Daddy 2: Malam Pertama

1575 Kata
Setelah mengadakan pengajian dan santunan anak yatim beberapa hari yang lalu, hari ini adalah hari pernikahan Ghani dan Sandra. Akad nikah sudah diadakan pagi tadi di halaman belakang rumah Sandra. Akad nikah hanya dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai. Sekitar 100 orang memadati halaman rumah Sandra pagi itu untuk acara akad. Dan malam ini mereka mengadakan resepsi indoor di sebuah hotel berbintang. Ghani mengenakan tuksedo mewah rancangan desainer terkenal di Jakarta. Begitu juga dengan Sandra, dia mengenakan gaun pengantin rancangan desainer Indonesia. Mereka sepakat untuk menggunakan jasa orang asli Indonesia termasuk pilihan bunga dan dekorasi semua dari Indonesia. Ghani tidak ingin direpotkan dengan detail yang harus impor dari luar negeri. Ballroom hotel di sulap menjadi venue resepsi pernikahan megah dua pewaris perusahaan. Ghani mewarisi perusahaan di bidang pertambangan sedangkan Sandra mewarisi perusahaan roti dengan ratusan cabang di seluruh kota di Indonesia. Banyak teman dan rekan bisnis dari kedua keluarga yang hadir malam itu. Dilihat dari besarnya perusahaan Ghani dan banyaknya cabang toko roti milik papa Sandra, tidak kaget jika ballroom itu penuh dengan tamu. Lebih dari seribu tamu undangan hadir di gedung hotel bintang lima di Jakarta. Ghani dan Sandra terus menerima ucapan selamat dari kerabat dan kolega, baik dari pihak Sandra maupun Ghani. Kedua mempelai juga terus menebarkan senyum untuk semua orang. Setelah beberapa lama, Ghani terlihat mulai tidak nyaman. Sesekali dia melirik jam yang melingkar di tangannya. Sandra menyadari itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tamu yang mengantre bersalaman dengan pengantin masih banyak. “Kamu capek?” tanya Sandra berbisik. Ghani hanya melirik malas kepada Sandra. Sungguh sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Sandra yang melihat lirikan itu langsung menelan ludahnya dan menunduk. Dia tidak ingin membuat suasana hati Ghani bertambah kacau. Akhirnya setelah tiga jam berlalu, kedua pengantin memasuki kamar hotel yang disiapkan untuk kedua mempelai. Ghani segera masuk dan membuka kopernya. Dia mencari baju ganti yang sudah disiapkan. “Maaf, Sandra. Aku bersih-bersih dulu. Badanku sudah lengket.” “Iya, Mas. Tidak apa-apa. Aku juga masih harus membersihkan make up.” Ghani bergegas memasuki kamar mandi sedangkan Sandra duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan make up. Hiasan di rambutnya sudah dibersihkan MUA tadi di ruang ganti. Setelah semua bersih, dia berjalan menuju koper dan memilih baju untuk dipakai tidur. Sandra sudah mendapatkan baju untuk dipakainya tidur, sebuah piama panjang berbahan satin yang lembut. Diliriknya pintu kamar mandi yang masih tertutup. Apa Mas Ghani masih lama? Batin Sandra. Sandra memutuskan untuk berjalan ke arah balkon dan menikmati malam di sana. Dia duduk di kursi dan mendongak, menatap langit. Bulan sedang muncul dengan penuh percaya diri, bintang-bintang juga menampakkan wajah cantiknya malam ini. Sayang sekali langit malam yang indah sepertinya tidak mempengaruhi kesuraman di kamar hotelnya. Sandra sama sekali tidak berani membayangkan segala yang intim dan indah malam ini. Ghani masih belum bisa menerima keadaan ini dengan baik. Sejak dari selesai acara akad nikah, Ghani sudah menujukan raut kurang nyaman. Ghani sebenarnya tidak setuju dengan semua pesta mewah pernikahannya. Sedikit banyak Sandra berusaha memahami Ghani. Tapi mau bagaimana lagi? Kedua keluarga sudah sepakat menyelenggarakan resepsi di hotel. Sandra membuang nafas dengan berat. Dalam hati, dia sangat berharap sebelum masa satu tahun selesai, Ghani bisa menerima dirinya dan pernikahan ini. Entah kapan semua akan terjadi, tapi dia selalu berdoa pada Tuhan untuk kelanggengan rumah tangganya dengan Ghani. “Mandilah! Setelah itu kita perlu bicara.” Suara Ghani menginterupsi pikiran Sandra. Ghani sudah selesai mandi dan memakai sweatpants dipadukan dengan kaos. Dia berdiri di depan pintu balkon. “Iya, Mas.” Sandra tersenyum dan melangkah masuk menuju kamar mandi. Ghani mengusap wajahnya. Dia telah memikirkan hal ini masak-masak. Tentang pernikahan yang tidak diinginkannya ini. Bukan karena dia mencintai wanita lain, bukan! Ini murni karena memang hatinya tidak bisa menerima pernikahan jika akhirnya hanya akan berpisah dan sakit hati berkepanjangan. Jadi sebelum hatinya luluh pada Sandra, dia harus memutuskan untuk membatasi pernikahan ini hanya selama satu tahun. Sebelum memutuskan untuk menerima perjodohan ini, tentu saja Ghani sudah mengutus asistennya untuk mencari tahu semua tentang Sandra. Menurut Ghani, sebenarnya Sandra adalah wanita penuh pesona. Dia cantik, baik, tidak pernah pergi ke klub, lingkaran pertemanannya juga positif. Apalagi Sandra termasuk mahasiswa yang cerdas dan aktif di organisasi. Di dalam perusahaan ayahnya, Sandra juga telah lama memimpin yayasan sosial untuk anak yatim, orang miskin, dan para janda. Ghani takut. Dia takut suatu saat dia jatuh cinta pada Sandra lalu Sandra pergi meninggalkannya. Dia mengerang frustrasi. Tidak ingin terlarut dalam pikiran buruk. Lebih baik dia mengambil laptop dan bekerja. Ghani berbalik dan melangkah masuk. Dia juga menutup pintu balkon dan duduk di sofa. Lalu dia membuka laptop dan mulai mengecek laporan. Ceklek.. Ghani tahu itu adalah istrinya yang keluar dari kamar mandi meski tidak melihatnya. Tatapannya masih tertuju pada laptop. Tidak mau bersusah payah menatap istrinya. “Duduklah! Aku ingin berbicara sebentar.” Sandra mengangguk dan duduk di kursi depan suaminya. Sandra dengan tenang menunggu kalimat Ghani. “Aku hanya ingin menegaskan kalau pernikahan ini akan berlangsung satu tahun. Aku ingin fokus pada perusahaanku. Pikiranku akan banyak tercurah di sana.” “Iya, Mas. Aku juga tidak akan mengganggu pekerjaan Mas Ghani.” “Meskipun hanya satu tahun, tapi aku akan tetap menafkahimu. Itu kewajibanku.” “A-apa, Mas? Menafkahi?” Kening Sandra berkerut. Apa maksudnya dengan menafkahi? Apa itu berarti dia dan Ghani akan.... akan....... Sebelum Sandra tersadar dari lamunannya, Ghani sudah melanjutkan perkataannya. “Ambil kartu ini. Ini kartu debit khusus aku buat untukmu. Setiap bulan aku akan mentransfer uang untuk bulananmu.” Rahang Sandra otomatis terjatuh. Mulutnya menganga lebar tidak percaya. Bagaimana mungkin dia membayangkan nafkah yang lain saat maksud Ghani adalah nafkah yang ini. “Oh begitu, Mas.” Sandra menggelengkan kepalanya dan ragu-ragu mengambil kartu itu. “Kenapa? Apa kamu tidak suka? Kau ingin aku mentransfernya langsung ke rekeningmu?” “Tidak, tidak. Bukan begitu, Mas.” “Ya sudah, ambil saja. 25 juta cukup?” “Cukup, Mas. Terima kasih.” “Hmm. Oh ya. Aku ingin kita tetap bersikap biasa saja. Aku tidak akan mendiamkan atau bersikap dingin dan kurang ajar. Bagaimana pun, kau istriku. Tuhan sudah menyaksikan janjiku. Jadi, aku berharap kau juga bisa berlaku sama padaku.” “Iya, Mas. Aku akan berusaha terus menjadi istri yang baik untukmu.” “Cukup pembicaraan ini. Kau bisa tidur terlebih dulu.” Sandra tersenyum dan mengangguk. Dia berdiri dan berjalan menuju ranjang. Sandra ragu untuk tidur di kasur. Dia takut Ghani marah. Apa sebaiknya dia tidur di sofa saja? “Ada apa lagi?” tanya Ghani gusar. “Tidak ada, Mas. Selamat malam.” Sandra langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Sebelum tidur, dia teringat sesuatu. Dia lantas duduk dan menatap Ghani. “Mas Ghani” “Mm, apa?” sahut Ghani tanpa melihat Sandra. “Aku masih bisa bekerja, kan?” “Iya, boleh. Aku tidak akan membatasi pergaulanmu. Hanya saja ingatlah bahwa sekarang kau bersuami.” “Iya, Mas. Pasti! Ya sudah, selamat malam lagi, Mas.” “Hmm.” Sandra naik ke kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Ghani sudah kembali fokus pada pekerjaannya. “Hmm, semoga suatu saat aku bisa membuatmu mencintaiku, Mas.” Gumam Sandra. “Kau mengatakan sesuatu?” tanya Ghani. “Hah? Tidak kok, Mas.” Sandra gelagapan menjawab pertanyaan Ghani. “Oh, aku tadi seperti mendengar suaramu. Maaf mengganggu tidurmu.” “Iya, Mas. Tidak apa-apa.” Sandra kembali menarik selimutnya semakin tinggi menutupi tubuhnya. Dia takut Ghani kembali mendengar suaranya meskipun itu hanya gumaman kecil. Mas Ghani peka juga telinganya, batin Sandra. Sandra tidak akan mengeluarkan suara lagi yang berpotensi kembali didengar Ghani. Ghani yang melihat Sandra menutupi seluruh tubuhnya menghela nafas kasar. “Apa kau tidak tahu kalau tidur dengan menutup seluruh tubuh itu berbahaya?” tanya Ghani agak keras. Dia bahkan memijat keningnya. Sandra terkejut mendengar suara Ghani. Dia langsung membuka selimutnya dan duduk di ranjang. “Ada apa, Mas?” tanya Sandra. “Tidak ada. Tidurlah yang benar. Jangan menutup seluruh tubuhmu dengan selimut.” Ghani berdiri mengambil laptopnya. “Mau ke mana, Mas?” tanya Sandra kebingungan. Pasalnya ini sudah pukul sebelas malam dan Ghani berdiri dengan membawa laptop entah mau ke mana. “Aku akan mengerjakan laporan di balkon saja. Aku tidak ingin mengganggu tidurmu.” Sandra terkesiap. Sepertinya terbalik. Sepertinya dia yang mengganggu Ghani bekerja. “Eh, tidak usah, Mas. Mas di sini saja. Aku tidak akan mengganggumu.” “Tidak apa-apa. Aku nyaman bekerja di bawah langit malam.” “Kalau begitu aku akan meminta kopi layanan kamar. Bagaimana?” Ghani tampak menimbang usulan Sandra. Sepertinya bukan ide yang buruk. Dia butuh kopi untuk tetap fokus pada pekerjaan yang sudah ditinggalkannya sehari. “Iya, baiklah. Dua sendok kopi dan satu sendok gula.” Sandra tersenyum mendengar jawaban Ghani. Itu artinya Ghani mengizinkannya melakukan tugas istri, menyiapkan kopi. Tugas pertamanya sebagai istri! Ghani segera menuju balkon. Dia tidak akan kuat memandang senyum Sandra lebih lama lagi. Senyum manis tapi sangat berbahaya. Tidak lama, secangkir kopi dan jahe hangat datang. Sandra menerima pesanan itu. Dengan langkah gembira, dia berjalan menuju balkon. “Ini kopinya, Mas.” “Terima kasih, Sandra. Tidurlah, sudah malam.” Setelah meletakkan nampan di meja, Sandra langsung berbalik. Kening Ghani berkerut saat melihat ada dua cangkir di sana. “Jahe?” “Hmm, untuk berjaga-jaga jika Mas kedinginan,” seru Sandra dari pintu balkon. “Hmm. Terima kasih.” Sandra pun akhirnya benar-benar naik ke ranjang dan berhasil tidur dengan lelap. Ghani tentu saja tetap fokus pada laptopnya. Sungguh sebuah malam pertama pernikahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN