BAB 5 Berani Atau Bodoh? (1)

1114 Kata
Milena terbang semakin menjauh dari posisi Alfred. Tekadnya benar-benar sudah bulat, ia tak akan berhenti sampai mendapatkan cermin itu bagaimanapun juga. Peringatan resmi sudah dikeluarkan oleh pihak kerajaan, itu artinya desa peri dan sekitarnya akan diberi perlindungan ekstra. Keluar masuk akan menjadi hal yang sangat sulit dan ketat. Penjaga akan bertebaran di mana-mana di sepanjang jalan utama, akan sangat susah baginya untuk keluar jika ia tak sesegera mungkin mencapai ke sana. Ia melaju kecepatannya dan singgah sebentar di sarang miliknya; berjalan memasuki rumah pohonnya dan menarik sesuatu dari bawah tempat tidurnya yang memiliki debu cukup tebal. Milena sangat malas, tidak heran ia tidak masuk dalam peri pekerja mana pun—hak istimewanya yang setara bangsawan peri itulah yang sangat disombongkannya hingga saat ini, dia bisa berbuat apa saja dengan gelar itu. Tak ada yang bisa protes jika ia tak masuk dalam grup peri pekerja mana pun, meski mereka menggerutu karena ia selalu mendapat jatah gratis semaunya. Bagi mereka, tindakan membiarkan Milena menikmati hasil jerih payah mereka seolah-olah mereka melayani Iblis pengganggu. Itu membuat mereka kesal dan marah hingga tak bisa berkata apa-apa. Sesuatu yang ditariknya itu berupa tas ransel usang dengan berbagai jahitan di sana-sini. Tambalan hampir memenuhi semua bagian ransel itu, atau memang ransel itu terbuat dari berbagai macam tambalan yang dijahit satu persatu hingga membentuk sebuah ransel. "Baiklah! Peringatan pertama biasanya berlaku tiga hari, aku harus bisa mendapat cermin itu dalam tiga hari!" Katanya pada diri sendiri, ia membuka lemari pakaian dan meraih satu potong pakaian dan sebuah kotak P3K untuk peri—Itu adalah persediaan terakhirnya, P3K peri adalah barang-barang langka, sulit sekali meracik obat-obatan itu. Lalu ia merogoh lebih dalam lagi, terlihat beberapa kantong-kantong kain kecil dengan warna yang berbeda-beda. Semuanya ada tujuh. "Trik penyelamatan diri. Aku tak bodoh, Alfred!" Milena nyengir sendirian. Ia bergegas keluar sambil bersiul keras. Tiba-tiba dedaunan berjatuhan dari atas pohon. Seekor tupai dengan sikap siap muncul di salah satu cabang di depannya. Ia melihat Milena dengan waspada. "Aku butuh perbekalan, tupai gendut. Kau tahu? Seperti ini!" Milena memperagakan seolah-olah ia sedang makan, tupai itu kelihatan tidak terlalu bodoh, ia lalu berlari lagi ke atas, dan segera muncul dengan sebuah biji kenari. Ia menggigitnya dan menggigitnya lagi hingga isinya terbagi dua bagian, kemudian mengarahkannya pada Milena. "Tidak. Tidak. Tidak." Milena menggeleng seraya berkacak pinggang. " Aku butuh sesuatu yang mudah di bawah, kau tahu... Almond! Apa kau punya almond?" Milena terbang mendekat, makhluk kecil berbulu itu tampak terkejut. Rupanya ia adalah tupai yang dulunya Milena kira sebagai tersangka yang melemparinya buah arbei, karena tak ingin mengalami peristiwa menakutkan kedua kalinya tupai malang itu bersedia menjadi budaknya. Sungguh malang nasibnya. "Bawakan aku almond! Cepat! Aku buru-buru!" Ia melipat tangan di d**a, alisnya naik sebelah. Tupai malang itu tampak linglung. Ia bergegas lari ke atas, lalu memperlihatkan Milena sebutir anggur, Milena menggeleng. Lalu tupai itu memperlihatkan lagi sebuah pecan padanya, dan kembali disambut dengan gelengan kepala. "Almond, tupai bodoh!" bentaknya marah. Ia terbang mendekat. Sang tupai mencicit ketakutan. "Minggir! Biar aku yang cari!" Ia mendarat di dalam sarang sang tupai, persediaan makanannya sudah terkuras separuh, sisanya ada di rumah pohon Milena—yah, bukan Milena namanya jika ia tak balas dendam. "Persediaan yang kuambil dulu rata-rata berukuran besar, sangat tidak menguntungkan untuk di bawa. Mari kita lihat apa yang ada di sini." Milena mengelus-elus dagunya, sebelah matanya ditutup. "Terakhir kali aku kesini, masih ada beberapa biji-bijian ukuran kecil. Kemana mereka? Tak mungkin habis dalam sekejap, bukan?" Ia melirik tajam pada si tupai yang kini tampak pucat pasi, Milena memeriksa ruangan dengan cepat, lalu matanya berbinar saat melihat ada sebuah lubang yang tertutupi biji kenari besar—seolah-olah di sana tak ada apa-apa kecuali hanya seonggok biji kenari. Peri cantik itu mulai menggesernya, makhluk kecil berbulu itu hanya bisa kembali mencicit tak berdaya. Milena mendesis, menunjukkan wajah seramnya. Tupai malang itu meringkuk ketakutan di sudut sarangnya, mengintip melalui sela-sela jari. Milena kini tersenyum puas. "Akhirnya! Kau licik, tupai gendut! Aku bilang almond, dan kau pura-pura tak tahu! Aku akan membiarkanmu lepas kali ini. Aku sibuk, kau sungguh beruntung." katanya enteng, ia meraih dua biji almond ukuran sedang di dalam lubang dan memasukkannya ke dalam ransel yang sudah penuh dengan beberapa barang tadi. Tupai itu gemetar ketakutan, dengan sikap takut-takut ia meraih pisang di sampingnya dan mengulurkannya pada Milena, seolah-olah permintaan maaf padanya. "Oh! Kau tahu cara menjilat, hah? Maaf! Aku tak bisa menerimanya, peri memang sangat suka pisang, tapi saat ini aku butuh sesuatu yang mudah untuk dibawa kemana-mana." Milena berjalan menuju tupai itu, mengangkat tangannya di udara. Si tupai memejamkan mata, gemetar ketakutan—ia mengira Milena akan memukulnya atau mencabuti bulunya. Alih-alih hal-hal mengerikan yang dibayangkan oleh si tupai tadi, Milena malah mengelusnya dengan lembut dan berkata dengan nada bersahabat. "Aku akan kembali secepatnya. Aku sudah tak sabar ingin mendapatkan cermin itu." Matanya berubah sendu, senyum manis terpasang di wajahnya. Tupai itu perlahan membuka matanya dengan perasaan lega, lalu bergidik saat melihat senyum manis Milena berubah menjadi cengiran mengerikan. Sang peri meninggalkan tupai itu yang kini menatap kepergiannya dengan penuh tanda tanya, ia tak mengerti dengan peri satu itu. Kadang ia terlihat jahat, namun tanpa disadari atau tidak, ia memperlihatkan kebaikannya. Kepalanya dimiringkan, bingung, ia meraih pisang tadi, mengulitinya, kemudian memakannya perlahan dengan benak masih penuh tanda tanya. Milena mengepakkan sayapnya secepat mungkin. Penjaga akan segera memenuhi batas jalan utama, ia menerobos udara bagaikan peluru, ranselnya sama sekali tidak mengganggu kinerja kepakan sayapnya. Ransel yang dimilikinya merupakan ransel khusus peri, memiliki gesper dan pengait ganda di depannya hingga melekat kuat di tubuh sang pengguna. Ia berbelok memasuki pepohonan yang masih rimbun, lalu menarik kantong kain kecil berwarna hitam. Tangan kanannya merogoh isi kantung berupa serbuk yang berwarna sama. Tanpa peringatan ia melemparkannya pada kedua penjaga yang masih berjarak satu meter di depannya. Serbuk hitam gemerlap itu berhamburan di udara seolah-olah sebuah jaring raksasa tak kasat mata. Seketika saja para penjaga menguap lebar dan jatuh tertidur dengan lelapnya di pos mereka. Bartamiel sampai mendengkur keras! Ketika hendak melesat pergi, pikiran liciknya kembali mengusiknya. Milena kembali ke pos jaga dan mengerjai kedua panjaga tersebut— ia melilitkan sulur kering pada salah satu kaki mereka yang saling terkait satu sama lain. "Siapa yang bakalan jatuh duluan saat berjalan nantinya?" Milena terkikik memikirkannya. Kali ini, dia sungguh-sungguh terbang meninggalkan pos jaga. Pepohonan di jalan utama hutan terlihat semakin merana menuju musim dingin yang akan segera tiba. Milena terbang secara terang-terangan, biasanya para peri akan terbang di balik pepohonan atau terbang lebih tinggi, meskipun para manusia normal tak bisa melihat mereka. Matanya melirik ke sana kemari, mencari-cari ada gerakan aneh atau sesuatu yang bisa memberinya petunjuk akan kehadiran sang penyihir tersebut. Jantungnya berdebar kencang! Sangat memicu adrenalin-nya ketimbang mengerjai peri lainnya! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN