FFY | S1 - Chapter 12

1001 Kata
“Oh Alex!” Poni menatap Ansel dengan panik. “Kak Ansel, Poni dan Alex hanya teman sekelas. Tidak lebih! Poni bisa bersumpah jika Kak Ansel tidak per—" “Hentikan." Merasakan sakit kepala, Ansel segera menyela ucapan panjang lebar Poni. Membuat gadis manis itu otomatis menutup rapat mulutnya. Tidak lagi membicarakan tentang Alex. Ketika Ansel mengendarai mobil mengarah ke jalan menuju apartemen mereka, Poni segera bersuara. “Um.... Kak Ansel tolong Poni!” Poni menghadap Ansel dengan kedua tangan bersatu, ia memohon. Ansel meliriknya sekilas sebelum kembali ke jalan. “Apa itu?” “Tolong antar Poni ke rumah Bella! Hari ini kami ada kerja kelompok di rumah Bella.” “Kenapa tidak pergi bersama temanmu saja?” Ansel bertanya dengan sedikit kesal. “Kalau Poni pergi bersama Bella, Kak Ansel akan pulang sendirian.” “Setelah aku mengantarmu pun aku tetap pulang sendirian.” Ansel berkata datar. “Yang berbeda adalah Kak Ansel memiliki teman bicara yaitu Poni.” Poni mengerucutkan bibirnya dengan lucu ketika memainkan seat belt. “Juga, Poni merindukan Kak Ansel. Kemarin kita tidak pulang bersama membuat Poni sedih. Sekarang, mana mungkin Poni membiarkan Kak Ansel pulang sendirian. Poni tidak setega itu!” Secara naluriah Ansel menoleh ke samping menatap wajah Poni yang tidak menunjukkan kebohongan. Saat tatapannya berhenti di bibir Poni yang mungil dan terlihat lembut, ia segera kembali menghadap ke depan. Hari ini Poni menggunakan lipstick berwarna lebih cerah. Bibirnya terlihat lebih berisi. Wajahnya pun menjadi lebih segar. Ingin menghilangkan pikiran anehnya tentang gadis kecil di sebelahnya, Ansel membersihkan tenggorokannya kemudian bertanya, “Di mana rumah temanmu itu?” Dengan penuh semangat Poni memberi arahan untuk Ansel. Ansel masih mempertahankan dirinya untuk diam dan fokus menyetir membuat Poni tidak tahan. Ia kembali mengajak Ansel bicara walaupun sebenarnya ia seperti berbicara dengan tembok karena Ansel yang tidak menanggapinya. “Kak Ansel suka warna apa? Hitam? Putih? Atau biru? Atau abu-abu? Poni tidak tahu warna favorit Kak Ansel jadi Poni cuma bisa menggunakan kotak bekal kesayangan Poni yang berwarna merah muda untuk Kak Ansel.” “....” Ansel masih diam. “Kak Ansel suka yang polos atau ada karakternya? Teman-teman Poni di kelas ada yang suka karakter seperti Hello Kitty, tokoh hero atau kartun. Kak Ansel suka yang seperti apa?” Poni memajukan tubuhnya menghadap Ansel membuat pria itu menatapnya dengan tatapan aneh. “Ayo Kak Ansel jawab! Setidaknya keluarkan beberapa kata untuk Poni. Tidak sopan jika ada yang bertanya dan tidak dijawab...” “Bicara lagi aku akan menurunimu di sini.” Ucapan dingin dari pria itu membuat Poni sedikit bergidik. Poni segera duduk di kursinya dengan benar dan menutup mulutnya seperti anak yang patuh. Ia takut Kak Ansel benar-benar akan menurunkannya di tepi jalan. Dan satu jam kemudian, mobil mereka berhenti di depan kawasan penuh rumput. Ansel mengetuk setir kemudinya dengan perlahan membawa aura kesuraman. Aura tersebut sampai kepada Poni yang berada di sebelahnya. Ia menatap Poni di sampingnya dengan dingin seolah meminta penjelasan. Apakah temannya itu tinggal di atas rumput tanpa atap? Poni yang mencoba untuk tidak takut dengan aura bahaya yang dikeluarkan Ansel segera bersuara, “Astaga... sepertinya Poni lupa rumah baru Bella. Bella baru saja pindah di sana.” “Telpon dia sekarang.” Ansel memijit pelipisnya setelah menghembuskan nafas dalam. “Oke.” Poni mengambil ponselnya lalu melirik Ansel dengan takut-takut. “Poni baru ingat jika ponsel Poni kehabisan baterai...” Menghela nafas kembali, Ansel melemparkan ponselnya kepada Poni yang dengan sigap mengambilnya. Poni segera memasukkan nomor Bella di sana lalu menghubunginya. Untung saja Poni sangat hapal nomor Bella. Hanya menunggu beberapa saat, Bella sudah mengangkatnya. “Halo?” “Bella, ini Poni.” “Poni? Kau memiliki nomor baru? Apa perlu aku menghapus nomor lamamu?” Bella bertanya. “Aku akan jelaskan nanti. Tolong katakan alamat rumahmu, Bella. Aku lupa rumah barumu.” “Kau bercanda? Apa kepalamu baru saja terbentur? Rumah baru yang mana, Poni??? Aku sudah tinggal di sini semenjak aku pandai merangkak— Tunggu, apakah ini nomor Kak Ansel?” “Oke.” Poni melirik Kak Ansel di sebelahnya. Lalu menjabarkan alamat Bella. “Nomor berapa rumahmu?” “29J. Ada gambar wajah Mikhayla Symphony di halamannya.” Bella memutar matanya. “Rumah Bella nomor 11C kak. Yang warnanya kuning.” Poni kembali berkata kepada Ansel sebelum kembali pada Bella. “Aku akan segera sampai. Bye!” Poni mengembalikan ponsel Ansel dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. “Terima kasih, Kak Ansel.” Ansel hanya mengambil ponselnya lalu memasukkan ke dalam saku jaketnya. Mereka tiba di rumah Bella setelah memakan waktu setengah jam dari tempat sebelumnya. Senang? Tentu saja Poni sangat senang! Mereka akhirnya memiliki waktu lebih banyak dari biasanya. Hahaha... Poni sangat ingin tertawa tidak hanya dalam hati saja. “Kak Ansel harus jemput Poni ya! Oh atau begini saja, Kak Ansel ikut masuk ke dalam dan menunggu di dalam sampai Poni selesai kerja kelompok. Poni tidak akan lama kok, hanya sekitar 2 jam saja.” “Hei—” Belum sempat Ansel menolak, Poni segera memotongnya sangat cepat. “Hari mulai gelap, mana mungkin Poni pulang sendirian. Kata Bella, kawasan di sini sering terjadi kasus orang hilang. Terus, Poni—” “Dua jam kemudian aku akan menjemputmu.” Ansel memotongnya dengan tidak sabar membuat Poni mengangguk antusias. Wajahnya terlihat senang. “Oke. Kotak bekalnya Poni simpan di sini dulu ya, Kak. Sampai jumpa 2 jam lagi, Kak Ansel! Bye bye!” Poni memberikan ciuman jauh dengan tangannya, sebelum keluar dari mobil dengan berlari kecil. Ansel terdiam beberapa detik dengan tatapan datar. Apakah barusan ia memberikan kecupan jauh untuknya? Ansel melihat Poni dari dalam mobil. Wanita itu melambaikan tangannya dengan sangat antusias dan sama sekali tidak berniat untuk menghentikan lambaiannya membuat Ansel menggelengkan kepalanya. Ia ingin sekali mengerjai gadis mungil itu dengan menunggu lebih lama lagi di sini supaya lengannya kelelahan. Tapi ia mengingat satu hal, dia memiliki janji. Ia segera meninggalkan halaman rumah teman Poni. Setelah melihat mobil Ansel menghilang dari pandangannya, barulah Poni meletakkan tanganya ke samping tubuhnya. “Rumah baru?” Poni berbalik melihat Bella yang menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Poni menyeringai dan merangkul lengan sahabatnya yang cantik itu. Mereka masuk ke dalam rumah Bella beriringan. “Well, welcome to my new house, Mikhayla Symphony.” Poni hanya bisa tertawa mendengar ucapan sarkastik dari sahabatnya. “Kau tidak menghapus nomor Kak Ansel, kan?” “Aku menghapusnya.” “Bella!” teriak Poni dengan wajah seolah baru saja kehilangan uang 1 triliun dollar tepat di telinga Bella membuat Bella sedikit menjauh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN