BAB 17 - Rencana

1161 Kata
“Pagi Windy.” Pak Rahmad masuk ke ruanganku. “Pagi pak Rahmad, tumben bapak datang ke sini?” “Jadi pak Irfan belum memberitahu Windy kalau saya akan menggantikan pak Irfan mengurus proyek Agam dan Proyek Pariaman.” Ucapan pak Rahmad  membuatku dan Vivi terkejut. “Maksud pak Rahmad?” Vivi lebih dahulu bertanya. “Jadi kalian berdua belum diberitahu kalau pak Irfan besok akan pindah ke kantor cabang Pekanbaru.” “Pak Irfan pindah? Maaf pak, pak Irfan tidak memberitahukan apapun kepada Windy. Kemarin Windy masih memberikan laporan Back Up Data dan pak Irfan masih menerimanya.” “Iya, mungkin beliau belum sempat memberitahu Windy. Nanti kak Sonia akan menggantikan Posisi sebagai General Superintendent secara administrasi.” “Iya pak, baiklah.” “Bapak harap kita bisa bekerja sama, Windy.” “Tentu.” “Kak, kok tiba-tiba sekali pak Irfan pindah ya? Bukankah dulu beliau pernah menolak untuk dipindahkan?” Vivi menatapku dengan penuh tanda tanya. “Kakak juga heran Vi, kemarin sore kakak menghampiri pak Irfan yang hendak meninggalkan gedung ini. Tapi sikapnya masih nggak baik ke kakak.” “Kak, maaf, kali ini Vi serius. Kakak belum memiliki hubungan apa-apakan dengan pak Irfan? Maksud Vivi apakah kakak punya pacar gitu kak.” Pertanyaan Vivi malah semakin membuatku bingung. “Maksud Vivi?” “Gini kak, sudah menjadi rahasia umum di kantor ini kalau pak Irfan itu memiliki perasaan ke kakak. Dari caranya bicara, caranya menatap dan bersikap semua tampak sangat jelas.” “Tapi bukannya pak Irfan begitu ya ke semua orang?” “Kakak jangan terlalu naif kak. Nggak mungkin kakak gak merasakannya.” “Terus apa hubungannya dengan kepindahan pak Irfan?” “Mungkin kakak udah bikin pak Irfan cemburu?” pak Irfan pagi itu memang melihatku sedang menerima panggilan vidio, tapi aku rasa tidak mungkin pak Irfan sekanak-kanak itu hingga pindah kerja. “Kak rasa tidak ada hubungannya dengan kak, lagi pula kak belum punya pacar atau calon suami. Masih jomblo,hahaha.” Aku berusaha mencairkan suasana. Aku meraih ponsel yang berada di atas meja kerja. Aku cari nama pak Irfan dan aku coba menghubunginya. Namun Nihil, panggilan itu tidak diangkat. Kemudian aku mengiriminya pesan w******p. “[Assalamu’alaikum pak, bagaimana kabar bapak? Benarkah bapak akan pindah ke kantor cabang besok?]” lagi, pesanku diabaikan oleh pak Irfan. - - - - - Selepas Zuhur, aku mendengar ada bunyi pesan masuk dari ponselku. Aku berharap itu balasan dari pak Irfan. Namun ternyata bukan, itu pesan dari mbak Nurul. “[Assalamu’alaikum Windy, bagaimana kabar Windy?]” “[Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah Windy baik mbak. Ada apa?]” “[Boleh mbak menelepon Windy sebentar?]” “[Boleh mbak]” Tak berselang lama ponselku pun kembali berdering. “Halo windy, maaf kalau mbak menganggu.” “Enggak koq mbak, ada apa?” “Mengenai permintaan mbak waktu itu. Windy tidak berubah pikirankan?” Aku tersentak mendengar perkataan mbak Nurul. “Maaf, Windy pikir mbak yang berubah pikiran.” “Mbak butuh waktu untuk membicarakan semuanya kepada keluarga mbak, keluarga mas Putra dan kepada mas Putra sendiri.” “Lalu bagaimana tanggapan mereka?” “Alhamdulillah, mereka sudah setuju Ndy. Windy, mbak merasa sangat sekarat. d**a mbak sekarang sering sakit. Mbak ingin Windy secepatnya bisa menikah dengan mas Putra.” “Windy belum memberitahu apa pun kepada keluarga Windy, Mbak.” “Apakah terlalu cepat kalau minggu depan dilangsungkan pernikahan itu Ndy? Windy masih punya waktu tiga hari untuk memeritahukan keluarga Windy. Itu juga kalau Windy tidak keberatan. Sebab mbak sangat takut kalau sewaktu-waktu mbak meninggal.” Suara mbak Nurul terdengar bergetar “Apa yang mbak katakan? Jangan berkata seperti itu.” Tanpa sadar tetesen bening keluar dari retinaku. “Mbak Serius Ndy. Sakit di d**a mbak sekarang sangat luar biasa. Tapi maaf, apakah Windy keberatan melangsungkan pernikahan Siri terlebih dahulu? Sebab mengurus surat-surat itu memakan waktu yang lama.” “Bismillah mbak, demi mbak Nurul. Insyaa Allah Windy bersedia.” Entah magnet apa yang ada pada diri mbak Nurul sehingga aku tidak mampu menolak permintaannya. Aku merasa kasihan terhadapnya. Namun aku juga ingin segera melepas status jandaku ini. Biarkanlah aku jadi istri ke dua, asalkan tidak ada lagi yang merendahkan statusku. Lagi pula jadi istri kedua bukanlah sesuatu yang hina. Karena aku bukan pelakor bukan? - - - - - Sore ini aku berencana menemui mantan mertuaku, orang tua mendiang bang Dika. Mereka berdua sudah kuanggap seperti orang tua kandungku sendiri. Sepantasnya aku menemui mereka untuk memberitahukan perihal rencana pernikahanku. Setelah itu aku akan menemui saudara-saudaraku dan keluarga inti lainnya. Aku sengaja tidak pulang dulu kerumah, karena jika membawa Langit dan Mentari, maka akan memakan waktu lama di sana. “Assalamu’alaikum Ma.” Aku menyapa dari pintu rumah. “Wa’alaikumussalam, masuk nak. Kenapa sendirian saja? Mana Mentari dan Langit.” Mama menyambutku dengan senyum merekah. “Windy tadi dari kantor langsung ke sini, sebab ada seuatu yang penting yang ingin Windy sampaikan.” “Tentang apa?” “Kita bicarakan di dalam saja ya ma.” “Baiklah ... Silahkan, Nak.” “Begini ma, Windy berencana hendak menikah lagi.” Aku menghela napas sebentar dan terdiam menunggu reaksi mama. “Dengan siapa?” “Dengan suami teman Windy Ma.” “Apa? Maksud Windy, Windy merebut suami orang?” Mama kaget dan tersentak. Warna mukanya juga berubah seketika. “Bukan ma, Windy tidak akan semurah itu merebut suami orang. Apalagi suami teman sendiri.” Aku berusaha menjelaskan. “Tadi kata Windy?” “Mbak Nurul, teman satu ngaji Windy. Beliau sedang sakit parah, kanker hati stadium 4. Beliau meminta Windy untuk bersedia menikah dengan suaminya agar kelak bisa menjaga suami dan putrinya semata wayangnya.” “Terus Windy bersedia begitu saja? Apa Windy sudah kenal dengan laki-laki itu? Apa keluarga mereka tau?” “Windy tidak mampu menolak permintaan mbak Nurul. Waktu itu beliau bahkan mengeluarkan darah segar melalui batuknya. Keluarga suami mbak Nurul dan keluarga mbak Nurul sudah menyetujui rencana itu.” Mama terlihat menghela napas panjang. “Insyaa Allah bang Putra itu baik ma. Dia juga sangat mapan. Windy yakin bang Putra akan jadi ayah yang baik untuk Langit dan Mentari.” Mama kemudian mengelus pipiku dengan sangat lembut. “Mama hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Windy. Setelah apa yang terjadi pada Windy waktu bersama Anto. Alangkah baiknya kalau windy cepat melepas status janda. Mama percaya dengan keputusan Windy. Jadi kapan Windy akan menikah?” “Minggu Depan ma.” “Cepat sekali.” “Iya, mbak Nurul bilang kondisinya sudah sangat parah. Dia sering merasakan sakit di dadanya.” “Baiklah, Insyaa Allah mama dan papa akan datang kepernikahan Windy.” “Terimakasih, Ma.” Aku memeluk mama dengan sangat sayang. Hari ini aku belum bisa memberitahukan semuanya kepada Langit, Mentari, Dian maupun Rian karena ada beberapa hal yang harus aku bicarakan dengan mbak Nurul. Aku berharap keputusan ini tidaklah salah. Terlebih aku sudah tidak punya harapan lagi untuk meraih hati dan memiliki pak Irfan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN