FFY | S1 - Chapter 6

1156 Kata
“Anak pertama mereka, Aldevaro, dia sudah menjadi CEO di Völker Group yang berada di Indonesia. Sedangkan Ansel seperti yang kita tahu dia masih menjadi kakak kelas kita yang sangat tampan.” Bella melanjutkan ucapannya sendiri. Poni memasukkan banyak keripik ke mulut Bella dengan kesal. Tidak ada yang boleh memuji kak Ansel-nya selain dia, OK?! Bella tertawa sebentar sebelum melanjutkan materinya. “Mereka berdua terlihat sangat bertolak belakang. Aldevaro terlihat sangat ramah dan mudah didekati sedangkan Ansel terlihat dingin, tidak bisa disentuh. Tante Ratna pernah berkata jika dari luar keluarga Völker memang terlihat harmonis, namun yang terjadi sebenarnya keluarga itu sedang perang dingin.” “Kenapa?” tanya Poni cepat. Dia mulai penasaran dengan keluarga Ansel. “Ada yang bilang Ansel bertengkar dengan orang tuanya maka dari itu ia melarikan diri dari kediaman Völker. Tapi rumor itu sudah dibuang jauh karena Ansel rutin pulang ke kediaman Völker seminggu sekali. Namun, tetap saja ada yang salah dengan mereka.” Poni mengerutkan dahi. “Apanya yang salah?” “Setiap pulang ke rumah, Ansel tidak pernah menginap.” *** Malamnya, Poni duduk termenung di meja belajar. Dia masih memikirkan tentang kak Ansel dan keluarga pria itu. Dia masih bertanya-tanya apakah benar jika kak Ansel sedang perang dingin dengan keluarganya? Apakah itu yang menyebabkan pria itu terlihat dingin tanpa emosi? Poni menyalakan ponselnya dan mencari foto kak Ansel yang ia ambil diam-diam di sekolah. Cukup menatap wajahnya saja sudah bisa membuat Poni bahagia. Melihat wajah Ansel tiap detik tidak pernah membuatnya bosan sama sekali. Jika Poni disuruh untuk menatap foto Ansel seharian, dia pasti akan betah. Tiba-tiba saja sebuah pikiran melintas dibenaknya. Andaikan saja ia memiliki kontak Ansel... Poni pasti segera menghubunginya sekarang juga. Melihat hujan di jendela kamarnya, Poni hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dia mendesah. *** Hari Senin datang cukup lama bagi Poni. Pagi-pagi sekali ia sudah menunggu di tempat parkir bawah tanah gedung apartemen tapi tidak melihat mobil hitam milik Ansel. Apakah dia sudah pergi? Poni mendengus sebal. Padahal dia sudah bangun sangat awal hari ini supaya bisa pergi ke sekolah bersama Ansel. Dia bahkan telah memasak untuk makan siang Ansel. Jika hasilnya seperti ini, seharusnya dia menyuruh Pak Jal mengantarnya ke sekolah. Nah sekarang, Pak Jal sudah di jalan mengantar adiknya, Nathaniel. Jadi, siapa yang bisa mengantarnya ke sekolah sekarang?! Poni menyalakan ponselnya dan menghubungi Bella. Ia berharap Bella belum berangkat ke sekolah. “What?” “Kau bisa menjemputku, Bel?” tanya Poni. “Pak Jal libur?” Poni terkekeh. “Pak Jal sudah pergi mengantar Nath ke sekolah.” “Lalu kenapa tidak pergi bersama seperti biasa— Oh no way... Jangan bilang kau memiliki niat untuk pergi bersama kak Ansel tapi dia sudah pergi duluan.” Tidak menunggu jawaban dari Poni yang dia sudah tahu jawabannya, Bella tertawa terbahak-bahak di seberang telepon membuat Poni mendengus. “Jadi, bisa jemput aku atau tidak?!” tanya Poni tidak sabaran karena Bella berhasil menebaknya tanpa Poni suruh. “On my way, Girl.” *** Ketika Poni masuk ke dalam mobil Bella, dia disambut tawa membahana milik Bella. Gadis cantik itu masih menertawakannya. Poni segera menatapnya tajam. “Apa itu?” tanya Bella yang melirik tas bekal di tangan Poni. “Makan siang untuk kak Ansel.” “Makan siang untuk kak Ansel.” Bella mengulangi perkataan Poni dengan main-main membuat Poni mencubit pinggangnya. Bella mengeluh kesakitan membuat Poni berhenti mencubitnya. “Apa kau yakin dia akan memakannya?” “Kau saja selalu menghabisi masakan buatanku apalagi kak Ansel.” Poni menggerutu. Poni sering membuat hidangan sederhana atau cookies untuk mereka berdua, dan Bella selalu memujinya akan kelihaiannya dalam memasak. Bella mengangguk setuju. “Iya, aku menghabisinya tanpa tersisa! Mamaku saja mengatakan bahwa masakanmu sangatlah lezat. Poni, walaupun kau terlambat dalam pelajaran sekolah, tapi kau sangat berbakat dalam memasak. Aku sangat bangga padamu.” Mendapat peringkat ketiga di sekolahnya saat masih menjadi siswa SMP apakah tergolong orang yang terlambat dalam hal pelajaran? Poni menatapnya dengan datar. Ingin sekali ia memukul temannya yang cantik ini. “Aku yakin siang ini kak Ansel pasti menghabiskannya dan ingin aku memberikannya lagi besok hari.” Poni berkata dengan percaya diri membuat Bella memutar kedua bola matanya. “Ya, ya, ya.” Setelah itu mereka berdua saling menatap kemudian detik berikutnya mereka tertawa terbahak-bahak. Mobil berhenti tepat di depan sekolah mereka. Sebelum turun, Bella sudah berpesan ke sopirnya untuk tidak terlambat menjemputnya. Kemudian mereka berjalan beriringan. Tepat di lorong kelas, mereka mulai berjalan ke lokasi yang berbeda. Bella menuju ke kelas mereka sementara Poni pergi ke kelas Ansel yang berlawanan arah dengan kelasnya. Baru saja Poni hendak masuk ke kelas Ansel, seorang wanita berambut bergelombang sudah menghadangnya tepat di depan pintu. Poni menatap orang didepannya dengan datar. “Sepertinya ada yang tersesat. Ini kelas 12 bukan kelas 10, Dik.” Violet menatapnya dengan angkuh. Kepalanya diangkat setinggi yang ia bisa. Poni tersenyum. “Aku tahu. Aku hanya ingin bertemu kak Ansel.” Violet mendengus dengan tangan disilang di depan dadanya yang membuat Poni bertanya-tanya, apakah gadis di depannya ini melakukan operasi implan untuk payudaranya? Gadis itu berjalan maju secara perlahan membuat Poni sedikit mundur. Dia menatap Poni dengan tajam. “Dengar, ini adalah daerah kekuasaanku. Kau tidak diperbolehkan untuk datang kemari. Jika ingin mendekati Ansel, lawan dulu aku.” Senyum ramah Poni segera lenyap. Poni mendongak dengan tenang. Ia menatap Violet dan kedua temannya dengan pandangan meremehkan. Apa katanya tadi? Lawan dia dulu? Mereka pikir Poni tidak bisa melawan mereka? Dengan senyum manis, Poni berkata, “OK!” Detik berikutnya Poni berjalan cepat dan menyenggol bahu violet dengan kasar. Membuat Violet dengan teman-temannya terdiam kaget. Sedangkan Poni sudah masuk ke kelas dan mendekati meja Ansel. “Kak Ansel!” Semua siswa yang ada di sana refleks menoleh ke arah Poni. Banyak yang berbisik memuji penampilan Poni yang cantik dengan senyum malaikatnya. Banyak juga yang menginginkan Poni untuk menjadi pacarnya. Bahkan ada yang menggoda Poni secara langsung dengan memanggilnya terus menerus. Poni yang matanya hanya tertuju pada Ansel tidak mempedulikan mereka semua. Ia hanya berjalan mantap menuju meja Ansel. Sampai di meja Ansel, Poni segera meletakkan tas bekal yang ia pegang dari tadi di meja Ansel. Tentu saja Ansel terlihat kebingungan walau tidak bersuara. Maka, Poni segera menjelaskan isi kantong tersebut. “Poni masak ini pagi-pagi sekali. Kak Ansel jangan lupa ya makan saat istirahat siang. Harus habis! Nanti Poni ambil tempat bekalnya. Poni kembali ke kelas dulu ya, Kak. Sampai jumpa!” Poni berkata dengan satu tarikan napas dan tidak membiarkan Ansel untuk menghentikannya. Jika ia memberi sedikit saja ruang untuk Ansel bersuara, dia akan selesai. Bagaimana jika Ansel menolak makanannya? Bukankah dia akan sedih? Bukan hanya sedih, dia akan patah hati dan menangis seharian di dalam kamarnya. Setelah melambaikan tangannya, Poni segera keluar dan berlari ke kelasnya dengan senyum bahagia. Violet yang baru saja lepas dari sentakan yang tiba-tiba segera menatap Poni yang melewatinya begitu saja. Violet berteriak seperti nenek sihir di belakang Poni namun tidak ia hiraukan sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN