14. Nomor rahasia

1547 Kata
"Wah, keponakan Om juga ada disini ternyata!" Anyelir langsung menoleh dan bangun dari duduknya saat melihat Kendra yang memasuki ruangan berdampingan dengan Meta yang membawakan tas kantornya. Ia berjalan mendekat dan mencium tangan omnya itu. "Om apa kabar? Anye udah lama engga lihat Om," tanya Anyelir. Ia berbicara seperti itu karena memang kenyataannya Kendra sedang sibuk mengurus perusahaan cabang yang ada di Jerman, dan Om nya itu sangat jarang sekali pulang sehingga Anyelir jelas hampir tidak pernah bertemu dengannya. "Om baik, ini bisa pulang juga karena keadaan perusahaan di sana udah stabil. Tapi rencananya awal bulan depan mau balik lagi kesana," katanya. Kemudian Kendra memasang wajah masam di depan keponakannya. "Bahkan kamu pindah sekolah aja, Om baru tahu hari ini dari Tante," keluh nya. Anyelir tertawa pelan, sedangkan seseorang yang baru saja keluar dari kamar justru mendengkus pelan. "Raja drama deh," ejek Vitta. Walaupun begitu, senyum bahagianya karena mendapati Ayahnya datang begitu lebar. Gadis tomboy itu berjalan mendekat dan memeluk Kendra dengan hangat. "Kangen banget sama Papa," akunya. Kendra tertawa di tengah pelukan mereka. Tangan besarnya mengusap kepala Vitta dengan lembut. "Kenapa anak Papa tiba-tiba jadi sebesar ini? Berapa banyak yang udah Papa lewatin?" tanyanya. Kali ini Meta yang sejak tadi jadi pengamat mulai memutar bola matanya jengah. "Papa baru pergi tiga bulan, memang apa yang berubah dari Vitta dalam waktu sesingkat itu?" protesnya. Tawa Kendra semakin lepas setelah mendengar ucapan istrinya itu. Kemudian dia berpamitan pada Anyelir untuk membersihkan diri dan meminta agar Anyelir menunggunya di meja makan bersama dengan Vitta. "Vian belum pulang?" tanya Anyelir saat Vitta sudah duduk di sampingnya. Vian yang ditanyakan oleh Anyelir adalah adik lelaki Vitta yang masih duduk di bangku kelas dua SMA, seumuran dengan Anyelir. "Katanya ada latihan basket," jawab Vitta. Anyelir tertawa kecil. Vian tidak pandai membuat alasan, Anyelir yakin kakak sepupunya itu sebenarnya sedang melakukan hal lain tapi karena tidak ingin kena omel oleh Vitta, maka yang bisa Vian lakukan hanyalah memberi alasan itu. "Rajin banget latihan basketnya," sahut Anyelir geli. Vitta berdecak, "Dia pikir gue engga tahu kali kalau kerjaannya di sekolah cuma pacaran sama cewek yang katanya wakil ketua OSIS di sekolahnya itu," katanya. Mendengar itu Anyelir langsung tertawa. Bukan hanya Vitta, tapi dirinya juga tahu bahwa Vian memang berpacaran dengan seorang gadis yang menurut Vian dulunya adalah rivalnya di OSIS. Itu karena adik bungsu Vitta itu selalu membicarakan Gladiz terus-menerus, walaupun cara bicaranya selalu terdengar ketus namun semua orang akan menyadari bahwa Vian begitu menyukai gadis itu. "Biarin aja, toh aku percaya Vian engga akan macam-macam," ucap Anyelir kalem. Vitta mengangguk kecil sambil mencomot keripik di dalam toples. "Kalau soal itu sih gue juga percaya, soalnya kalau dia macem-macem bisa-bisa dia dimasukin lagi ke dalam perut sama Mama," balasnya. Lagi-lagi Anyelir tertawa. Berbicara dengan keluarga Vitta selalu membuatnya merasa nyaman dan senang. Hampir semua dari anggota keluarga Vitta sama menyenangkannya saat diajak bicara. Vando, kakak pertama Vitta yang sudah berkeluarga dan memiliki usaha travel itu juga memiliki sifat yang humoris namun juga bisa sangat bijak di waktu tertentu. Lalu, Varhian, kakak kedua Vitta walaupun sedikit lebih cuek namun juga memiliki sifat yang menyenangkan dan enak diajak bicara. Semua itu selalu membuat Anyelir merasa benar-benar ada di rumah, walaupun bukan di tengah keluarga inti miliknya. "Hai gadis-gadis... Makanannya udah siap nih! Ayo makan malam!" Seruan dari Meta itu langsung membuat Anyelir dan Vitta bangkit dari duduknya dan menuju meja makan. Tak berselang lama, Vian yang sempat menjadi bahan pembicaraan antara Anyelir dan Vitta datang dan bergabung dengan mereka di meja makan. "Gimana latihan basketnya?" tanya Vitta pada adik lelakinya itu. Pertanyaan biasanya yang justru langsung membuat Vian gugup. Sedangkan Anyelir diam-diam malah mengulum senyum geli karena yakin bahwa Vian sendiri menyadari Vitta mengetahui kebohongan pria itu. "Lancar, Kak," jawab Vian kalem. Vitta menoleh ke arah Anyelir yang menutupi mulutnya karena tidak ingin ketahuan sedang tertawa. Membuat Vitta juga berdeham untuk meredam tawanya. Kemudian suasana menjadi tenang saat Kendra bergabung dengan mereka dan memulai makan malam. •• "Perasaan itu cewek engga cantik-cantik banget, kenapa sih semua orang ngomongin dia mulu!" Letisha, gadis berambut panjang itu bersidekap sambil menatap ke arah Anyelir yang berjalan di kejauhan. Dia sedang berdiri di depan kelas bersama kedua temannya, Nara dan Gebi saat terlihat di mata mereka sosok gadis yang belakangan menjadi sangat terkenal di sekolah karena sosoknya yang mencolok dengan kulit putih pucat seperti putri salju dalam dongeng. "Iya ih, cuma menang putih doang gue juga bisa. Heran aja kenapa semua cowok ngebet ngomongin dia? Sampe Royyan juga ikut ngintilin dia kemana-mana lagi," sahut Gebi sama kesalnya. "Tapi emang cantik kok." Kata-kata yang keluar dari mulut Nara itu langsung membuat Letisha dan Gebi menatapnya dengan tajam. Nara yang sadar bahwa dia salah berucap langsung menutup mulutnya dengan rapat. "Cewek kayak dia itu harus dikasih pelajaran supaya ngerti kalau hidup itu engga berputar di bawah kakinya," ujar Letisha tiba-tiba. Tanpa harus bertanya lebih lanjut, baik Gebi ataupun Nara langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Letisha. •• Anyelir melirik kecil ke arah tempat Januari duduk. Tanpa disangka lelaki itu juga menoleh ke arahnya walaupun tidak ada ekspresi berarti yang terlihat. Anyelir tersenyum tipis sebelum duduk di bangkunya, dia menaruh tas dan hanya terduduk diam. Kelas masih belum begitu ramai, bahkan Renata juga belum datang. Anyelir rasanya ingin mengobrol dengan Januari, namun ia tahu itu tidak mungkin karena jika ia melakukan itu akan sangat mencolok di depan anak-anak. Ia hanya dekat dengan Januari karena beberapa kali pulang bersama. Di antara teman sekelasnya tidak ada yang tahu perihal itu, maka bukan keputusan yang tepat jika Anyelir juga bersikap sok akrab pada Januari di depan orang-orang. Kembali ia melirik ke belakang, mendapati Januari yang sedang menulis sesuatu di buku miliknya. Pria itu tidak pernah menampakan ekspresi apapun yang mudah diartikan, Januari lebih banyak hanya menatap sekelilingnya dengan datar, hal yang membuat banyak orang segan mendekatinya. Saat Anyelir berniat kembali menoleh ke belakang, Tiba-tiba saja sebuah gulungan kertas jatuh ke atas mejanya bersamaan dengan Januari yang berjalan keluar kelas. Anyelir menatap tubuh belakang Januari kemudian berganti ke arah gulungan kertas di depannya. Ia buru-buru membuka gulungan itu dan terkejut mendapati sebaris nomor yang tertulis rapi. 081564****** Kalau ada yang mau kamu omongin, kamu bisa kirim pesan ke nomor itu. Itu nomor saya Anyelir reflek menatap ke arah tempat dimana Januari pergi tadi. Seingatnya, menurut Renata Januari tidak memiliki ponsel. Itu yang membuat pria itu tidak tergabung dalam grup kelas dan harus mendapatkan informasi secara langsung dari ketua kelas. Lalu jika memang seperti itu, nomor siapa yang Januari berikan padanya? Karena tidak ingin penasaran lama-lama, dan juga tidak ingin kalau sampai Renata melihat gulungan kertas tersebut, Anyelir akhirnya cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan menyimpan nomor itu ke dalam daftar kontaknya. Ia menimbang sebentar, haruskan ia memastikan jika nomor ini benar-benar milik Januari atau bukan? Selama beberapa saat Anyelir hanya n terdiam sambil berpikir, sebelum akhirnya dia membuka aplikasi pesan dan mengirimkan pesan ke nomor yang tadi baru saja ia simpan. Tidak ada balas untuk beberapa waktu, bahkan hingga kemunculan Renata yang diikuti Januari di belakangnya pun, pesan yang ia kirimkan belum juga mendapat balas. Saat Januari melewati tempat duduknya, Anyelir menatap pria itu dengan tatapan bingung yang juga dibalas tatapan datar seperti biasa oleh Januari. Ia menunduk sambil menggenggam ponselnya, sepertinya itu bukan nomor Januari yang sebenarnya. Anyelir menyerah, dia menanggapi semua ucapan Renata padanya sambil tangannya hendak memasukan ponsel ke dalam tas saat ponsel mahal keluaran terbaru miliknya itu bergetar pelan. Tangannya terhenti, Anyelir tidak langsung melihat ke arah ponsel miliknya tapi malah melirik ke belakang ke arah Januari. Dan di sana, ia mendapati Januari yang menatap ke arahnya dengan alis terangkat. Segera setelah itu Anyelir langsung melihat ke arah ponsel dan tanpa sadar tersenyum saat melihat sebaris nomor yang mengiriminya pesan. Sebuah pesan balasan yang terkesan dingin dan menyebalkan, namun mampu membuat Anyelir merasa senang. Me : Ini bener nomor Januari? Janu : Iya, ini nomor saya. Kan saya udah bilang Genggaman tangannya semakin mengerat, entah apa alasannya Anyelir merasa senang hanya karena mendapatkan balasan seperti itu. Mungkin karena dia tahu tidak ada seorang pun yang mengetahui bahwa Januari memiliki ponsel tapi pria itu justru memberikan nomornya pada Anyelir. Sehingga tanpa sadar Anyelir merasa bahwa dirinya istimewa, namun perasaan bangga itu lenyap saat sebuh pemikiran menghantamnya. Benarkah hanya dia yang tahu nomor Januari di sekolah ini, disaat ada orang lain yang jauh lebih dekat dan lebih lama mengenal Januari lebih dari nya? Pemikiran itu membuat suasana hatinya kacau, namun tetap timbul keinginan untuk membalas pesan dari Januari lagi. Me : Aku simpan ya, Janu. Simpan nomor aku juga ya.. Kali ini balasan datang tak lama setelahnya. Anyelir berusaha membaca pesan itu sambil meladeni semua cerita Renata tentang kakaknya yang menyebalkan atau tentang menu yang akan mereka pesan saat istirahat nanti. Ia tidak ingin mengambil resiko tertangkap basah oleh Renata kalau dia dan Januari lumayan dekat. Janu : Iya. Kamu dijemput pas pulang nanti? Anyelir menunduk, menyembunyikan senyumnya saat pertanyaan itu ia baca dari pesan yang dikirim Januari padanya. Sejenak ia terdiam, wajahnya berubah muram saat menyadari bahwa hari ini Vitta akan menjemputnya. Dan jika Anyelir mencari alasan lagi agar Vitta tidak jadi menjemput, ia akan sangat mencurigakan. Maka pada akhirnya kali ini ia menyerah. Me : Iya, tapi bsok pulang bareng lagi ya. |||•••|||
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN