Mama Anna tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Tidak, tidak ada, Nak... kamu sudah cukup membantu," ujarnya, suaranya pelan namun hangat.
Belum sempat Angel menjawab, terdengar ketukan halus di pintu. Tok tok tok.
Angel segera bangkit dan membuka pintu.
Dua sosok yang sudah akrab pun masuk—Pak Hotaru, dengan langkah pelan namun mantap, dan Seizaki, yang tampak sedikit gugup namun jelas cemas. Tanpa banyak kata, mereka menghampiri ranjang.
"Mama Anna kenapa, Ma? Apa Mama sudah merasa baikan?" tanya Seizaki cepat, sorot matanya menatap penuh kecemasan.
Mama Anna mengangguk, senyum tipis kembali muncul di bibirnya. "Iya, Nak... Mama sudah tidak apa-apa," ujarnya lembut.
"Kata Dokter, Mama hanya mengalami Panick Attack kemarin. Tidak ada yang serius. Mama cuma butuh istirahat sebentar, dan nanti bisa pulang."
Seizaki mengembuskan napas lega, tapi matanya tetap menatap wajah Mama Anna, masih ingin memastikan sendiri.
Pak Hotaru menarik kursi, lalu duduk di sisi ranjang. "Anak-anak panti semua cemas semalam," ucapnya tenang, tapi ada kekhawatiran yang masih tersisa di balik suara itu.
Mama Anna matanya menatap Pak Hotaru dengan curiga sejenak, sambil mengingat bayangan mengerikan dari malam kebakaran itu.
"Maaf sudah membuat kalian khawatir," bisiknya lirih.
Angel, yang duduk di kursi samping ranjang sambil memegang tangan Mama Anna, menatap wajah wanita itu penuh perhatian.
Mama Anna menarik napas dalam. "Kebakaran kemarin ... apakah menjalar ke mana-mana? Mobil pemadam datang tepat waktu, kan?" tanyanya, matanya kini menatap Pak Hotaru dengan cemas.
Pak Hotaru mengangguk tenang. "Tidak perlu khawatir. Asahi House baik-baik saja," jawabnya mantap. "Pemadam datang tepat waktu. Hanya ... kamar Seizaki yang tak bisa diselamatkan." Ia menatap Seizaki.
Mama Anna terdiam sejenak. Lalu menghela napas lega. "Syukurlah kalau begitu," ucapnya pelan.
"Nak Seizaki..." Suaranya kini mengandung nada menggali. "Kenapa kamar kamu bisa terbakar, Nak? Jangan bilang ... kamu main api?"
Seizaki terlihat kaget. Ia segera menggeleng, cepat namun berusaha tetap tenang. "Nggak, Ma. Aku juga nggak ngerti. Di kamarku gak ada apa-apa yang bisa nyalain api. Entah kenapa bisa kebakaran."
Angel tersentak sedikit. Ia menyimak dalam diam, matanya kini beralih ke Seizaki.
Seizaki yang sejak tadi berdiri di sisi tempat tidur, kini maju setapak. Raut wajahnya penuh keraguan, namun ia memberanikan diri.
"Mama Anna, Seizaki mau tanya…" Suaranya ragu-ragu. "Kenapa malam itu Mama berteriak sangat keras?"
Mama Anna terdiam.
Rahangnya menegang. Ia menunduk sebentar, lalu mengangkat wajah dan tersenyum kecil—senyum yang jelas-jelas menutupi sesuatu.
"... tidak apa-apa, Nak. Mama hanya ... terkejut saja semalam." ucapnya datar.
Namun Seizaki belum selesai. Ia memandang wajah Mama Anna lurus-lurus.
"Lalu... kenapa Mama diam mematung dan memejamkan mata di kamar Pak Hotaru?" tanyanya serius. "Seizaki sempat memanggil Mama... tapi saat itu, Mama tiba-tiba pingsan."
Mama Anna menegang. Pandangannya mengabur sejenak saat kenangan semalam berputar kembali di kepalanya.
"Kamu... tahu itu?" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. "Berarti kamu ada di kamar Pak Hotaru ... kamu melihat Mama?"
Angel yang sejak tadi menyimak percakapan, wajahnya menegang. Dia sudah di ceritakan semua kejadian semalam oleh Mama Anna, tapi... kejadian di Kamar Mandi Mama Anna merahasiakannya.
"Iya, Mama. Aku dan Pak Hotaru ada di sana saat itu," jawab Seizaki mantap.
"Jadi... yang matikan lampu semalam... kalian?" tanya Mama Anna.
Pak Hotaru tampak canggung. "Ekhm ekhm, Itu aku. Kalau masuk kamar, aku terbiasa langsung tekan saklar."
Mama Anna memandang mereka semua dengan tatapan penuh tanya. Sebuah benang merah perlahan mulai terurai di dalam benaknya.
Angel yang duduk di sisi kasur menatap Pak Hotaru sejenak, lalu kembali pada Mama Anna.
"Tapi ... kata Mama Anna, Mama kayak ngelihat hantu waktu itu, kan?" ucap Angel pelan.
"Ya Angel..." Suara Mama Anna melemah, tapi sorot matanya justru semakin tajam. "Apakah kalian juga melihat sosok... tanpa kepala di kamar Pak Hotaru malam itu?"
Pak Hotaru langsung mengerutkan dahi. "Tanpa kepala?" ulangnya bingung.
Tiba-tiba, Seizaki mengangkat satu tangannya, seperti hendak mengaku dosa.
"Itu... itu aku, Mama," katanya, separuh malu, separuh geli.
"Aku sempat minta baju ke Kazumi waktu papasan di pintu keluar. Aku gulung bajunya, terus kupakai buat masker, kayak topeng ninja gitu..." lanjutnya sambil terkekeh kecil. "Soalnya Untuk menghindari asap."
Mama Anna memandang Seizaki lama.
Wajahnya masih penuh tanda tanya, tapi perlahan, garis tegang di keningnya mulai mereda. Ia menunduk pelan, seakan mencoba menyusun ulang kepingan puzzle yang sempat membuatnya limbung.
Angel menatap sinis ke Seizaki. "Jadi semuanya cuma salah paham dengan ninja kampr*t ini?" ucap Angel.
Seizaki menggaruk tengkuknya, ekspresi sedikit kikuk. Sementara Pak Hotaru senyum di wajahnya mengembang tipis.
Dan di sisi lain tatapan Mama Anna ke Pak Hotaru tampak ganjil. Ada sesuatu yang tetap mengganggu... sesuatu yang tak terjawab.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu memecah lamunannya.
Disusul derit halus saat pintu terbuka, dan seseorang berkata, "Permisi, Bu Anna. Saya akan melakukan pemeriksaan kesehatan sebentar," ucap seorang dokter dengan senyum formal di wajah.
Semua di ruangan langsung menoleh ke arah pintu. Melihat sudah ada keluarga pasien, sang dokter memberi hormat kecil dan berkata,
"Selamat pagi, Bapak. Mohon maaf, apakah Bapak keluarga pasien yang akan mengurus biaya administrasi dan pembayaran untuk Ibu Anna?"
"Oh, benar, Dokter. Saya yang bertanggung jawab," ujar Pak Hotaru sambil melangkah mendekat.
Dokter itu mencatat sesuatu dan menanggapi dengan ramah.
(To be Continued...)