Pov : SISKA 3
Esok harinya Mas Indra datang dengan senyumnya yang menawan. Dia membawakan kado berisi sepatu high heels itu padaku. Sebagai permintaan maaf, dia juga membelikan sebuah blazer berwarna merah muda, cantik sekali.
Rasanya ingin marah namun tak jadi karena rayuannya yang membuatku terpesona dan merasa berharga. Semakin hari dia semakin membuatku jatuh cinta berkali-kali.
Dress yang dibelikannya tempo hari kupadu padankan dengan high heels itu, membuat penampilan dalam reuni kali ini semakin sempurna. Saat aku datang, semua mata tertuju padaku. Banyak mata-mata lelaki buaya buntung itu memuji kecantikanku.
Ya ... memang seperti itulah aku sedari dulu. Selalu menjadi sorotan dan primadona di mana pun dan kapan pun hingga membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung sekabupaten. Hehee
"Kamu cantik sekali, Siska. Dari dulu nggak pernah berubah. Istimewa dan sempurna," puji Damian-- wakil ketua osis saat aku SMA.
Aku hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih atas pujiannya. Dia memang selalu dan terlalu pandai memuji. Tapi aku tak pernah luluh mendengar pujiannya karena lagi-lagi dia bukan levelku.
Aku memang tipe pemilih tapi untuk berteman aku termasuk cewek yang memiliki banyak teman. Kau tahu kenapa? Karena aku butuh cinta dan kasih sayang. Lebih tepatnya aku butuh perhatian.
Setelah papa bangkrut dan kena serangan jantung hingga meninggal dunia, hidupku semakin berantakan. Mama pergi meninggalkanku begitu saja tanpa kabar berita. Mama tak sudi hidup miskin, lebih memilih menjadi istri kedua dan pergi keluar kota bersama suaminya.
Harta peninggalan almarhum papa tinggal rumah minimalis dan sebuah mobil standart yang selalu menemaniku kemana-mana. Aku tinggal bersama kakak lelakiku yang lebih senang tidur di jalanan bersama teman-temannya, balap liar, mengamen dan minum-minum nggak jelas dibandingkan hidup layak seperti manusia normal lainnya.
"Sis ... sendirian ke sini? Nggak sama Indra?" tanya Edo sahabat Mas Indra. Aku mendongak seketika saat mendengar pertanyaannya. Sedikit gugup kugelengkan kepala.
"Mas Indra berangkat sendiri dari rumahnya," ucapku singkat. Edo pun mengangguk pelan.
Sekitar 10 menit kemudian terlihat Mas Indra dengan kemeja dilipat seperempat dan celana panjangnya. Penampilan sederhana yang sudah membuatku terpesona. Dia memang tampan, setampan dompetnya. Tak salah jika aku menikah dengannya meski lagi-lagi hanya menjadi yang kedua.
Tak masalah. Karena pernikahan ini pun hanya diketahui segelintir orang, Mas Indra dan Edo cukup lihai bersandiwara. Mereka tahu jika aku tak suka status keduaku ini diketahui banyak orang apalagi teman-teman SMAku. Aku yakin mereka pasti akan menjadikanku bahan ejekan sepanjang waktu jika tahu tentang statusku.
Kedatangan Mas Indra membuatku fokus bercengkerama dengannya. Suara riuh dan sorak-sorai teman-teman tak terlalu kupedulikan. Aku dan Mas Indra masih asyik membahas rencana liburan minggu depan hingga semua rencana itu ambyar seketika saat kudengar suara tak asing itu di atas panggung.
"Perkenalkan saya Sarah Rusady-- istri Indra Pramudya Kurniawan yang sedang asyik ngobrol dengan Siska Kurnia Putri, primadona di kampus abu-abu kita. Saking asyiknya ngobrol sampai Mas Indra tak sadar jika istrinya sudah ada di atas panggung. Iya kan, Mas?" Perempuan itu melirik sinis ke arahku dan Mas Indra secara bergantian.
Aku tak percaya jika perempuan sebodoh dia bisa seberani itu naik ke atas panggung dan entah apa yang akan dilakukannya setelah ini. Moodku mendadak berantakan. Kulihat Mas Indra pun sama. Pucat pasi.
"Ohya teman-teman, kalian pasti tahu dong kalau Mas Indra adalah suami saya? Apa kalian juga tahu kalau primadona di sekolah kita dulu yang bernama Siska Kurnia Putri itu sudah menjadi selingkuhan suami saya? Entah sejak kapan saya pun tak tahu. Tapi yang jelas, dia selalu meneror Mas Indra tiap tengah malam. Bahkan saya cek di rekeningnya, sudah puluhan kali Mas Indra mentransfer sejumlah uang di nomer yang sama. Nomer rekening atas nama sang primadona kita," ucap perempuan itu lagi.
Hatiku makin berdebar tak karuan. Rasanya ingin segera kucakar mulutnya yang tak bisa diatur itu. Aku tak mau kalah begitu saja. Kubalas tuduhan-tuduhannya itu meski aku sendiri tahu jika tuduhannya memang benar. Namun setidaknya aku tetap membela diri dan tak pasrah begitu saja.
Mas Indra juga membelaku bahkan dia menjelaskan tentang hak seorang laki-laki mapan untuk memiliki istri lebih dari satu. Lagi-lagi Sarah meradang. Bahkan dia melempar bukti-bukti transaksi itu ke hadapan Mas Indra.
"Asal kamu tahu nona Siska, uang yang kamu makan itu adalah uangku! Lebih tepatnya uang kakakku! Bukan uang suamiku karena dia tak memiliki apa-apa selain baju yang melekat di tubuhnya!" Ucap Sarah ketus. Dia melotot tajam ke arahku. Seberani itu dia sekarang!
Kembali kuamati wajah Mas Indra yang pias. Bahkan semakin pias saat perempuan itu menyerahkan amplop putih yang konon sebagai pesangon Mas Indra di kantornya.
Suara riuh makin tak terkendali. Kudengar gelak tawa Felicia. Sepertinya dia puas sekali mendengar berita ini. Teman-teman satu gengnya pun sukses membuat suasana makin panas membara.
"Ohya, satu lagi! Bilang sama perempuan murahanmu itu, Mas. Makan saja duitku itu. Aku ikhlas karena mungkin dia memang layak mendapat bantuan. Kalau miskin jangan sok bermewahan, Mbak. Malu sama dompet!" Ucapan terakhir perempuan tua itu kembali membuat teman-teman perempuanku meradang.
Cap pelakor, murahan, tak tahu diri, nggak ada akhlak tiba-tiba melekat untukku. Bahkan beberapa teman sengaja menarik dress mahalku kuat-kuat hingga koyak di bagian lengan. Mereka ada yang sengaja mencakar wajahku dan menamparnya. Seperti dendam kesumat yang kini bebas melakukan pembalasan.
Kulihat Mas Indra sudah tak ada di sebelah. Dia tak menolongku, justru terengah-engah mengejar perempuan itu. Argh! Apa benar jika sebenarnya Mas Indra tak memiliki apa-apa? Semua uang yang dia berikan padaku selama ini adalah uang kakak iparnya? Jika memang iya, berarti dia tak memiliki kuasa apa-apa atas hartanya?
Aku dan dia sama-sama miskin, begitukah? Mas Indra bergegas menyetop taksi dan mengejar istri pertamanya. Apakah itu sebagai bukti bahwa dia memang tak memiliki apa-apa?
Kulihat teman-teman perempuanku mengejar. Mungkin mereka belum puas menyiksaku. Kurang aj*r sekali. Segera kustater mobil dan meninggalkan cafe horror itu. Berharap aku tak kembali ke sana dan mengingat semuanya.
Malu, kecewa, marah dan benci seolah bercampur menjadi satu. Apalagi saat sampai rumah, kubuka grup w******p alumni SMA, semua penuh dengan cacian, u*****n dan sumpah serapah padaku.
Aku yang biasanya selalu hadir kapan pun dan di manapun mendadak beku. Hanya menjadi silent reader untuk membaca satu persatu u*****n mereka. Tak kusangka jika sebagian besar teman-teman perempuanku dulu begitu geram melihat sikapku dahulu.
Mereka bilang aku sok kecantikan, sok pintar, sok paling modis, sok paling oke dan sok-sok lainnya. Bahkan banyak diantara mereka yang mengulik kehidupan pribadiku, menceritakan kebangkrutan papa dan kepergian mama dengan suami keduanya.
Si Felicia semakin getol mengompori mereka. Membuat grup yang biasanya sepi mendadak ramai. Banyak juga teman-teman yang langsung mengirimkan pesan pribadi. Menyayangkan sikapku selama ini yang sok terbaik padahal kenyataannya terbusuk.
Sakit sekali aku menjadi bahan ejekan teman-temanku sendiri. Bahkan sebagian diantara mereka memberiku cap murahan hanya karena aku mau menjadi istri siri. Mereka terlihat begitu geram, bayangan mereka padaku ternyata jauh di luar ekspetasi.
|Sok paling cantik eh ternyata murahan|
|Siska mana sih? Biasanya dia selalu nongol, giliran menjadi buah bibir malah ngumpet di bawah ranjang!|
|Malulah dia sama kita-kita. Sudah ketahuan belangnya!|
|Ah sebentar lagi pasti dia keluar grup|
|Kasihan si Siska, ambisinya terlalu tinggi hingga membuatnya rela menjadi yang kedua asalkan bergelimang harta. Dikira kaya raya eh ternyata yang kaya istrinya. Pengen ketawa takut dosa|
|Istrinya terlalu sabar menghadapi si Siska. Kalau aku jadi dia, sudah kusiram air mendidih itu Siska biar tahu rasa. Dari dulu dia memang demen tebar pesona sama setiap laki-laki, kan? Aku aja sebel banget lihatnya yang sok imut dan manja itu! Jijik tahu nggak!|
|Sudahlah nona-nona, biarkan itu menjadi urusan Siska, Indra dan istrinya Indra. Kalian nggak usah memperburuk keadaan. Kita doakan saja supaya masalah itu cepat kelar dan mendapatkan jalan terbaik. Stop ghibah, ya. Jangan sampai kita dosa berjamaah.
Ingat firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hujurat: 12)
Maaf ya teman-teman kalau kurang berkenan|
Kubaca pesan panjang itu di sana. Aku tak tahu siapa dia. Tapi yang pasti setelah pesan panjangnya, grup mendadak diam. Tak ada lagi yang mengirimkan pesan. Itulah kesempatanku untuk minta maaf lalu keluar grup begitu saja.
Hatiku masih tak terima dengan penghinaan ini. Aku pasti akan membuat perhitungan pada Sarah. Memangnya dia pikir aku pasrah dan mengalah begitu saja? Tak akan! Jika dia sudah membuatku malu, dia juga harus mendapatkan balasan yang sama. Dipermalukan.
***