Begitu selesai menguburkan jasad James dan Rosalie, Alegra dan Tregon bergegas meninggalkan rumah itu. Mereka menunggangi kuda milik James yang biasa digunakan pria itu untuk mengangkut daging dagangan dalam kereta miliknya. Mereka sengaja berangkat tengah malam agar tak berpapasan dengan para prajurit istana yang masih gencar mencari mereka.
Kuda itu berlari dengan cepat tanpa henti. Jarak antara rumah James dan pelabuhan yang memang tidak terlalu jauh, membuat mereka hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam, mereka pun tiba di pelabuhan. Tujuan utama mereka adalah dermaga, dimana disana kapal berukuran raksasa akan mengantarkan mereka menyeberangi Yellow Sea agar bisa tiba di Island Bay. Setibanya di pulau itu mereka akan melakukan perjalanan menuju Isle Village.
“Tunggu di sini, aku akan menanyakan harga tiket kapalnya.”
Alegra mengangguk, memilih menuruti perintah kakaknya. Dia berdiri di samping kuda seraya memegangi tali kekang kuda. Dia pandangi punggung kakaknya yang berjalan tegap mendekati salah satu awak kapal. Dalam hatinya tak hentinya berharap agar tak ada seorang pun yang menyadari identitas kakaknya.
Mereka nekad pergi kemari hanya dengan bermodalkan jubah hitam usang disertai kupluk yang menutupi tubuh dan kepala mereka. Juga sehelai kain yang mereka jadikan masker untuk menutupi wajah mereka.
Alegra tak terlalu khawatir dirinya akan dikenali orang lain, mengingat dirinya memang jarang muncul di luar istana, kecuali saat dirinya mengikuti kegiatan orangtuanya yang selalu menyapa rakyat setiap pagi. Namun mengingat jarak tempat ini dan Istana terlampau jauh, Alegra sangsi ada warga disini yang sering datang ke sekitar Istana hanya sekadar untuk melihat keluarga kerajaan menyapa rakyat di pagi hari.
Orang yang paling Algera khawatirkan adalah kakaknya. Walau bagaimana pun Tregon seorang putra mahkota. Dia sering ikut bepergian bersama Raja saat mereka mengunjungi beberapa wilayah kekuasaan kerajaan Vincentius. Tentu wajah sang kakak sudah cukup familiar di kalangan para rakyat.
Alegra tak bisa melukiskan betapa leganya dia saat melihat Tregon melangkah mendekatinya tanpa insiden apa pun. Bersyukur berulang kali dalam hatinya karena harapannya dikabulkan.
“Harga tiket kapalnya 250 coin perak per-orang,” ucap Tregon, yang sukses membuat Alegra terperanjat kaget.
“Mahal sekali. Dari mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Berarti kita membutuhkan uang 500 coin perak bukan agar bisa naik ke kapal itu?”
Tregon mengangguk. Dia pun tampak kebingungan sama halnya dengan Alegra.
“Kita bahkan tak memiliki uang sepeser pun, bagaimana kita bisa mendapatkan 500 coin perak?” gumam Alegra, tak mendapatkan tanggapan apa pun dari Tregon.
Sebenarnya bisa saja mereka mencari uang di rumah James sebelum pergi, toh pemilik rumah itu sudah tiada. Namun, Alegra dan Tregon tidak melakukannya.
Mengambil uang tanpa izin meski sang pemilik sudah tiada, bagi mereka tindakan itu tetaplah pencurian. Terlebih mengingat betapa baiknya James membantu mereka bahkan sampai mengorbankan nyawa demi menyelamatkan mereka. Alegra maupun Tregon tak akan setega itu jika mengambil uangnya juga.
Alhasil mereka pergi ke pelabuhan tanpa membawa uang sepeser pun.
“Kurasa kita harus menjual kuda ini.”
Tregon merasa inilah satu-satunya cara agar mereka bisa mendapatkan uang sekarang.
“Tapi Kak, kuda ini milik James. Bukan milik kita.”
“Kita sepakat membawa kuda ini karena kasihan padanya. Jika ditinggalkan di rumah James, dia akan mati karena kelaparan. Tapi jika kita naik ke kapal itu, kuda ini juga tak mungkin bisa kita bawa ke dalam. Mereka tidak mengizinkan hewan ikut masuk. Bukankah lebih baik menjualnya daripada membiarkannya terlantar di jalan?”
Alegra tertegun merasa yang dikatakan kakaknya ada benarnya. Namun lagi-lagi harus meninggalkan kuda yang sudah menemani perjalanan mereka, Alegra merasa tak tega.
“Iya, Kak. Kurasa ini yang terbaik,” sahut Alegra, menyadari hanya ini satu-satunya cara agar mereka bisa mendapatkan uang untuk membeli tiket kapal.
“Harga kuda ini hanya 350 coin perak? Apa tidak terlalu murah pak?” ujar Tregon, sedikit emosi.
Mereka kini berdiri di depan seorang pria yang tengah melakukan aktivitas jual-beli kuda tak jauh dari dermaga. Berharap uang penjualan kuda milik James akan mencukupi untuk membeli tiket kapal. Nyatanya apa yang terjadi sungguh di luar dugaan mereka. Harga kuda itu terlampau rendah, Tregon tak bisa menerimanya begitu saja.
“Lihat kuda kalian ini. Sangat kurus, mungkin sakit-sakitan juga,” sahut sang penjual.
“Dia kuda yang sehat. Kau bisa memeriksa kesehatannya dulu jika tidak percaya.” Tregon tak mau kalah.
“Terserah kalian kalau begitu. Aku tetap akan membelinya dengan harga 350 coin perak. Setuju atau tidak sama sekali?” tegas sang penjual tak menerima bantahan.
Alegra dan Tregon tertegun, semakin kebingungan.
“Jika kalian tidak mau, silakan cari pembeli lain. Itu pun jika kalian bisa menemukan pembeli kuda lain di sekitar sini.”
Penjual itu menyeringai, cukup membuat Alegra dan Tregon paham bahwa pria inilah satu-satunya harapan mereka. Sepertinya tak ada orang yang berbisnis jual-beli kuda seperti pria tersebut di daerah itu.
“Paman, tolonglah bantu kami. Kami ingin membeli tiket kapal. Tapi uang kami tidak cukup jika 350 coin perak saja. Kami membutuhkan 500 coin perak untuk membeli dua tiket kapal.”
Alegra mencoba peruntungan, ikut membantu Tregon membujuk pria keras kepala di hadapan mereka.
“Kalian berniat menyeberangi laut ini?” tanya si penjual, yang diangguki Alegra dan Tregon serempak.
“Kapal besar itu bukan satu-satunya kendaraan yang bisa mengantarkan kalian ke seberang sana. Itu, perahu-perahu kecil itu juga bisa kalian sewa untuk mengantarkan kalian ke seberang.”
Si penjual menunjuk ke arah beberapa perahu kecil yang berderet rapi di sepanjang dermaga. Tregon dan Alegra mengernyitkan dahi mereka, menaiki perahu yang lebih cocok digunakan para nelayan untuk mencari ikan itu, jelas bukan pilihan yang bagus untuk digunakan mengarungi lautan yang luas ini.
Yellow Sea ... sebuah laut yang terbentang luas hingga membutuhkan waktu sehari semalam mengendarai kapal besar untuk menyeberanginya. Laut luas yang terkenal dengan keangkerannya karena badai dan ombak besar yang sering menghadang tanpa pertanda apa pun. Laut dengan kedalaman sekitar 35.643 kaki dari permukaan laut itu konon dihuni banyak hewan air ganas dan berbahaya seperti ikan hiu. Semua jenis ikan hiu yang berbahaya tinggal di dalam laut itu.
Air laut jernih yang akan berubah kekuningan saat sinar matahari pada siang hari menerpanya itulah yang menjadi alasan laut itu dinamakan Yellow Sea.
Alegra dan Tregon tak ingin membayangkan mereka harus menaiki perahu kecil mengarungi lautan nan luas dan berbahaya itu.
“Harga sewa perahu itu sangat murah.”
“Tapi kami bisa mati jika menaiki perahu itu. Bagaimana jika ombak besar atau badai tiba-tiba menghadang? Jika perahu itu terbalik dan kami jatuh ke air laut, kapan pun kami bisa menjadi santapan para hiu yang tinggal di sana.”
Alegra geram, terutama ketika sang penjual justru tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapannya.
“Kau tidak perlu khawatir, Nona. Memangnya menurutmu kenapa mereka rela menyewakan perahu mereka untuk menyeberangi lautan ini? Tentu saja karena mereka sudah ahli dan hafal betul medan di lautan ini kan? Lagipula banyak orang yang selamat menyeberangi lautan ini dengan menaiki perahu itu.”
“Tapi ...”
Alegra menghentikan ucapannya dikala Tregon merentangkan satu tangannya seolah memberikan isyarat padanya untuk berhenti berdebat.
“Baiklah, Pak. Kami setuju dengan harga yang kau tawarkan. Kami akan menjual kuda itu.”
Alegra membelalak sempurna mendengar keputusan Tregon yang tiba-tiba ini. Bahkan sang kakak tidak menanyakan pendapatnya terlebih dahulu.
Meski Alegra masih tak setuju, namun saat pria penjual itu memberikan sekantong uang pada Tregon, dia pun mengembuskan napas pasrah. Tak bisa melakukan penolakan apa pun lagi.
“Kalian harus hati-hati juga karena tidak sedikit penyewa perahu beserta perahunya yang tidak kembali setelah mengarungi lautan ini. Mungkin mereka benar-benar menjadi santapan para penghuni laut.”
Alegra yang sudah membalik badannya hendak pergi, kembali menoleh ke arah sang penjual. Menggeram kesal mendengar ucapan sang penjual yang terang-terangan tengah mempermainkan mereka. Ingin rasanya Alegra menghampiri pria penjual itu dan melemparkan uang darinya jika saja Tregon tidak menghalanginya.
“Sudahlah, tidak apa-apa,” cegah Tregon.
“Tapi, Kak ....”
Tatkala Tregon menggelengkan kepalanya, Alegra seketika membungkan mulutnya. Lagi-lagi dirinya tak bisa melawan perintah kakaknya.
Alegra kembali berdiri mematung ketika Tregon pergi untuk menanyakan harga sewa perahu. Alegra menendang udara dengan kakinya, tatapannya menunduk ke arah sepatunya. Meratapi hidupnya yang menjadi seperti ini. Bagai hidup dalam neraka sepertinya cocok dijadikan perumpamaan apa yang dirasakan Alegra. Lantas tersenyum miris saat mengingat dirinya akan segera ditumbalkan sebentar lagi. Mungkin dia tidak memiliki sisa waktu lagi untuk bisa bersama kakaknya.
“Alegra.”
Cepat-cepat Alegra menghapus butir air matanya yang baru saja menetes, tak ingin kakaknya melihat dirinya baru saja menangis. Berpura-pura memasang senyum lebar ketika matanya bertatap muka dengan mata kakaknya.
“Bagaimana, Kak? Apa uangnya cukup untuk membayar sewa perahunya?” tanya Alegra antusias.
“Ya. Ayo pergi!”
Tanpa ragu Alegra menerima uluran tangan kakaknya. Berjalan beriringan sambil bergandengan tangan, mengikuti langkah lebar sang kakak.
Alegra terkejut tiada tara saat kakaknya tidak membawanya ke salah satu perahu yang sudah disewanya, melainkan membawanya ke kapal besar dengan harga tiket selangit namun keamanannya terjamin.
“Kak, bukankah uang kita tidak cukup untuk membeli tiket kapal ini?” tanya Alegra, heran kenapa kakaknya membawanya ke kapal ini bukannya ke perahu yang disewanya.
“Kau akan naik ke kapal ini. Lihat, kakak sudah membelikan tiket untukmu,” ucap Tregon, seraya mengulurkan secarik kertas yang merupakan tiket untuk naik ke kapal.
Alegra menerima tiket itu dengan wajah berbinar. Hatinya seketika lega karena dirinya tak harus menaiki perahu kecil yang mengancam nyawa jika nekad menggunakannya untuk mengarungi lautan.
“Tiket kakak mana?”
Tregon tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya pelan.
“Hanya kau yang akan menaiki kapal itu.”
“Lalu kakak bagaimana?”
Tregon tak menjawab, pria gagah berstatus sebagai putra mahkota itu mengeluarkan secarik kertas lain dari saku celananya. Sebuah tiket sewa perahu seharga 50 coin perak.
“Jangan katakan kakak akan menaiki perahu kecil itu?” Tregon mengangguk, masih dengan seulas senyum tersungging di bibirnya.
“Tidak, Kak. Aku tidak mau berpisah dengan kakak. Kita naik kapal besar ini sama-sama.”
“Alegra, kau percaya padaku, kan?” Kali ini gantian Alegra yang mengangguk.
“Kalau begitu turuti kata-kataku. Naiklah ke kapal itu. Aku akan menyusul dengan perahu yang sudah aku sewa. Nanti kita bertemu di seberang. Mengerti?”
“Tapi ...”
Alegra bungkam, jari telunjuk Tregon mendarat mulus di depan bibirnya.
“Aku tidak menerima bantahan. Naiklah. Kau harus percaya kakak akan baik-baik saja. Kita akan bertemu di seberang, di Island Bay.”
Setelah mengatakan itu, Tregon mendorong punggung adiknya. Mau tak mau membuat Alegra terpaksa melangkahkan kakinya menaiki kapal.
Pandangan Alegra tetap terfokus pada sang kakak saat mengulurkan tiket miliknya pada awak kapal. Bahkan hingga kapal itu akhirnya melaju meninggalkan dermaga pun, tatapan Alegra masih terpusat pada sosok sang kakak yang masih berdiri di tempat yang sama. Tregon melambaikan tangannya dengan senyuman yang tak luntur dari wajah tampannya.
Jarak antara kapal yang sudah melaju dengan dermaga sudah cukup jauh hingga tak mungkin bisa dilompati. Siapa sangka Alegra melakukan tindakan bodoh. Air matanya menetes turun saat jarak antara dirinya dan sang kakak semakin terpaut jauh. Sudah dia duga, sampai kapan pun dia tak akan sanggup berpisah dengan kakaknya yang sudah sejak kecil selalu menemaninya.
Alegra menaiki pinggiran kapal, mengabaikan teriakan orang-orang yang berdiri di dekatnya, dia pun melompat ke dalam air.
Tregon tercengang untuk sesaat menyaksikan kebodohan adiknya. Berlari dan menceburkan dirinya saat akal sehatnya kembali mengambil alih tubuhnya.
Dia berenang menghampiri Alegra yang tengah meronta-ronta nyaris tenggelam.
“Apa yang kau lakukan? Dasar bodoh!!” bentak Tregon, kesal bukan main.
“Aku ... aku tidak mau berpisah dengan kakak. Apa pun rintangannya, kita akan menghadapinya bersama-sama. Bukankah itu kesepakatannya, Kak?”
Tak ada lagi yang bisa Tregon lakukan selain memeluk tubuh adiknya erat. Lalu menariknya untuk kembali ke daratan.
Pada akhirnya, tak ada pilihan lain bagi Tregon dan Alegra untuk menyeberangi lautan selain dengan menaiki perahu kecil yang mereka sewa.
***
Entah karena kehendak Tuhan atau mungkin keberuntungan sedang memihak pada orang-orang berhati baik seperti Alegra dan Tregon, setelah dua hari satu malam terombang-ambing di atas lautan, mereka akhirnya tiba di Island Bay dengan selamat.
Hujan, badai, angin topan maupun ombak besar yang biasanya menjadi sesuatu yang biasa terjadi di Yellow Sea, selama dua hari itu tak ada satu pun bencana alam yang terjadi. Air tampak tenang, bahkan sekadar ombak kecil pun tak terlihat.
Tak ada lagi kata yang mampu melukiskan betapa bersyukurnya Alegra dan Tregon karena bisa tiba di tempat tujuan mereka dengan selamat.
Sebuah gerbang bertuliskan ‘Isle Village’ dengan huruf-huruf besar terpampang di bagian atas gerbang, kini berdiri kokoh di hadapan Tregon dan Alegra.
Setelah menggunakan sisa uang mereka untuk menaiki kereta kuda yang menjadi satu-satunya alat transfortasi di Island Bay, mereka pun tiba di desa keramat yang katanya masih bersekutu dengan Raja siluman ular.
Mereka melangkah tegap memasuki gerbang, jika saja langkah mereka tak dihentikan oleh dua pria berbadan kekar yang sepertinya penduduk desa tersebut.
“Siapa kalian? Sepertinya kalian orang asing?” tanya salah satu pria.
Alegra dan Tregon saling berpandangan, tak berniat sedikit pun menceritakan dengan jujur identitas asli mereka.
“Kami memang bukan penduduk desa ini,” jawab Tregon, tak gentar meskipun tatapan kedua pria itu kentara penuh selidik, mencurigai mereka secara terang-terangan.
“Apa tujuan kalian memasuki desa kami? Mungkin kalian tidak tahu bahwa kami tidak mengizinkan orang asing memasuki desa kami.”
Baik Tregon maupun Alegra sama-sama terenyak kaget, mereka tak tahu menahu mengenai hal yang satu ini. Bagaimana mereka bisa masuk jika ada peraturan orang asing tidak diizinkan memasuki desa ini? Keduanya mulai kebingungan.
“Kami ingin menemui kepala desa.” Tregon memberanikan diri mengutarakan maksud kedatangan mereka mendatangi desa tersebut.
Gelak tawa seketika terdengar dari kedua orang pria yang masih menghadang Alegra dan Tregon. Lalu meludah sembarangan hingga mengenai sepatu Tregon, yang sayangnya tak berpengaruh apa pun pada sang pangeran. Tregon tetap berdiri kokoh meski secara terang-terangan dirinya tengah direndahkan.
“Tidak sembarang orang bisa menemui kepala desa. Apalagi gelandangan seperti kalian.”
Tregon mengepalkan tangannya erat, meski berusaha menahan emosinya namun penghinaan yang diterimanya kali ini tak bisa ditolerir lagi.
Dirinya dan Alegra merupakan keturunan bangsawan, anggota keluarga kerajaan Vincentius bahkan Tregon merupakan pewaris tahta yang sah. Sesuatu yang wajar jika Tregon tak bisa menerima penghinaan ini. Terlebih dihina oleh rakyat jelata seperti kedua pria itu.
Dia menggeram, hendak maju untuk memberikan pelajaran pada kedua pria itu agar menjaga mulut mereka, jika saja dengan terpaksa dia harus mengurungkan niatnya karena cekalan Alegra pada tangannya.
Tregon menoleh, mengernyitkan dahinya saat menyadari raut wajah Alegra tampak biasa saja seolah tak tersinggung sedikit pun dengan hinaan kedua pria itu.
“Kami ingin menemui kepala desa karena kami memiliki urusan dengan raja siluman ular, Raja Renz Tazio Sylvain. Kami dengar kepala desa kalian bisa membantu kami agar bisa bertemu dengannya.”
Kedua pria itu menegang setelah mendengar ucapan Alegra. Tatapan merendahkan mereka tiba-tiba lenyap entah kemana, digantikan raut panik seolah mereka baru saja menyadari kesalahan yang telah mereka perbuat.
“O-Ohh begitu. Baiklah, kami akan mengantar kalian menemui kepala desa,” sahut salah seorang pria.
Kedua pria itu menggeser tubuh mereka seolah memberikan jalan untuk Alegra dan Tregon untuk memasuki desa.
Bersamaan dengan itu, Alegra dan Tregon tanpa ragu melangkahkan kaki memasuki desa. Kini mereka tak memiliki keraguan lagi, seperti yang dikatakan bibi mereka, Aresta. Isle Village ini benar-benar bersekutu dengan kerajaan siluman ular.