Gibran yang lagi-lagi berada di sekitar lobby karena urusannya. “Bapak Gibran, bisa bicara sebentar,” tutur sekretaris Vincent yang khusus mengurus jadwal Vincent di tower ini. Gibran menoleh pada wanita itu dan mengangguk, mengikutinya. Membuat janji temu dengan bos nomor satu disini. Seulas senyumnya mengembang. Dengan lirikan mata tajamnya yang membuat siapapun dapat merinding. Senyum yang lebih mirip sebuah senyum kemenangan yang menyimpan misteri. *** “Pah, kira-kira apa Lila bisa menikah seperti gadis normal lainnya?” tanya Lila, dia telah berada di kamar tidurnya kini, ruangan yang sangat luas dengan perlengkapan yang sangat komplit dan hampir semua peralatan berwarna putih, termasuk bunga yang setiap hari diganti oleh asisten rumah tangganya. Lila berbaring di ranjang, rasanya lelah sekali padahal dia hanya keluar menemui ayahnya saja, sudah dua hari ayahnya tak pulang karena baru saja dari luar negeri dan langsung membereskan urusan di kantor, sehingga Lila yang memang sangat manja pada ayahnya tersebut memutuskan menemui ayahnya, dia tak mau harus menunggu lagi karena sang ayah yang sangat sibuk belakangan ini. “Tentu bisa, kenapa tidak?”Vincent menarik selimut, menutupi tubuh puterinya dan duduk di ranjang yang sama, menatap wajah anak gadisnya itu selalu mengingatkannya pada mendiang sang istri, hampir seluruh wajah Lila adalah jelmaan sang istri yang telah meninggal. “Lila kan punya penyakit aneh,”Lila merubah posisinya berbaring miring membelakangi ayahnya. “Ada cowok yang Lila suka? Nanti papa lamarkan untuk anak gadis kesayangan papa,” “Kalau laki-laki itu nggak suka Lila bagaimana? Terus dia nolak Lila,” Lila masih membelakangi sang ayah, Vincent mengusap bahu Lila dan tersenyum, meskipun dia tahu anak gadisnya tentu tak bisa melihat senyumnya. Pandangannya mengarah ke bingkai foto diatas nakas, dimana terdapat foto dirinya dan sang istri yang tengah mengandung Lila, karena sejak saat itu dia selalu berjanji akan melindungi dan menuruti apapun kemauan sang anak. “Tidak akan ada satupun laki-laki yang dapat menolak pesona kecantikan anak gadis papa, kamu harus tahu itu.” Lila membalikkan tubuhnya menghadap sang ayah. Tangan Lila terulur, menggenggam tangan ayahnya. “Papa janji?” “Papa janji, jadi sekarang apa ada pria yang ingin Lila jadikan suami?”Lila tampak berpikir sejenak tak pernah sebelumnya dia merasakan berdebar seperti hari ini. Dan dia pun memutuskan sesuatu. “Dibandingkan dengan menjadi pengawal Lila, lebih baik Ghibran jadi suami Lila, bisa dampingi Lila terus kan? Sudah Sah pula, kita bisa kemanapun yang kita mau.”pipi Lila bersemu merah, Vincent bisa melihat bahwa panah asmasa sedang menancap di hati sang gadis. Tangan sebelah Vincent terulur, mengusap kepala Lila. “Papa janji, akan bawa Ghibran kesini sebagai calon suami Lila. Sekarang Lila istirahat ya sayang, nanti kalau Lila merasaa ingin tidur yang panjang, Lila harus bilang papa ya,” Vincent menarik tangannya, melihat sang gadis mengangguk dan mata yang berbinar, Vincent berjanji dalam hati akan melakukan apapun demi kebahagiaan sang gadis, karena harta yang paling berharga yang dimilikinya adalah Lila, puteri satu-satunya. *** Keesokan harinya, Ghibran menemui sang pemilik perusahaan di lantai paling atas, beberapa kali berdecak kagum memandang interior kantor yang baru sekali ini dilihatnya. Ya akses keruangan direktur memang sangat terbatas, hanya orang tertentu yang telah mempunyai janji temu yang dapat ke ruangannya. Namun kali ini, Ghibran, karyawan biasa yang hanya beruntung berada di tempat kejadian, dapat menginjakkan kaki di lantai teratas itu. Jantungnya berdebar sangat kencang, dia tak bisa menyembunyikan kegugupannya saat memasuki ruangan sang direktur. Sekretaris Vincent membuka pintu dan mempersilakan Ghibran berjalan lebih dahulu. Ghibran berjalan dengan langkah pasti menemui sang direktur yang telah duduk di sofa tunggal ruangan kerjanya. “Silakan duduk,” ucapnya sambil bersalaman dengan Ghibran. Lalu mereka duduk bersama, Ghibran mengambil tempat duduk di sofa panjang di samping sang direktur. “Buatkan teh untuk Ghibran,” pinta Vincent pada sekretarisnya. Wanita itu tersenyum dan mengangguk lalu pamit keluar ruangan. “Kamu punya basic bela diri?”tanya Vincent. Ghibran mengangguk. “Saya pernah menjadi pelatih tae kwon do kebetulan,” jawabnya pasti. Vincent mengangguk, berbarengan dengan masuknya sang sekretaris membawakan teh hangat beraroma mint untuk Ghibran. Lelaki itu mengucapkan terima kasih, dan sang sekretaris pamit keluar ruangan memberikan ruang bagi mereka berdua bicara empat mata. “Kamu bersedia jadi pengawal putri saya? Saya akan memberikan kamu gaji lima kali lipat dari gaji kamu disini,” ucap Vincent yakin. Ghibran tersenyum sumringah, kebetulan dia sangat membutuhkan uang itu untuk biaya wisuda sang adik satu-satunya. “Jangankan jadi pengawal Pak, jadi suaminya juga saya bersedia,” Ghibran berusaha mencairkan suasana, melihat Vincent yang terus tersenyum, mungkin lelaki itu juga mempunyai selera humor yang sama dengannya. “Kamu serius? Kalau begitu nikahi anak saya,” ucap Vincent, namun Ghibran justru menganga dan membeku, dia tak menyangka humornya dibalas seperti ini, jika memang berniat bercanda, mengapa wajah sang direktur terlihat sangat serius? “Ma-af kalau saya menginggung bapak, saya bersedia jadi pengawal putri bapak,” Ghibran berdehem mencoba menetralkan suaranya yang serak karena tercekat. Vincent mengambil teh di meja dan meminumnya, terlihat sangat santai. “Saya sungguh-sungguh Ghibran, saya ingin kamu menikahi putri saya, dan kamu akan mendapatkan saham di perusahaan ini nantinya,” “Ta..tapi kenapa pak? Saya hanya karyawan biasa, bahkan berasal dari keluarga yang tidak mampu,” “Saya tahu, kamu pikir saya tidak mencari tahu?” Vincent tersenyum dan meletakkan gelas di mejanya. “Kalau kamu tanya alasan? Simple, karena saya ingin kamu yang menjadi suami anak saya, namun satu yang harus kamu tahu, bahwa dia tidak sempurna, seperti yang terlihat dari luar.” “Maksud bapak?” “Dia mengidap suatu penyakit yang sampai kini belum diketahui penyebabnya, jadi… kalau kamu bersedia kita akan adakan pesta pernikahan untuk kalian dan kamu bisa memiliki sebagian saham di perusahaan saya ini lengkap dengan banyak fasilitas yang bisa saya berikan. Tak membutuhkan waktu lama bagi Ghibran berpikir, karena sudah sejak lama dia memang memimpikan menjadi pria kaya demi mewujudkan ambisinya, dan menikahi nona muda bernama Khaylila adalah jalan pintas yang menguntungkan baginya. “Saya bersedia,”ucap Ghibran mantap. Vincent menjabat tangannya erat. “Jaga Lila, dia harta paling berharga yang saya miliki,” ucapnya. Ghibran mengganggu yakin. “Itu pasti,” tuturnya. ***  bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN