05 - Jalan-jalan bersama Dean.

2131 Kata
1 jam berlalu, Dean dan Devina sudah selesai menikmati makan siang mereka. Saat ini, keduanya masih berada di dalam kamar Devina. Tadi setelah selesai makan, Dean berniat pergi meninggalkan Devina, memberi Devina waktu untuk istirahat, tapi Devina menahan kepergian Dean, dan malah meminta agar Dean menemaninya menonton film horor. Devina takut menonton film horor sendirian, karena itulah mengajak Dean untuk menonton bersama setelah tahu kalau Dean tidak takut dengan film horor. Dean tidak menolak ajakan Devina. Dean merasa bersalah karena tadi sudah membuat Devina menangis, oleh sebab itulah, sebagai permintaan maafnya, Dean akan menemani Devina menonton film yang akhir-akhir ini memang sedang booming. Dean dan Devina duduk di sofa yang sama. Dean duduk sepertiduduk bersila di samping kanan Dean sambil memeluk bantal. Bantal tersebut selalu Devina gunakan untuk menutup wajahnya jika ada adegan atau suara menyeramkan yang muncul secara tiba-tiba. "Ngapain nonton film horor kalau takut?" Dean bertanya ketus. Pria itu bingung sekaligus merasa heran pada Devina. Devina takut, tapi ingin tetap menonton film horor. Bukankah itu namanya menyiksa diri sendiri? "Penasaran tahu," balas Devina tak kalah ketus. Devina adalah tipe orang yang tidak akan bisa tenang sebelum rasa penasarannya hilang. Dean hanya menggeleng, kembali fokus pada layar televisi di hadapannya. "Akh!" Untuk kesekian kalinya, Devina kembali berteriak. Kali ini, Devina melemparkan bantal yang sejak tadi di peluknya ke layar televisi, kemudian secara spontan memeluk erat Dean, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Dean sesaat setelah mengumpat. Umpatan tersebut Devina tunjukkan pada hantu yang tiba-tiba saja muncul, membuatnya terkejut bukan main. Ini bukan kali pertama Devina berteriak, jadi Dean tidak terkejut. Awalnya Dean memang terkejut, tapi setelahnya, Dean biasa saja karena perlahan tapi pasti, Dean mulai tahu bagaimana sosok Devina. Dalam hati, Dean mengumpat, dan itu karena deru nafas Devina menerpa kulit lehernya, menimbulkan sensasi yang mampu membuat bulu kuduknya berdiri. Dean mematikan layar televisi menggunakan remot yang sejak tadi ada dalam pangkuannya. Dalam sekejap, layar televisi tersebut mati. "Nona, semuanya sudah aman, jadi Anda bisa melepas pelukannya." Dean tidak mau Devina terus memeluknya, bahaya! Nanti bukan hanya bulu kuduknya yang berdiri. Devina menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Dean, tapi enggan melepas kedua tangannya dari leher Dean. Devina menghela nafas lega ketika melihat layar televisi sudah mati. Awalnya Devina berpikir kalau Dean hanya mematikan suaranya. Devina menatap Dean, dan ternyata, Dean juga sedang menatap Devina. "Ke-kenapa?" Tatapan intens Dean berhasil membuat Devina salah tingkah. Dean mengerjap, kemudian berdeham seraya membuang pandangannya ke arah televisi. "Merah," lirih Dean yang bisa Devina dengar dengan jelas. "Merah?" Ulang Devina dengan raut wajah bingung. "Apanya yang merah?" Dean kembali menatap Devina, lalu menunjuk d**a Devina menggunakan matanya. "Undrewarenya berwarna merah," ucapnya santai dengan raut wajah datar. Devina mengerjap, kemudian menunduk untuk melihat apa yang Dean maksud. Devina melotot, langsung melepas pelukannya dari leher Dean dan memilih untuk menutupi bagian depan tubuhnya yang sedikit terexpose menggunakan bantal yang ada di pangkuan Dean. "Dasar m***m!" teriak Devina sambil melayangkan pukulan pada tubuh kekar Dean. Sayangnya, bukan Dean yang merasa kesakitan, tapi justru Devinalah yang merasa kesakitan. Devina berhenti memukul Dean, tak ingin membuat Dean menatap bingung Devina yang saat ini memasang raut wajah menggemaskan. "Kenapa berhenti?" "Tubuh Om terlalu keras, jadi tangan aku sakit tahu." Dean terkekeh, sedangkan Devina mendengus. Devina akan kembali memukul Dean, tapi Dean sudah terlebih dahulu menahan pergelangan tangan Devina. "Nanti tangannya semakin sakit, mau?" Dean bertanya lembut, begitu juga dengan tatapan matanya yang teduh. Devina menggeleng, kemudian menundukkan kepalanya. "Suaranya seksi banget." Pujian tersebut hanya berani Devina ucapkan dalam hati. Devina tidak berani untuk memuji Dean secara langsung. "Jadi, apa Nona ingin jalan-jalan atau tidak?" Pertanyaan Dean menyadarkan Devina dari keterpesonaannya akan pesona Dean. Devina diam, tidak langsung menjawab pertanyaan Dean. Devina sedang berpikir, lebih baik jalan-jalan atau diam di rumah? Setelah cukup lama berpikir, Devina akhirnya mengangguk. "Mau?" tanya Dean memastikan. "Iya, mau." "Ok, bersiaplah. 1 jam lagi kita berangkat jalan-jalan." "Baiklah," jawab Devina sambil mengangguk. Devina sontak memegang pergelangan tangan kanan Dean ketika Dean beranjak bangun dari duduknya. "Eh, mau ke mana?" "Mau siap-siap, kita kan akan pergi jalan-jalan." "Oh, ok." Devina melepas tangan Dean, lalu menuruni sofa, kemudian berlari pergi menuju kamar mandi. Dean keluar dari kamar Devina, lantas memasuki lift, menuju lantai 1. Ketika keluar dari lift, Dean bertemu dengan Arion dan Han yang sedang asyik mengobrol. "Bersiaplah." "Ke mana?" Han dan Arion bertanya dengan kompak. "Jalan-jalan." Dean menyahut sambil terus melangkah menuju kamarnya, di ikuti oleh Arion juga Han. "Jalan-jalan ke mana?" Kali ini hanya Arion yang bertanya. Dean mengedikan bahu tanda tak tahu. Tadi Dean lupa bertanya, ke mana Devina ingin pergi jalan-jalan. "Apa kita akan jalan-jalan bersama Nona Devina?" Dean hanya menjawab pertanyaan Arion dengan anggukan kepala, lalu mereka pun berpisah. Dean memasuki kamarnya sendiri, begitu juga dengan Arion dan Han. Hanya butuh waktu tak lebih dari 30 menit untuk Dean, Arion, dan Han bersiap-siap. Saat ini, ketiganya sudah berada di depan mansion, menunggu Devina yang belum juga menunjukkan batang hidungnya. Mereka bertiga sedang asyik mengobrol ketika mendengar teriakan menggelegar dari Devina yang memanggil Brianna. Mungkin Devina akan pamit pada Brianna. Tak lama kemudian, Devina muncul. Langkah Devina tiba-tiba terhenti tepat di depan pintu utama. Secara bergantian, Devina menatap ketiga pengawalnya dengan raut wajah masam. "Kenapa kalian bertiga harus memakai pakaian serba hitam? Kita kan mau pergi jalan-jalan, bukan mau pergi ke pemakaman!" Protesnya entah pada siapa. "Pakaian serba hitam tidak selalu identik dengan pemakaman. Pakaian kita memang seperti ini, Nona Devina." Dean membela diri. Devina menatap tajam Dean. "Tapi tetap saja, jangan selalu menggunakan warna hitam, aku tidak menyukainya!" Ah, Dean lupa kalau Devina memang tidak menyukai warna hitam. "Mulai besok, jangan pakai jas hitam lagi, pakai pakaian yang biasa saja dan jangan selalu menggunakan warna hitam!" Titah tegas Devina sambil menatap Arion dan Han. Arion dan Han tidak langsung mengangguk, mengiyakan permintaan Devina. Keduanya dengan kompak menatap Dean, menunggu jawaban Dean. Dean mengangguk, sebagai isyarat kalau Arion dan Han boleh mengikuti saran atau lebih tepatnya perintah yang Devina berikan. "Baik, Nona." Arion dan Han berucap kompak. "Baguslah," sahut Devina sambil kembali melanjutkan langkahnya. "Jangan bukakan pintu untuk Nona Devina, biar dia membuka sendiri pintunya!" Dean melarang Arion yang baru saja akan membuka pintu mobil untuk Devina. Arion mengurungkan niatnya untuk membukakan pintu bagi Devina, sementara Devina mendengus, lalu memasuki mobil, di susul Dean yang duduk di kursi kemudi. Seperti sebelumnya, Dean dan Devina berada dalam 1 mobil yang sama, sedangkan Arion dan Han menggunakan mobil yang berbeda. "Mau jalan-jalan ke mana?" "Kita cari tempat makan dulu, lapar." Dean hanya mengangguk tanpa menanggapi ucapan Devina. Devina fokus bermain ponsel, sedangkan Dean fokus menyetir. Saat ini, Dean, Arion, Han, dan Devina sudah berada di restoran pilihan Devina. Mereka sedang makan malam bersama dalam 1 meja yang sama. Awalnya, Arion dan Han ingin makan di meja yang terpisah, tapi Devina malah meminta agar keduanya makan di meja yang sama dengannya dan Dean. Dengan isyarat mata, Dean meminta agar Arion dan Han terus mengajak Devina mengobrol. Arion dan Han mengikuti intruksi yang Dean berikan, sementara Dean langsung pergi meninggalkan meja makan ketika Devina lengah. Dean harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri, apa pria yang baru saja ia lihat benar-benar Ben, kekasih Devina, atau mungkin hanya pria yang sekilas mirip dengan Ben. Dean memiliki ingatan yang tajam. Meskipun baru pertama kali melihat Ben, tapi Dean bisa mengingat dengan jelas wajah pria itu. Pria tersebut tidak sendiri, tapi bersama dengan seorang wanita. Keduanya terlihat mesra, membuat siapapun yang melihatnya akan langsung berpikir kalau keduanya adalah pasangan kekasih, termasuk Dean. Dean mengumpat, kesal karena terlambat. Mobil yang dinaiki oleh pria mirip Ben sudah keluar dari area restoran. Dean tak punya pilihan lain selain kembali memasuki restoran. "Om dari mana?" Devina menatap Dean dengan mata memicing penuh curiga. "Toilet." Dean menyahut santai, kembali duduk di samping Devina. "Om pasti bukan habis dari toilet, iya kan? Om muncul dari pintu depan, sedangkan toilet berada di sana." Devina menunjuk ke arah di mana toilet berada. "Setelah ini, mau jalan-jalan ke mana lagi?" Dean balik bertanya tanpa terlebih dahulu menjawab pertanyaan Devina. Dean tidak mungkin memberi tahu Devina kalau dirinya baru saja mengejar seorang pria yang mirip dengan Ben. Devina menjawab antusias pertanyaan Dean. Seketika melupakan pertanyaannya yang tidak Dean jawab. Devina memberi tahu Dean, ke mana saja dirinya ingin pergi jalan-jalan malam ini. Setelah puas jalan-jalan mengelilingi kota London, Devina akhirnya memutuskan untuk pulang. Ternyata jalan-jalan bersama para pengawalnya tidak seburuk yang Devina bayangkan. Dean lebih banyak diam, berbeda dengan Arion dan Han yang banyak mengobrol bersama Devina. Saat ini, Dean dan Devina sudah dalam perjalanan pulang menuju mansion. Arion dan Han masih setia membuntuti mobil yang keduanya tumpangi. Devina menatap Dean sesaat setelah Dean menerima telepon. "Dari Daddy ya?" tanyanya memastikan. Tadi Devina mendengar Dean menyebut kata Tuan, bukankah itu berarti orang yang baru saja menghubungi Dean adalah Brian. Dean mengangguk. "Iya, Tuan Brian." "Daddy? Kenapa dengan Daddy?" Devina berbalik menghadap Dean. "Tuan dan Nyonya Brianna baru saja pergi meninggalkan London." "Apa?" teriak Devina histeris. "Baru saja pergi meninggalkan London?" "Iya, Nona. Tuan Brian dan Nyonya Brianna akan pergi ke Indonesia, katanya akan berbulan madu di sana selama 2 minggu." "2 minggu?" Lagi-lagi Devina berteriak. "Kenapa tidak memberi tahu aku?" tanyanya penuh emosi membara. "Tanyakan saja pada Tuan Brian, kenapa tidak memberi tahu Nona kalau mereka akan pergi jalan-jalan." Devina mendengus, lalu meraih ponsel dari dalam tasnya. Devina menghubungi Brian, tapi ponsel Brian tidak bisa dihubungi, begitu juga dengan ponsel Brianna. "Dasar menyebalkan!" Dengan kasar, Devina kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas, kemudian berbalik memunggungi Dean. Dean tahu kalau Devina marah, tapi seharusnya, Devina tidak marah padanya, bukan? Seharusnya Devina marah pada Brian. 30 menit berlalu, dan mobil yang Dean kemudikan baru saja sampai di mansion kedua orang tua Devina. Dean melirik Devina yang ternyata tertidur pulas. Devina lelah, Dean tahu itu. Tanpa sadar, tangan kanan Dean terulur, membelai wajah Devina yang memiliki kulit halus dan lembut. Devina melenguh, dan itu membuat Dean panik. Cepat-cepat, Dean menjauhkan tangannya dari wajah Devina, seketika mengumpat ketika sadar kalau dirinya baru saja melalukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan pada Devina. Dean keluar dari mobil bersamaan dengan Arion juga Han. "Dean, sebaiknya Nona Devina jangan di bangunkan." Devina terlihat pulas, membuat Arion tidak tega jika harus melihat Dean membangunkannya. "Jadi ... biarkan saja dia tidur di mobil?" Dengan polosnya, Dean bertanya sambil menatap Arion. "Dasar bodoh!" Han menoyor kepala Dean. Dean menatap tajam Han, tapi sayangnya, Han sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Dean berikan. "Ya lo gendong sampai ke kamarnya, masa mau ditinggal di mobil si!" seru Han penuh kekesalan. "Benar kata, Han. Sebaiknya lo gendong Devina sampai ke kamarnya." Arion menepuk ringan bahu Dean, lalu mengajak Han pergi memasuki mansion, meninggalkan Dean berdua dengan Devina. Dean mendengus, tapi tak ayal menuruti saran Arion untuk tidak membangunkan Devina, dan menggendong Devina ala brydal style seperti saran yang Han berikan. Devina sempat terusik ketika Dean akan menggendongnya, tapi untungnya, Devina tidak terbangun. Keadaan mansion sudah sangat sunyi sepi ketika Dean memasukinya. Wajar saja, malam sudah larut, dan para pelayan susah beristirahat di paviliun belakang. Dean sudah sampai di kamar Devina. Tadi, Dean mengalami sedikit kesulitan ketika akan menekan tombol lift, dan ketika akan membuka pintu kamar Devina, untungnya, Dean berhasil melakukan semua itu tanpa membuat Devina terbangun. Dean baru saja membaringkan Devina di tengah-tengah tempat tidur ketika suara petir terdengar. Devina terkejut, seketika terbangun dari tidurnya. Dean ikut terkejut, tapi bukan karena suara petir, melainkan karena Devina yang tiba-tiba terbangun. "Tenanglah," bisik Dean sambil kembali memeluk Devina. Semua itu Dean lakukan secara naluriah. Devina menoleh, cukup terkejut karena wajah Dean berada cukup dekat dengan wajahnya. "Kita di mana?" tanyanya sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. "Ini kamar, Nona. Saya belum sempat menyalakan lampu karena tadi saya menggendong, Nona." Perasaan Devina berubah menjadi lega. Suara petir kembali terdengar, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Secara spontan, Devina memeluk erat Dean, membenamkan wajahnya di ceruk leher Dean. Tubuh bagian depan Dean dan Devina menempel mengingat posisi keduanya saat ini saling berhadapan-hadapan. Apa yang Devina lakukan membuat Dean terkejut, tapi Dean tidak menolak atau melarang Devina memeluknya. Dean membalas pelukan Devina, bahkan kini tangan kanannya mulai mengusap kepala Devina dengan penuh kasih sayang. "Jangan pergi," pinta Devina memelas. Devina takut berada di ruangan sempit sekaligus gelap, lalu Devina juga takut dengan suara petir. Biasanya, jika sedang turun hujan deras di sertai dengan petir, Devina akan meminta Devian atau Brianna menemaninya. Tapi saat ini, mereka berdua tidak ada di rumah. Jadi, Devina meminta agar Dean menemaninya, tidak pergi meninggalkannya sendiri. "Tidak, saya tidak akan pergi meninggalkan, Nona." Dean juga sudah tahu tentang Devina yang takut dengan suara petir. Dean akan menemani Devina sampai Devina tertidur pulas, setelah itu, ia akan pergi ke kamarnya sendiri. "Tidurlah, ini sudah malam," bisik Dean tepat di atas kepala Devina. Devina mengangguk, mencoba kembali memejamkan matanya, diikuti Dean yang juga mencoba untuk tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN