Jejak yang Terkubur dalam Sunyi

878 Kata
Pak Hotaru menarik napas pendek, lalu tersenyum tipis, berusaha mengalihkan suasana. "Cukup. Ayo, kamu makan dulu. Biar aku suapkan," ujarnya sambil meraih bungkus makanan di kantong kresek. Namun, Mama Anna menepuk pelan pergelangan tangannya. Sebuah penolakan yang sopan, namun jelas. "Aku masih belum lapar, Pak," kata Mama Anna pelan, namun tegas. "Lagipula, Pak Hotaru harus ke gereja, kan? Belum lagi... harus ke pasar juga nantinya." Pak Hotaru menghela napas, wajahnya sedikit gelisah. "Kau harus cepat sembuh, Anna. Anak-anak pasti sedih kalau terus-terusan nggak lihat kamu di panti," ujarnya, mencoba membujuk, meski nada bicaranya terdengar sedikit memaksa. Mama Anna menggeleng perlahan. "Sungguh, Pak. Tidak apa-apa. Jangan terlalu cemas," ucapnya lembut namun kukuh. "Silakan berangkat. Nanti malah keburu siang. Pelanggan Pak Hotaru pasti sudah menunggu di pasar." Ia tersenyum kecil, tapi tatapan matanya tetap datar—berjarak. "Nanti juga Angel akan kembali. Biar dia yang mengurusku di sini." *** Setiap pagi, Pak Hotaru selalu pergi ke gereja untuk menyapu daun-daun kering yang gugur di halaman gereja, mengelap salib, memeriksa bangku-bangku kayu tua, dan mengecek dokumen pelayanan umat yang tak pernah ia abaikan. Ia satu-satunya yang mengurus gereja tua itu—gereja kecil itu, dulunya didirikan oleh almarhum ayahnya, dan kini diwariskan padanya. Gereja itu masih berdiri dan beraktivitas sampai sekarang karena usaha dan waktu yang ia berikan setiap hari. Dan di sela hari-harinya sebagai pendeta dan pengurus panti, ia turun ke hutan, menyusuri jalan setapak yang ia hafal di luar kepala. Ia berburu rusa, babi hutan, burung liar, bahkan memancing ikan-ikan yang ada di sungai—apa saja yang bisa ia tangkap untuk dijual di pasar atau dibawa pulang untuk dimakan bersama anak-anak di Asahi House. Di pasar desa, ia bukan dikenal sebagai pendeta. Bukan pula sebagai kepala panti asuhan. Melainkan—'Pak Tua dari Hutan Dalam'. Sebuah julukan yang dibisikkan para penjual dan pembeli saat sosok itu melintas: seorang lelaki tua, bertubuh tegap, dengan ransel kain goni di punggungnya dan hasil buruan tergantung di tangan, masih berembus aroma tanah, darah, dan sunyi hutan. 'Pemburu pendiam dari utara.' 'Orang yang tak takut hutan itu.' 'Yang katanya pernah bertarung dengan beruang.' Bisik-bisik itu berputar seperti kabut pagi yang menggulung kaki gunung. Dan meski tak ada yang benar-benar tahu siapa dia—semua percaya satu hal: jangan pernah ikuti jejaknya masuk ke Hutan Dalam. Karena di sana, bukan hanya rusa dan burung yang berkeliaran. Ular sepanjang pohon, monyet liar bergigi tajam, dan—yang paling ditakuti—seekor beruang yang konon bertubuh lebih besar dari peti jenazah desa. Makhluk-makhluk itu menjaga hutan seperti raja-raja tanpa takhta. Tak seorang pun berani berburu ke sana. Tak ada yang cukup gila. Kecuali Pak Hotaru. Dan itulah sebabnya, pagi ini pun ia tak bisa berlama-lama duduk di sisi ranjang Mama Anna. Ia harus kembali ke rutinitasnya. Ke kehidupan ganda yang selama ini ia jalani tanpa banyak kata: Pendeta, Pengurus panti, dan pemburu rahasia di antara bayang-bayang hutan. *** Pak Hotaru memandang Mama Anna yang tetap bersikukuh menolak. Akhirnya, ia menarik napas panjang, menyerah. "Baiklah, kalau begitu,” ujarnya, sembari bangkit dari kursi. “Aku akan bersiap ke gereja. Tapi sebelum itu, aku mau numpang mandi dulu dan ganti pakaian juga. Nggak enak ke altar pakai baju begini.” Tangannya merogoh ransel tua yang dibawanya sejak pagi. Dari dalamnya, ia mengeluarkan setelan kemeja dan celana kain yang sudah disetrika rapi. Kontras dengan penampilan saat ini, yang hanya mengenakan kaos oblong yang tampak lusuh. Sebelum fajar, Pak Hotaru langsung berangkat dari panti ke rumah sakit. Tak sempat mandi dan tak sempat makan, karena begitu cemas dengan keadaan Mama Anna. Tanpa berkata lagi, Pak Hotaru melangkah ke kamar mandi. Suara langkah sepatunya menyapu lantai seperti bisikan. *** Sementara itu... "…Kalian makan di luar kamar saja, ya?" ujar Mama Anna. "Baik…," ucap Angel. "Okay," ujar Seizaki. Angel sempat menoleh ke belakang. Pandangannya singgah pada Mama Anna dan Pak Hotaru. Perlahan, ia menutup pintu kamar… hampir tanpa suara. “Kira-kira … Mama Anna mau ngomongin apa dengan Pak Hotaru, ya?” tanya Seizaki pelan, matanya mengarah ke daun pintu yang baru saja tertutup. Ia lalu duduk di kursi yang berada di lorong rumah sakit—kursi ruang tunggu di luar kamar pasien. Angel ikut duduk di sampingnya, menyilangkan kaki. “Entahlah, Bukan urusan kita," ujarnya datar. Seizaki mengangguk, walau masih menyisakan rasa penasaran yang menggantung di matanya. Tiba-tiba Angel bertepuk tangan kecil. “Oke, mari makan,” serunya ringan, mencoba mengalihkan suasana. Tangannya membuka bungkus makanan yang ia bawa. Rice bowl, yang aromanya langsung keluar memenuhi lorong rumah sakit. Seizaki, yang duduk di samping, ikut membuka bungkus makannya sendiri. Suara plastik yang diremas-remas berdesir pelan. Tiba-tiba terdengar suara serak terbatuk keras. “Uhuk! Uhuk!” Seizaki segera menoleh. Angel menunduk, tangannya menepuk-nepuk d*da, matanya memerah dan mulai berkaca-kaca. “Kak Angel, nggak apa-apa?” tanya Seizaki cepat, panik. Angel mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya. "Aku tadi ngira itu saus tomat... ternyata sambal!" ujarnya sambil menunjuk ke sachet merah kecil tergeletak tak bersalah. "Aku nggak kuat pedes!” keluhnya sambil memejamkan mata. Air matanya jatuh, dan wajahnya merah padam. Seizaki menatap Angel dengan ekspresi prihatin, lalu menunduk pada makanannya sendiri yang belum disentuh sama sekali. Ia mengulurkan wadah nasinya ke arah Angel. “Ini, Kak. Tukar aja sama makananku. Aku belum makan kok, baru buka.” suaranya lembut, tulus. (To be Continued...)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN