FFY | S1 - Chapter 3

1187 Kata
Saat pelajaran di mulai, Poni tidak terlalu memperhatikan pelajaran dengan sungguh-sungguh. Bagaimana tidak? Jika teman sebelahnya, Bella sedang menggoda dia lewat tatapan matanya. Poni mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya ada apa. Sedangkan Bella hanya mendenguskan tawa pelan. “Apa?” Poni berbisik. “Aku melihatmu memberikan kotak cokelat ke Kak Ansel tadi.” Bukannya malu-malu, Poni menjadi berbinar dengan senyum lebar. “Kau lihat, kan? Kak Ansel menerima cokelatku!” “Oh, please, Mikhayla Shymphony. Kau yang memaksa dia menerima cokelatmu!” Jawab Bella ikut berbisik sambil terkikik. “Intinya Kak Ansel sudah mengambil cokelatku. Aku yakin saat ini dia sedang memegang kotaknya dengan posesif. Dia pasti tidak mau membagikannya dengan orang lain. Pulang ke rumah, dia akan menjadikannya kenangan dengan mengabadikannya melalui ponsel miliknya sebelum memakan hingga habis— Eh, tidak. Kak Ansel tidak akan memakannya karena merasa cokelatnya terlalu lucu. Jadi, ia akan menyimpannya—” “Hingga berjamur kemudian kak Ansel berikan ke tikus untuk dimakan.” Bella memotongnya dengan datar membuat Poni mencubit pelan pinggang Bella hingga mengadu kesakitan. “Ouch, Poni!” Guru yang sedang menulis di papan tulis segera berbalik dan melempari tatapan tajam ke bangku mereka. Poni dan Bella refleks pura-pura menulis dengan sikap normal. Ketika guru kembali menulis di papan tulis, Poni segera memberikan tatapan tajam ke arah Bella. “Jujur saja, aku lihat Kak Ansel tidak suka dengan sikapmu tadi pagi.” Bella kembali berbisik. “Kak Ansel bukannya tidak suka. Dia hanya—” Sebuah spidol mendarat di meja Poni dan Bella membuat mereka terdiam. “Kalian bisa berbicara di luar.” Mereka mendadak diam tidak bersuara lagi. Poni menulis di belakang bukunya cukup lama lalu menyerahkan kepada Bella. ‘Dia hanya butuh proses untuk terbiasa dengan keberadaanku.’ Membacanya beberapa detik, kemudian Bella ikut menulis di bukunya lalu menyerahkan kepada Poni. ‘But, he doesn't love u.’ Poni terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya sebelum berbisik di telinga Bella. Secara bertahap Bella membesarkan mata dan mulutnya menatap Poni tak percaya. Mulutnya bergerak berkata ‘Seriously?’ tanpa suara. Sedangkan Poni hanya menyeringai dengan kerlingan sebelah matanya. *** “Kak Ansel!” Ansel yang baru saja masuk ke mobilnya segera berhenti saat mendengar suara yang familiar. Dia bahkan mulai terbiasa dengan suara itu. “Kak Ansel mau pulang? Poni juga mau pulang. Kak Ansel bisa antar Poni pulang kan?” Tanpa malu-malu Poni bertanya. Sebelum Ansel menjawabnya, Poni sudah masuk ke kursi di samping pengemudi. Ansel terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepalanya pelan. Ia masuk ke mobil dan menyalakan mesinnya. “Bagaimana kak cokelat buatan Poni? Kak Ansel suka? Mau Poni buatkan lagi?” “Di mana?” Poni memiringkan kepalanya bingung. Apanya yang di mana? “Rumah kamu di mana?” “Oh!” Poni menepuk dahinya dan tertawa. Ia menjelaskan alamatnya sangat rinci serinci-rincinya. “Poni punya adik laki-laki namanya Nathaniel. Di apartemen, kami tinggal dengan orang tua. Papa Poni seorang Jenderal. Sedangkan Mama Poni membuka kelas memasak, studionya tidak jauh dari apartemen kami. Jadi, kalau Poni ingin belajar masak, Poni hanya perlu jalan kaki beberapa menit.” Melihat kepasifan Ansel yang menatap lurus ke depan membuat Poni memutar otaknya mencari bahan pembicaraan. “Oh iya, rumah Kak Ansel di mana? Kapan-kapan Poni akan ke rumah Kak Ansel!” Mobil berhenti seketika. Awalnya Poni menatap Ansel dengan bingung. Apakah dia baru saja melakukan kesalahan? Tapi siapa yang tahu jika mereka sudah sampai di tujuan? Poni menatap apartemen di depannya dengan kecewa. Kenapa harus begitu cepat?! Ansel menoleh dalam diam. Namun Poni tahu dia menunggu Poni untuk segera turun. “Kak Ansel, bisa temani Poni sampai ke depan pintu unit Poni? Poni masih belum bisa beradaptasi dengan area apartemen. Biasanya, Pak Jal, sopir yang menjemput Poni, terus Pak Jal pasti menemani Poni sampai ke pintu unit apartemen.” Poni menggigit bibir bawahnya menunggu tanggapan Ansel. Beberapa saat menunggu dengan tidak sabaran, suara helaan nafas dan pintu terbuka membuat Poni bahagia. Poni duduk manis di kursinya dengan kedua tangan ia letakkan di atas pahanya yang dibaluti rok sekolah. Ia bahkan menyampirkan rambutnya ke belakang telinga dan menunggu Ansel untuk membukakan pintu untuknya. Tapi apa yang ia tunggu tidak terjadi. Bahkan kesabaran Ansel ada batasnya. Pria itu mengetuk kaca mobil di sebelah Poni dan menyuruhnya keluar sendiri dengan gerakan jarinya. Poni mendengus kesal dalam hati walau tetap tersenyum. Mau tidak mau ia membuka pintu dan berjalan bersama Ansel beriringan. Karena Ansel berjalan cukup cepat, Poni harus berlari kecil supaya bisa mengikuti langkah kaki pria itu. Sesampainya di dalam elevator, Poni kembali bertanya, “Kak Ansel belum menjawab pertanyaan Poni, lho!” Ansel meliriknya sekilas sebelum kembali menatap ke pintu elevator. Seolah tidak peka dengan kepasifan Ansel, Poni segera bersuara, “Rumah Kak Ansel di mana? Ayo beritahu Poni! Nanti Poni main ke rumah Kak Ansel, bawa makanan buatan Poni. Papa bilang masakan Poni sangat enak. Kak Ansel pasti suka—” “Di sini juga,” potong Ansel singkat. Poni mendadak membisu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menatap pria di sebelahnya dengan pandangan tak terbaca. ‘Di sini juga...’ Detik berikutnya Poni menjerit hingga Ansel harus bergeser selangkah. “Kyyaaaaaa!” Seakan tahu jika dirinya membuat masalah, Poni segera menutup mulutnya. Ia berdeham dan mencoba mengontrol emosinya yang terlalu semangat. “Kak Ansel, ini yang namanya takdir! Kita tinggal di satu atap!” Pintu elevator terbuka tepat saat Ansel menatap Poni dengan aneh sekaligus kaget. Jika mereka berdua dikatakan memiliki takdir, bukankah dia juga ditakdirkan bersama dengan seluruh penghuni apartemen ini? Ansel keluar dan Poni segera menyusulnya. “Nah, kita sudah sampai Kak!” Poni berdiri di depan pintunya. “Kak Ansel mau masuk dulu? Kebetulan di jam-jam ini apartemen Poni sedang sepi...” Senyum Poni mendadak membeku. Tunggu... Ada yang aneh dengan perkataan terakhirnya. Dia mengerjapkan matanya dan menjelaskan dengan terbata-bata. “Ah, maksud Poni... Itu... Papa tidak ada di rumah jadi Kak Ansel tidak perlu takut mau melakukan apapun di dalam—” Aduh! Poni membatin. Poni menggigit bibirnya merutuki kebodohannya. Bukan seperti itu maksudnya! Papanya terkenal tegas dengan wajah garang. Ia takut jika Ansel akan tidak nyaman. Sedangkan Mamanya sangat suka berbicara sampai lupa waktu, ia takut jika Ansel akan merasa bosan berbicara dengan ibunya sepanjang waktu. Dalam pergulatan batin, Poni bisa mendengar suara tawa pelan walau hanya sedetik yang lalu. Saat ia mendongak, Poni hanya bisa melihat wajah datar Ansel. Apakah dia baru saja berhalusinasi? Tanpa sadar Poni memiringkan kepalanya karena berpikir. “Aku akan kembali ke tempatku. Masuklah.” Poni mengangguk tanpa sadar masih termenung. “Baik.” Poni masuk dengan tatapan kosong masih memikirkan suara tawa yang ia dengar. Sungguh, Poni mendengarnya. Itu bukan halusinasi. Poni percaya itu. “Kau sudah pulang?” Poni menoleh di mana Nathaniel berdiri dengan botol minuman di tangannya. “Ada apa dengan wajahmu itu?” Nathaniel mengerutkan dahi namun Poni tidak menanggapinya. Beberapa menit berlalu barulah Poni tersadar. Ia membesarkan matanya melupakan sesuatu. Apartemen Kak Ansel unit berapa?! “YA TUHAN, AKU LUPA!!!” Pekik Poni membuat Nathaniel refleks melompat dari tempat berdiri. Dan air dalam botol itu tumpah sedikit ke pakaian Nathaniel. Dengan berang, Nathaniel menatap kakaknya. “PONIII!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN