CHAPTER 0

470 Kata
Di tengah keramaian kota yang tak pernah tidur, semua orang tenggelam dalam ritme kehidupan masing-masing. Ada yang berlari pontang-panting agar tak ketinggalan bus, ada pula yang menelpon sambil teriak-teriak seperti emak-emak yang baru saja menang arisan. Ada yang menikmati kopi seolah jadi juri MasterChef, ada juga yang memandangi kendaraan lalu-lalang, sedang menilai nasib. Semua sibuk. Semua bergerak. Kota ini tak pernah sunyi. Di salah satu apartemen kecil bertingkat sepuluh, di kamar yang lebih sering berantakan daripada rapi, ada dua saudara laki-laki yang tinggal bersama. Si Kakak yang sudah dewasa, sementara Adiknya masih remaja. “Kita udah telat, cepetan mandinya, Boo~” seru Si Kakak dengan nada seperti sedang bernyanyi. Dia duduk menyamping di kursi, rokok nyempil di bibir, kacamata hitam nempel terus di wajah. Tangannya gesit mengeluarkan sisir dari jaket, menyisir rambutnya dengan gaya yang nyentrik. "Namaku bukan Boo!" sahut Si Adik dari kamar mandi, suaranya menggema. Tapi Si Kakak mengabaikannya dan melanjutkan membaca buku yang dia pegang. “Buku ini menarik juga...” gumam Si Kakak, melirik sampul novel yang dibacanya. Menit berlalu. yang satu sibuk mandi, yang satu makin tenggelam dalam cerita. Tiba-tiba… Dari dalam kamar mandi terdengar nyanyian. “WOY! Jangan nyanyi, Boo! Gue gak bisa fokus!” teriak Si Kakak. Tapi Si Adik itu malah menaikkan volume. Seolah dia sedang ikut audisi dan seluruh isi apartemen adalah juri. Si kakak menutup bukunya. Dengan langkah berat. Dia beranjak hendak menendang pintu kamar mandi. Hari-harinya selalu terusik setiap kali ingin membaca. Kelakuan Adiknya selalu bikin dia nyesek. (Seperti pembaca novel ini yang nyesek cuma dianggap teman oleh crush-nya.) Tanpa pikir panjang, dia mengangkat kaki dan menendang pintu itu dengan cukup keras. BRAK! Tak disangkanya... pintunya tidak terkunci. Si Kakak terperanjat masuk ke kamar mandi. Dan langsung disambut dengan pemandangan yang GODDAMN: Garis khatulistiwa dari pant*t Si Adik. Si Adik berdiri di depan cermin, wajahnya penuh busa sabun muka seperti BADUT HIBURAN. :) (Seperti jobdesk part-time pembaca novel ini ke crushnya.) Remaja itu berbalik, santai, seolah gak ada yang salah. “Ada apa?” tanya Si Adik, menunjukkan kekhawatiran manis palsu. (Seperti pembaca novel ini yang manis diawal doang dengan crushnya.) Si Kakak—yang masih memegang buku, kini menyaksikan 'Pedang Excalibur' milik Remaja itu. Dan yang membuatnya makin emosi ialah 'Pedang Excalibur' Si Adik lebih besar dari miliknya. Kesal, malu, dan kalah. Si Kakak merogoh saku jaket... dan–dengan presisi setajam sniper— DIA MELEMPARKAN SISIRNYA. “DIAM KAU, BOTAK!” teriaknya, lemparannya telak ke kepala Si Adik. HEADSHOT. Ia pun keluar dari kamar mandi sambil menghela napas panjang, sudah lelah dengan semua ini. (Seperti pembaca novel ini yang sudah lelah digantung crush-nya.) “SIALAN KAU, MODEL MAGANG!” teriak Si Adik dari dalam, sambil mengelus kepala botaknya, membalas ejekan gaya norak Kakaknya. “PALA LU MIRIP BIJI P*LER!!!” balas Kakaknya, tanpa ampun. (To be Continued...)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN