Chapter 3

1012 Kata
Pagi yang cerah kembali hadir. Saat Isha sampai di parkiran dan mau memarkir motor, Ren hampir saja menabraknya dengan motornya. Isha menjadi kesal dengan tindakan Ren itu. "Lo tuh bisa bawa motor nggak sih?! Kalo nggak bisa naik taxi aja sana!" Isha berteriak dan melotot kearah Ren. "Eh, nih cewek ngelunjak yah?!" Zen terpancing emosi, sudah dasarnya memang pemarah. "Apa lo bilang? Ngelunjak?" Isha ganti melotot kearah Zen, dia turun dari motornya, "Jelas aja gue ngelunjak, dia tuh bawa motornya nggak bener!" "Ya nggak usah teriak juga kali!" Zen ikut turun dari motor. "Terus?! Lo ngelarang gue teriak, tapi lo sendiri teriak, maksud lo apa, hah?!" Isha maju, begitu juga Ren, Zen, dan Ken. Isha berhadapan langsung dengan Zen. Ekspresi marah terlihat di wajah mereka semua, tapi tampak Ren yang paling bisa mengendalikan amarahnya. "Maksud gue?" Zen menyeringai. "Maksud gue, lo inget posisi lo di sini!" "Posisi?" Isha juga menunjukkan seringaian iblis, "Di sini posisi kita itu sama! Mentang-mentang lo anak orang kaya, bukan berarti posisi lo lebih tinggi!" "Lo---!" "Zen!" Ren membentak Zen, "Kita pergi dari sini." Wajahnya berusaha memadamkan amarah yang akan menyembur keluar. Ekspresi datar dengan tatapan dingin, sangat khas dengannya. "Tapi cewek ini--- " "Dia urusan gue," tatapan dingin itu menusuk ke arah ke Isha. "Udahlah, Zen. Mending kita pergi sekarang," Ken menepuk pundak Zen. "Ya udah, ayo!" Zen berbalik. "Oh jadi begini kelakuan anak orang kaya? Abis ngelakuin kesalahan, terus pergi gitu aja tanpa minta maaf?" Mendengar perkataan Isha, Zen berbalik lagi. Dia sudah hampir maju untuk melampiaskan kemarahannya pada Isha, tapi tangan Ren menahannya. "Bukan tanpa, tapi belum," Ren mengatakan itu pada Isha dengan nada datar. Ren, Zen, dan Ken pergi meninggalkan Isha yang masih merasa kesal. "Minta maaf pakek ditunda, dasar cowok aneh, nyebelin, b**o!... Eh, dia kan lebih pinter dari gue. Cih," Isha mendecih kesal. ... Bel istirahat berbunyi. Selesai mengumpulkan tugas, Isha mau pergi, tapi buku catatannya hilang. Dia mencari bukunya, tapi saat Fernan mau membantunya, Isha menyuruhnya untuk pergi ke kantin duluan. Setelah Fernan pergi, Ren menghampiri Isha dan meletakkan buku catatannya di meja. "Lo nyari itu, 'kan?" dia berdiri di samping kanan Isha. "Buku gue?" Isha menghadap ke Ren. "Jadi lo yang nyembunyiin?! Nggak puas apa bikin gue kesel tadi pagi?!" "Gue udah puas liat lo adu mulut sama Zen. Tapi kalo gue nggak nyembunyiin buku lo, lo nggak bakal tetep di kelas, 'kan?", Ren tetap datar, tidak menghiraukan kemarahan cewek yang ada di depannya. "Maksud lo?" Isha menautkan alisnya. "Lo cukup pinter, gue yakin lo ngerti." "Gue nggak ngerti!" Isha tidak mau berbelit-belit. "Ternyata lo nggak sepinter yang gue kira." "Terserah, sekarang bilang aja kenapa lo nahan gue di sini?" Isha mencoba mengendalikan dirinya agar tidak terus membentak-bentak, meskipun kesalnya memuncak. "Ok, gue maklum kalo lo tadi marah. Karena gue emang salah. Gue nggak konsen bawa motor, dan gara-gara itu hampir nabrak motor lo yang berharga. Karena itu gue minta maaf." Isha mengerutkan kening. "Tapi kenapa lo nggak konsen?" "Lo nggak perlu tau lebih dari ini. Yang penting gue udah minta maaf. Kalo soal lo maafin gue atau nggak, itu nggak penting." Ren pergi begitu saja. Isha mengepalkan tangan dan mengerucutkan bibir. "Cowok b**o!" ♡♡♡ Afia baru saja keluar dari kamar mandi. Dia segera berlari menuju kantin. "Temen-temen pasti udah nungguin nih," batinnya. 'Buakk' Afia menabrak seseorang. Dia jatuh, dan tanpa melihat dulu siapa yang dia tabrak, dia langsung memarahinya. "Aduh, siapa sih?! Kalo jalan liat-liat dong, main tabrak aja. Nggak punya mata apa?!" "Apa ?" Afia terpaku mendengar suara berat yang bernada dingin itu. Dia mendongak. "Eee... Ken ?", matanya yang lebar semakin melebar melihat orang yang dia marahi barusan. Afia segera berdiri dan merapikan seragamnya. Meluruskan bola matanya dengan bola mata Ken. Meskipun dengan perasaan takut-takut. "Lo bilang apa tadi ?", ekspresi wajah Ken datar, tapi mungkin dia marah. "Gu-gue ?. Gue bilang apa ?", Afia terbata-bata. "Lo bilang gue nggak punya mata ?", Ken maju selangkah agar tubuhnya dan Afia semakin dekat. "Ng-nggak, gue nggak bilang gitu", keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit Afia. "Lo punya mata kok, dua lagi". Afia meringis. Berharap Ken akan mengampuninya. "Gue tau kalo mata gue dua". "I-iya, maksud gue, mata lo dua-duanya masih sehat", Afia bingung harus mengatakan apa, karena itu yang dia katakan sedikit melantur. "Lo ngeledek gue ?", Ken membuatnya semakin menciut. "Nggak, mana mungkin gue ngeledek lo ?. Lo kan... ", Afia menghentikan ucapannya, mencegah keceplosan. "Apa ?", Ken sepertinya penasaran dengan lanjutan kalimat Afia. "Eee... Lo kan... murid baru", Afia nyengir. "Murid baru ?", Ken mengerutkan kening. "I-iya. Mmm... Udahlah, gue pergi dulu, temen-temen gue udah nungguin. Afia segera pergi ke kantin, takut Ken merangkap menjadi polisi, yang akan menahan dan menginterogasinya lebih lama. Ken hanya diam menatap punggung Afia yang menjauh dan menghilang. "Tuh cewek sebenernya mau ngomong apa sih ?" ... Di kantin, Isha, Shila, Fernan, dan Pandi sudah makan lebih dulu. Afia lalu memesan makanan, dan duduk bersama mereka. Melihat Afia yang diam saja, Pandi jadi heran. "Dari mana aja lo ?", tanya Pandi ke Afia. "Dari kamar mandi", jawab Afia singkat. "Oh... Tumben lo diem, abis liat hantu ?", Pandi mulai memasang umpan pada kail untuk memancing kejengkelan Afia. "Sembarangan, gue bukannya liat hantu !", dan strike !. Afia agak ngegas. "Terus ?", Pandi sepertinya mulai penasaran. "Ada deh", Afia tersenyum lebar. "Loh... Kok lo main rahasia-rahasiaan sih, Af ?", Shila menggembungkan pipinya. "Mmm... Nggak tuh", Afia menyedot es tehnya. "Nggak gimana ?. Orang lo nggak ngasih tau kita, berarti lo main rahasia-rahasiaan, 'kan ?", Fernan ikut angkat bicara. "Iya-iya, gue nggak main rahasia-rahasiaan deh", Afia akhirnya menyerah juga melawan tiga temannya yang kadang suka kepo dadakan. "Gue tuh tadi abis nabrak Ken, terus nggak sengaja marah-marah ke dia". "What ?. Serius lo ?", Shila terbelalak. "Ya serius lah", Afia sepertinya agak malu-malu. "Gokil-gokil," Shila bertepuk tangan seperti anak kecil yang yang kegirangan ketika melihat mainan yang dia sukai. "Terus Ken gimana? Dia marah nggak?" "Mmm... Nggak tau." "Kok nggak tau?" Shila mengernyitkan kening. "Ken itu ngomongnya nggak pakek ekspresi, jadi gue nggak tau dia marah apa nggak." "Oh gitu," Shila manggut-manggut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN