Hanya Senja-Lembar Kedua.

1371 Kata
Bentangan langit yang cukup cerah, kala piringan matahari di sebelah barat mulai terbias, perlahan membawa keindahan sinar lembayung sore ini. Seakan mentari sedang mengalah pada takdir, yang memintanya untuk kembali ke peraduan. Melihat cahaya menenangkan itu, membuat seorang gadis cantik dengan tatanan rambut berantakan karena angin, tiba-tiba menghela napas dalam. Ia memang pembenci senja. Tapi entah kenapa, senja di rooftop rumah sakit ini, seperti medan magnet yang selalu berhasil menariknya untuk menikmati keindahan langit sore. Berpegangan pada tiang infus, sembari menghembuskan napas, ia tengadahkan kepalanya ke atas, menatap jauh tanpa arah. “Senja memang indah, Tuhan. Tapi maaf, aku sangat membenci waktu senja,” ucapnya bergumam. “Kalau kamu benci senja, untuk apa kamu di sini menikmati keindahannya?” tanya seorang pria bersneli yang baru saja tiba dan berdiri di samping gadis itu. Mendengar suara yang sudah tidak asing menyapa indera pendengarannya, gadis berpakaian pasien itu seketika menoleh ke sisi kanan, kemudian tersenyum kala melihat sosok lelaki hebat yang sangat dikenalnya. “Ngapain Dokter Abyas di sini?” tanyanya. “Saya ingin menenangkan diri,” jawab lelaki tampan bersneli itu. Dia, Abyas Ruiz. Seorang Dokter jantung, berusia tiga puluh tiga tahun. Tenaga medis yang menangani Senja sejak pertama kali masuk, dan di rawat di Rumah Sakit Jidala, lima tahun lalu. Pria itu jugalah yang berulang kali menolong Senja, ketika gadis itu mengalami henti jantung, dan hampir kehilangan nyawanya. Saking seringnya Senja bertemu dengan Abyas, hingga keduanya menjadi dekat, bagai seorang teman, tak jarang, jika sedang istirahat bekerja, pria tampan bersneli itu akan mendatangi ruang perawatan Senja, ketika gadis itu dirawat, hanya untuk sekedar menemani pasien istimewanya menonton drama korea, membawakan makanan sehat yang dibelinya di luar gedung Rumah Sakit, atau terkadang mendengar celotehan tidak penting dari gadis itu. “Kenapa? Ada pasien yang gagal bertahan lagi?” tebak Senja. Pria tampan itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku sneli, lalu menghela napas dalam. “Perjuangan Baby Daven melawan rasa sakitnya, telah selesai. Sekarang, dia sedang bermain di taman Surga dengan Ayahnya, yang sudah lebih dulu kembali ke pangkuan Sang Pencipta.” Mendengar, ada salah satu pejuang kesembuhan kembali gugur, Senja perlahan mengulas senyum getir. “Ternyata, hari ini gilirannya Baby Daven. Saya hanya tinggal menunggu giliran,” gumamnya pelan. “Kamu pasti sembuh. Saya yakin, suatu saat nanti, akan ada pendonor yang cocok, dengan keadaan jantung yang sehat buat kamu. Kita hanya tinggal menunggu kabar dari pihak rumah sakit. Jadi, Saya mohon, jangan pernah berbicara seperti ini lagi,” balas Abyas, dengan optimis. Gadis itu kembali menengadahkan kepalanya ke atas, untuk menikmati kesegaran oksigen dan mengisi rongga paru-parunya, sembari memejamkan mata sesaat. “Saya belum merasa lelah, kok, Dok. Hanya sedikit putus asa.” Gadis itu kembali membuka kelopak matanya, lalu tersenyum. “Lembayung mulai datang,” ucap Senja sembari menunjuk langit berwarna jingga keemasan di sebelah barat. Abyas pun menoleh, dan ikut menatap pada objek yang ditunjuk oleh pasiennya. “Senja, boleh Saya bertanya?” Gadis cantik itu mengangguk. “Hm.” “Senja adalah cahaya indah yang hanya bisa dinikmati ketika langit dalam cuaca cerah. Setiap harinya, senja hanya bisa memanjakan para penikmatnya, di waktu sore hari. Lalu, apa alasan kamu membenci senja?” Sembari memandang pedaran jingga di depan sana, gadis itu pun berkata, “karena senja hadir dalam waktu yang singkat. Karena di waktu senja juga lah, cinta pertama saya kembali pada pangkuan Sang Pemilik ruh. Tapi …,” Gadis itu menoleh ke sisi kanan, lalu tersenyum. “… di satu sisi lain, Saya juga ingin menjadi seperti senja, Dok. Karena senja sangat pandai memberi kesan indah, ketika berpamitan kepada para penikmatnya,” lanjut Senja. Tanpa mereka sadari, ternyata, seorang Dokter lain, yang saat itu tengah menikmati satu cup hot cappuccino di tempat tersebut, tak sengaja mendengar semua perbincangan dua insan yang berdiri tidak begitu jauh dari posisinya. Dengan santai, sambil menyandarkan tubuh pada badan kursi kayu panjang, pria itu menyesap minuman dalam cup di tangannya, kemudian ikut menatap langit indah di depan sana. Namun sayang, ketenangannya tiba-tiba terganggu dengan suara getar ponsel dari dalam saku sneli yang dikenakannya. Ia rogoh benda pipih tersebut, lalu menatap layarnya sesaat, sebelum akhirnya pria itu menggeser tombol hijau ke atas untuk menerima panggilan tersebut. “Hai, Sayang.” Sapa lelaki itu, tepat setelah panggilan terhubung. “Hai, By,” balas seorang wanita dari seberang telepon. “Masih di butik?” tanyanya. “Iya, nih. Lagi desain gaun untuk acara pesta pernikahan.” “Desain baju pengantin untuk orang lain terus. Untuk kita, kapan?” tanya pria itu, merajuk. “Tunggu aku benar-benar siap untuk menikah,” jawab wanita itu. “Ya, aku tahu.” Ada nada kecewa dari jawaban pria bersneli itu. “Tumben, Ga, jam segini bisa nerima panggilan aku. Lagi santai?” tanya wanita itu mengalihkan pembicaraan. “Iya, Ris. Lagi istirahat di rooftop, sambil cari udara segar.” “Gak ada operasi lagi, memang?” Pria tampan itu melirik jam yang melingkar di tangan kanannya, yang baru saja menunjukkan pukul 17:35, lalu berkata, “ada. Jam tujuh malam nanti, Aku ada operasi pemasangan permanent pacemaker dengan metode bedah. Makanya, aku gunakan waktu istirahat yang terbatas ini dengan sebaik mungkin.” *** (Permanen Pacemaker atau alat pacu jantung permanen, adalah perangkat implan yang digunakan untuk pengobatan aritmia jangka panjang dengan denyut jantung yang lambat). “Jadi, malam ini, kamu gak bisa jemput aku di butik lagi, Sharga?” Tanpa sadar, Sharga menganggukkan kepala. “Hmm. Maaf, Arista. Seharusnya, operasi pemasangan pacemaker ini, besok. Tapi, di luar dari rencana, karena kondisi pasien semakin menurun, Aku, Bayu, dan Dokter Abima sepakat untuk mempercepat jadwal operasi,” jelasnya. “Ya udah.” “Kok, jadi jutek gitu, sih? Udah lima tahun, loh, kita berhubungan. Masa kamu masih belum bisa ngertiin profesi aku sebagai Dokter, sih, Ris?” “Aku ngerasa jenuh banget dengan keseharian aku, Sharga. Kita jarang banget ketemu. Ketika aku ada waktu luang, kamu yang sibuk. Dan terkadang, ketika kamu punya waktu luang, aku yang lagi sibuk. Jujur, aku bosen banget sama hidup aku yang gini-gini doang. Gak ada istimewanya. Bahkan, punya pacar pun, tetep berasa sendirian!” Pria itu melirik sesaat pada dua orang yang masih mengobrol dengan santai, seakan tidak terpengaruh dengan perbincangannya dengan sang kekasih, kemudian menghela napas dalam. “Jangan ngomong kaya gitu! Kehidupan yang sedang kamu jalani, yang menurut kamu monoton dan membosankan, itu adalah salah satu impian terbesar bagi sebagian orang-orang yang merasa putus asa karena penyakitnya. Apalagi, bagi mereka yang sudah tervonis hidupnya tidak lama lagi.” Sharga kini beralih menatap pada sisi wajah gadis berambut sebahu, yang tengah tertawa dengan lepas bersama salah satu Dokter di Rumah Sakit tersebut, lalu mendengkus pelan. “Sayang, kamu termasuk orang beruntung, loh, yang memiliki tubuh sehat. Jadi aku mohon, hargai kehidupan kamu, karena mereka yang sedang berjuang untuk sembuh, akan merasa kecewa dengan perkataan kamu barusan,” lanjut Sharga. “Tapi, Sharga … Aku-“ “Ada panggilan dari ruang ICU. Nanti aku hubungi lagi, ya.” Setelah berbohong, untuk menghentikan pikiran negative kekasihnya, Sharga pun memutuskan panggilan telepon tersebut, hingga pendengarannya seketika kembali fokus pada percakapan dua orang yang kini memunggunginya. “Senja, apa keinginan kamu saat ini?” tanya Abyas, di sela canda guraunya. “Keinginan Saya hanya satu, bisa hidup dengan normal seperti orang lain.” Gadis itu menatap kedua telapak tangannya, lalu tersenyum. “Dulu, Dokter di kota kelahiran Saya pernah memvonis, kalau Saya hanya bisa bertahan, paling lama hingga usia sepuluh tahun. Bahkan, sudah empat kali Saya gagal mendapat kesempatan menjadi penerima donor jantung, karena satu dan lain hal. Hingga Saya yang sudah mulai merasa lelah, akhirnya memilih menyerah.” “Namun, melihat perjuangan Bunda, dan Bang Kiki demi kesembuhan Saya selama ini, membuat semangat yang sempat menghilang itu kembali bangkit. Dan, Alhamdulillah … di luar dugaan, rupanya Tuhan masih memberi Saya kesempatan hidup, hingga detik ini.” Mendengar cerita Senja, membuat Abyas tanpa sadar mengusap puncak kepala gadis di sampingnya dengan lembut, seakan tengah menyalurkan satu kekuatan pada Senja. Sedangkan Sharga, yang juga ikut mendengar curahan hati pasien tersebut, hanya mengulas senyum tipis, seraya bangkit dari posisinya, dan mulai berjalan meninggalkan rooftop Rumah Sakit. “Kamu harus melihat sendiri, dan bertemu langsung dengan para pejuang kehidupan, Arista,” gumam Sharga sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN