FIVE

2239 Kata
Setelah menguburkan kedua jasad yang menyisakan tulang belulangnya, Alegra dan Tregon memutuskan untuk  pergi dari rumah sederhana yang mereka jadikan tempat persembunyian semalaman. Disana mereka tak menemukan makanan apa pun, sama saja bunuh diri jika mereka lebih lama lagi bersembunyi disana. Kendati demikian, mereka masih beruntung karena menemukan beberapa potong pakaian di dalam lemari. Alegra terpaksa mengganti gaun mewahnya dengan pakaian pria yang dia temukan di dalam lemari. Tidak ada pakaian wanita disana. Alegra tak keberatan meski harus mengenakan pakaian kebesaran khas pria, baginya pakaian itu bisa membantunya menyamarkan diri di tengah-tengah masyarakat nantinya. Berbeda dengan Tregon yang tampak cocok mengenakan pakaian rakyat jelata yang begitu pas di tubuh kekarnya. Untuk menyamarkan wajah mereka yang cukup familiar di kalangan rakyat, karena hampir setiap hari mereka mengikuti orangtua mereka menyapa rakyat dari luar istana, Tregon dan Alegra menggunakan kain untuk menutupi hidung dan mulut mereka. Hanya kadua mata mereka yang dibiarkan terlihat. Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke pasar. Mencari makanan karena mereka sudah kelaparan setengah mati. Sudah dua hari lamanya sejak mereka melarikan diri dari Montville castle, perut mereka belum diisi makanan apa pun. Mereka berjalan tertatih-tatih dengan tangan yang saling berpegangan. Kewaspadaan tak pernah lepas dari sorot mata mereka, mengantisipasi kemungkinan para prajurit istana yang masih mencari mereka, muncul tiba-tiba di hadapan mereka. Tak ada kuda maupun kendaraan yang bisa mereka naiki. Demi bisa mencapai pasar yang jaraknya hampir 10 kilo dari tempat mereka berada, mereka harus berjalan kaki. Alegra mengabaikan rasa sakit pada pergelangan kakinya yang terkilir karena terjatuh dari kuda kemarin. Entah sudah berapa kali mereka bersembunyi di balik semak-semak maupun di balik pohon saat dari kejauhan segerombolan prajurit istana menunggangi kuda hendak menghampiri mereka. Menahan napas berkali-kali dengan tubuh gemetaran dikala para prajurit itu melewati tempat persembunyian mereka. Alegra mulai tak tahan menjalani hidup yang penuh dengan rasa sakit, ketakutan, ketegangan dan penderitaan seperti ini. Padahal dulu hidupnya sangat nyaman, kemewahan dimana-mana. Tapi dia harus kuat, demi sang kakak yang juga pasti merasakan penderitaan sama seperti dirinya. Sebagai seorang adik, Alegra bertekad akan menjadi seseorang yang memberikan dukungan dan bantuannya pada Tregon, dia tidak akan pernah menjadi beban untuk sang kakak. Perjalanan mereka memakan waktu berjam-jam, entah berapa jam tepatnya tapi nyaris seharian mengingat mereka berangkat pagi-pagi sekali dan sekarang suasana langit tampak memerah, senja akan segera datang sebentar lagi. Alegra terengah-engah, tubuhnya membungkuk dengan kedua tangannya bertopang pada kedua lututnya. Meski berjalan kaki dengan perlahan, tetap saja rasa lelah itu menghantamnya tidak ada ampun. Bagi Alegra, inilah pertama kalinya dia harus berjalan kaki sejauh itu. Ditambah dengan keadaan kakinya yang cedera cukup parah seperti ini. Tregon tak pernah mengeluh atau menegur saat Alegra meminta untuk beristirahat. Dia sangat memahami kondisi fisik adiknya yang tentu saja lebih lemah jika dibandingkan dirinya. Selama menunggu Alegra mengatur deru napasnya. Tregon menggulirkan bola matanya ke sekeliling pasar. Pasar itu masih tampak ramai meski hari sebentar lagi akan berganti malam. Aktivitas jual-beli masih ramai. Tregon menyipitkan matanya saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap sesuatu yang menggantung di atas gerbang pasar. Benda yang menggelantung itu berbentuk bulat, terikat seutas tali dan tak hentinya bergoyang karena hembusan angin yang sedikit kencang. Benda itu memiliki sesuatu yang panjang hingga menjuntai ke bawah. Tregon menegang saat menyadari bahwa benda panjang itu adalah sekumpulan rambut. Benda bulat itu tidak salah lagi merupakan kepala manusia. Tregon semakin memicingkan matanya, pandangannya semakin menajam pada objek itu. Dan saat wajah kepala itu menghadap ke arahnya karena terkena hembusan angin, Tregon menganga dengan kedua matanya yang membulat sempurna. Wajah dengan mulut menganga dan lidah terjulur keluar, bola matanya yang melotot hingga nyaris menggelinding keluar. Hidungnya dan kening wajah itu yang digenangi darah yang sudah mengering. Meski dari kejauhan, tak mungkin Tregon tak mengenali pemilik wajah yang beberapa hari yang lalu dia temui itu. “Kak kenapa? Wajah kakak seram sekali.” Tregon terenyak saat suara merdu Alegra menyapa indera pendengarannya. Bergegas menutup kedua mata Alegra dikala gadis itu hendak mengikuti arah pandangnya. “Jangan lihat.” Ucapnya. Namun percuma karena Alegra menyingkirkan dengan kasar telapak tangannya yang menghalangi penglihatan gadis itu. Saat Tregon melihat kedua mata Alegra membulat dengan genangan air mata yang siap tumpah keluar, Tregon tahu usahanya untuk mencegah sang adik agar tidak melihat pemandangan tak manusiawi itu telah gagal. “Itu ... katakan kalau aku salah lihat kak? Kepala yang tergantung itu, itu bukan kepala Bibi Aresta bukan?” Ya ... benar, kepala yang tergantung di atas gerbang pasar itu adalah kepala bibi mereka. Putri Aresta, Lady of Montville castle yang beberapa hari lalu menyelamatkan mereka. Tregon mengepalkan tangannya, saat air mata Alegra akhirnya meluncur mulus begitu saja. Suara isak tangis sang adik serta kepala Aresta yang terus terayun terkena hembusan angin itu membuat Tregon sadar, betapa lemahnya dirinya. Dia tak bisa melindungi orang-orang yang disayanginya. Bahkan sekadar menjaga agar air mata sang adik tidak jatuh pun, dia tak bisa melakukannya. “Bibi Aresta. Tidak mungkin ... bagaimana bisa mereka membunuhnya? Bagaimana bisa mereka memisahkan kepala dengan tubuhnya lalu menggantung kepalanya di tempat umum seperti ini? Mereka bukan manusia. Mereka pasti bukan manusia.” Gumam Alegra, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Isak tangisnya terdengar semakin memilukan, hati Tregon seolah teriris pisau tajam mendengarnya. Tregon bergegas memeluk tubuh ringkih adiknya ketika menyadari tatapan orang-orang kini tertuju pada mereka berdua. Terutama saat melihat beberapa prajurit istana bermunculan dari gerbang pasar, seketika tubuh Tregon gemetaran saking paniknya. Dia menarik tangan Alegra dengan paksa, membawanya berlari sejauh mungkin dari tempat mereka berdiri. “Kenapa kak?” “Prajurit istana, mereka datang kesini.” Jawab Tregon tak ingin membohongi sang adik. Alegra menoleh ke arah belakang, dan benar saja yang dikatakan kakaknya, beberapa orang prajurit istana memang bermunculan satu demi satu dari arah gerbang. Awalnya Tregon berniat membawa Alegra keluar dari pasar, namun niatnya terpaksa dia urungkan saat mendapati pintu gerbang pasar kini dijaga ketat oleh beberapa prajurit istana. Mereka melakukan pemeriksaan pada setiap orang yang hendak masuk maupun keluar dari pasar. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba situasinya berubah jadi seperti ini? Mungkinkah keberadaan mereka di pasar ini terlihat oleh seseorang? Berbagai pertanyaan itu kini memenuhi benak Tregon. “Kak bagaimana ini? Kita tidak bisa keluar dari sini.” Tregon terdiam, tak tahu harus memberikan jawaban apa di saat dirinya pun tengah kebingungan setengah mati. Padahal mereka baru saja menginjakan kaki di dalam pasar ini. Padahal makanan saja belum mereka dapatkan. Dan kini ... jangankan mencari makanan, sekadar melarikan diri pun rasanya mustahil bisa mereka lakukan. Tregon mengutuk dirinya sendiri karena telah melakukan tindakan ceroboh membawa Alegra ke tempat ini. Tempat yang seharusnya tidak mereka datangi dalam kondisi seperti ini. Tregon mengeratkan pelukannya pada bahu Alegra saat matanya kini menangkap pergerakan para prajurit yang tengah memeriksa para pedagang yang berjualan di pasar. Wajah para pembeli pun ikut mereka periksa, membuat kedua saudara kandung yang tengah menjadi buronan ini panik luar biasa. Dalam keadaan bingung dan panik itu, Alegra merasakan tangannya dicekal seseorang. Dia nyaris berteriak, bersyukur teriakannya berhasil dia tahan dikala melihat pria paruh baya yang mencekal tangannya memberikan tanda padanya agar tidak berisik. Tregon dan Alegra saling berpandangan, pria itu hendak membawa mereka ke suatu tempat. Tentu saja keduanya tak menurut begitu saja. “Saya tahu siapa kalian. Cepat ikuti saya, jika kalian tidak ingin tertangkap.” Bisik pria itu pelan, namun telinga Tregon dan Alegra masih bisa mendengarnya. Pria itu membawa Alegra dan Tregon ke sebuah stand daging yang sepertinya merupakan stand tempat pria itu berjualan. Rupanya dia seorang pedagang. Dalam stand itu terhalangi tenda terbuat dari kain terpal di bagian atasnya. Dimana di bagian depannya sebuah meja berukuran besar berdiri dengan kokoh. Berbagai jenis daging yang masih dilumuri darah segar berderet di atas meja tersebut. “Kalian duduk lah disini.” Titahnya pada Alegra dan Tregon. Menunjuk pada sebuah karpet yang digelar tepat di bawah meja. Meja yang tinggi itu akan menghalangi keberadaan mereka. Tanpa bertanya, lantas mereka pun menuruti perintah si pria. Meloloskan diri dari pemeriksaan prajurit istana merupakan hal terpenting bagi mereka saat ini. Dan sepertinya pria itu bisa mereka percayai. Alegra gemetaran dikala telinganya mendengar langkah kaki seorang prajurit memakai baju besi yang mendekati tempat persembunyian mereka. Dia genggam erat tangan kakaknya, berharap sang kakak mampu menghilangkan sedikit saja rasa takutnya ini. “Hallo, selamat sore, Tuan.” Sapa si pria, ramah pada prajurit istana yang menghampiri stand dagangannya. “Bagaimana penjulanmu hari ini?” tanya prajurit istana tersebut. “Tidak sebagus biasanya. Lihat daging dagangan saya masih tersisa banyak.” Sang prajurit memandang tumpukan daging segar di atas meja yang memang terlihat masih banyak. “Ngomong-ngomong tuan, apa malam ini juga akan diadakan pemeriksaan seperti biasanya?” “Begitulah. Selama kedua buronan itu belum ditemukan. Kami akan terus melakukan pemeriksaan di tempat-tempat umum.” Si pria mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. “Begitu rupanya. Kalau mereka tertangkap, kira-kira hukuman apa yang akan mereka dapatkan?” si prajurit tertawa lantang mendengar pertanyaan dari pria penjual daging itu. Dia mendecih, meludah sembarangan hingga ludahnya jatuh pada salah satu daging. “Mereka akan dieksekusi mati. Hanya kematian yang pantas untuk pengkhianat seperti mereka. Kau lihat kepala Lady Aresta?” ucap prajurit itu seraya menunjuk ke arah kepala Aresta dengan dagunya. “Ya saya melihatnya. Sampai kapan kepala itu akan digantung disana?” “Selamanya, sampai kepala itu membusuk dan berubah menjadi tengkorak. Hahahaha...” Di tempat persembunyiannya, Tregon membekap mulut sang adik yang mulai terisak. Mengetahui potongan kepala yang digantung itu merupakan kepala bibinya, Alegra tak sanggup lagi menahan kesedihannya. “Kedua buronan itu juga akan dieksekusi seperti wanita itu. Jasadnya dibakar tanpa bekas, sedangkan kepalanya digantung di tempat umum untuk dijadikan contoh pada seluruh rakyat agar tidak coba-coba mengkhianati kerajaan. Dan kau ...” si prajurit menjeda ucapannya saat tanpa sengaja samar-samar telinganya menangkap suara isak tangis seorang wanita. Dia mengernyit, mencari asal suara itu yang dia yakini berasal dari stand tempatnya berada. “Suara apa itu? aku mendengar suara tangisan seorang wanita?” Tregon bergegas menundukan kepalanya saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan sang prajurit. Dia pun menekan kepala Alegra paksa agar ikut menunduk. Tak ingin keberadaan mereka terlihat oleh sang prajurit. “Ada orang lain disini? Kau menyembunyikan seorang wanita di stand daganganmu?” nada suara sang prajurit mulai meninggi. Pria penjual daging geragapan, namun secepat kilat dia berusaha bersikap normal, tak ingin membuat prajurit itu semakin mencurigainya. “Oh, itu putriku. Dia yang menangis. Hmm ... sebenarnya dia sedikit tidak waras. Dia tidak normal. Seharusnya tuan juga pernah melihatnya kan? Tuan sering memeriksa stand dagangan saya.” “Oh gadis i***t itu. Mana dia, aku ingin melihatnya?” “Hmm ... sebentar tuan.” Pria itu menatap ke arah Alegra, memberi isyarat dengan sorot matanya agar Alegra berdiri. Alegra menatap Tregon meminta pendapat, jika dia berdiri dan wajahnya dikenali oleh prajurit itu, maka tamatlah riwayatnya. “Penampilan putriku ini sangat berantakan. Saya khawatir tuan akan merasa jijik melihatnya.” “Aku tidak peduli. Cepat tunjukan dia padaku.” “Baik tuan, sebentar saya harus membujuknya perlahan. Jika tidak, bisa-bisa dia berteriak seperti orang gila di sini.” Mendengar perbincangan antara pria penjual daging dan prajurit itu, memberikan sebuah ide untuk Alegra. Dengan kedua tangannya yang masih gemetaran hebat, dia mengacak-acak rambut panjangnya hingga tak beraturan. Rambut panjangnya dia biarkan menjuntai ke depan hingga menutupi wajahnya. Lalu dia lepaskan kain yang menutup wajahnya, menyerahkan kain itu pada Tregon. “Ayo nak, bangunlah. Tuan ingin melihatmu. Ayo nak!” ucap si pria, berpura-pura tengah membujuk Alegra. Merasa tak memiliki pilihan lain, Alegra pun bangkit berdiri dengan rambut panjangnya yang bagaikan rambut gimbal orang gila yang sering dia temui jika berjalan-jalan di luar istana dulu. Dia menundukan wajahnya agar sang prajurit tak bisa melihatnya. Lagipula rambut panjangnya yang tergerai ke depan, telah sukses menyembunyikan wajahnya dari tatapan sang prajurit. “Ini dia putriku.” Ujar si pria penjual daging. Prajurit itu mengamati penampilan Alegra mulai dari atas kepala dan berpusat pada wajahnya yang terhalangi rambut panjangnya. Dilihat dari sudut pandang mana pun, gadis itu memang terlihat seperti orang gila. “Aku lupa wajah putrimu. Coba singkapkan rambutnya. Aku ingin melihatnya lebih jelas.” Alegra meneguk salivanya panik luar biasa saat mendengar permintaan prajurit itu. Kedua bola matanya berputar gelisah, tak tahu harus melakukan apa sekarang. “Jangan tuan, nanti putri saya menangis lagi. Saya tidak ingin dia membuat keributan di sini.” Mendengar ucapan si pria penjual daging, Alegra kembali mendapatkan sebuah ide. Lantas tanpa berpikir panjang lagi, dia pun menangis sekencang-kencangnya. Berteriak-teriak tak jelas, menirukan prilaku orang gila yang dulu pernah dia lihat. “Ayah ... aku ingin pulang. Aku lapar. Aku ingin pulang ayaaaah!!” teriaknya, dia bahkan mengabaikan telapak kakinya yang berdenyut sakit. Dia melompat-lompat seraya tak hentinya merengek. Dia harus bersandiwara seperti orang gila agar prajurit itu tak mencurigainya lagi. “Maaf tuan, putri saya memang selalu seperti ini jika sudah kambuh.” “Ck ... ck ... ya sudah. Cepat urus putrimu. Suruh dia berhenti. Suaranya berisik sekali.” “Baik tuan, terima kasih atas pengertiannya. Oh iya tuan, ini ada sedikit oleh-oleh dari saya untuk tuan. Mohon tunggu sebentar.” Si pria penjual daging itu memasukan beberapa potong daging dagangannya ke dalam sebuah plastik hitam, lalu dia serahkan plastik itu pada sang prajurit. Sedangkan Alegra masih terus melanjutkan sandiwaranya, suara teriakannya bahkan terdengar lebih kencang dari sebelumnya. “Ini, Tuan. Tolong diterima.” Prajurit itu menerima plastik yang penuh dengan daging tanpa ragu. Tersenyum kecil pada pria penjual daging yang memang selalu melakukan ini setiap kali dia datang memeriksa stand dagangannya. “Tuan, boleh saya izin pulang lebih dulu? Saya rasa putri saya akan terus membuat keributan jika tidak cepat-cepat dibawa pulang.” “Ya sudah sana, kau bawa saja dia pulang.” “Terima kasih tuan.” Prajurit itu pun melenggang pergi dengan menenteng plastik hitam berisi daging segar di tangannya. Seketika Alegra menghentikan sandiwaranya. Situasinya sudah aman sekarang. “Kita harus segera pergi dari sini sebelum ada prajurit lain yang datang kesini untuk memeriksa lagi.” “Terima kasih atas bantuannya paman.” Ucap Alegra tulus. “Jangan mengucapkan terima kasih sekarang tuan putri karena saya belum berhasil membawa anda berdua pergi dengan selamat dari sini.” Dan kata-kata pria itu semakin menegaskan bahwa dia memang mengetahui identitas Tregon dan Alegra yang sebenarnya. “Mari ikut dengan saya.” Serempak Alegra dan Tregon mengangguk. Kini tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain mempercayakan nyawa mereka pada pria asing berhati malaikat yang telah membantu mereka ini. Yang menjadi pertanyaannya, sanggupkah mereka keluar dengan selamat di saat tempat itu kini sudah dipenuhi banyak prajurit istana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN