Akhir minggu itu Elara menginap di rumah temannya, Nita, di daerah Cibubur. Keesokan paginya, ia menyempatkan diri datang ke arena bersepeda berbekal sepeda kepunyaan Nita, sedangkan di subuh buta temannya itu sudah menghilang bersama suaminya. Elara yang pemalas berolahraga menganggap itu satu-satunya kesempatan tubuhnya bisa bergerak. Dari artikel yang pernah dibacanya di media sosial, bersepeda atau lari pagi membuat tubuh menghasilkan endorfin atau hormon bahagia, sekaligus membuat otak lebih segar karena mata dimanjakan oleh pemandangan sekitar.
Sayangnya, matanya harus ternoda oleh pemandangan menyesakkan. Di kejauhan Elara melihat Tira dan Beno mendorong stroller anak mereka. Seketika mood Elara memburuk.
Tanpa pikir panjang, Elara putar haluan membelokkan sepedanya ke kiri.
Namun, dalam satu detik saja tubuhnya sudah terjengkang ke aspal.
"Aww!" Elara meringis kesakitan. Punggung dan panggulnya nyeri. Dengan ekor matanya, ia melihat kaos di ujung sikunya robek dan sikunya berdarah. Untung saja kepalanya mengenakan helm.
"Kamu ndak apa-apa?" tegur seorang pria dengan logat Jawa samar bergegas mengulurkan tangannya membantu Elara.
Bukannya balas mengulurkan tangannya, Elara malah membentak. "Kalau jalan lihat-lihat, dong! Situ punya mata, nggak?!"
"Maaf, Mbak. Saya ndak tahu Mbak bakalan belok," jawab pria itu.
"Parah, Mas? Bawa ke rumah sakit aja," sela seorang pria lain muncul dari belakang.
"Ndak juga kayaknya."
"Nggak juga gimana?" sembur Elara kesal. Ia memaksakan dirinya berdiri, kemudian berkacak pinggang. "Mata, tuh, dipake, bukan dijual!"
"Mohon maaf, Mbak. Saya beneran ndak tahu Mbak bakalan belok," ulang pria itu sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. "Sepeda Mbak juga ndak ada lampu seinnya."
Elara melotot. "Sejak kapan sepeda punya lampu sein?"
"Sepertinya luka Mbak perlu diobati. Ikut saya ke klinik, ya, Mbak."
"Nggak usah!" bentak Elara lagi. Saking kesalnya, ia tak bisa berpikir jernih.
"Udahlah, Mas, kalau dia nggak mau diobati, kita tinggal aja. Dia yang salah, kok, dia yang ngegas?" kata pria yang satunya lagi menengahi.
Elara berjengit melihat pria nomor dua itu merangkul pinggang pria pertama. Pikiran buruknya langsung berkelana. "Dasar kaum belok! Cakep-cakep sukanya pisang!" omelnya.
"Maksud kamu apa, ya?" Pria pertama membalikkan badan dan mengerutkan dahi.
"Udahlah, Mas, nggak usah dilawan. Kayak nggak tahu aja the power of emak-emak. Mau belok nggak lihat-lihat."
"Apa lo bilang? Emak-emak?" Elara meneruskan makiannya melihat kedua pria itu menjauh pergi bersama sepedanya. "Gue sumpahin lo berdua hidup melarat! Bangke! Sialan!"
***
"Apa ndak ada satu pun perempuan di Jakarta yang menarik perhatianmu, Nak? Di rumah sakit itu banyak nakes perempuan. Di media juga banyak. Teman-temanmu apalagi. Ndak ada satu pun yang kamu sukai?"
"Mam, I love getting to know every people, but sometimes I don't like them when I really know them. Mami ngerti, kan? Aku kenal banyak perempuan tapi ndak ada yang menarik buat dinikahi."
"Umurmu itu sudah masuk masa tenggang, Angga. Injury time. Ndak usah kebanyakan gaya. Ada yang mau denganmu saja sudah syukur."
"Injih, Mam." Dengan airpods di telinga dan sembari mengancingkan kemeja, pria bernama Airlangga itu memutar bola matanya bosan. Angga bersumpah, suara ibunya halus sekali, tetapi tajamnya mengiris kuping. "Beli baju saja pilih-pilih. Masa pilih calon istri grasak-grusuk?" gerutunya pelan.
"Kami menyekolahkanmu jauh-jauh sampai ke luar negeri bukan untuk jadi jomlo menahun," tukas ibunya lagi.
"Lho, apa hubungannya sekolah sama jodoh?"
"Setidaknya ruang lingkup pergaulanmu itu meluas, Angga. Tapi, kok, ya, jadi begini?"
Dalam dua menit kemudian, Angga harus menebalkan kupingnya mendengarkan ceramah sang ibu di seberang telepon. Perkara jodoh tak henti-henti menjadi concern wanita itu. Memangnya kenapa kalau ia belum jua menikah di usia tiga puluh lima tahun? Awalnya Angga berharap dengan kepindahannya dari Yogyakarta mampu meredam pembicaraan perkara jodoh. Namun ternyata, topik itu masih menjadi headline utama. Terlebih lagi, kini ibunya punya sekutu baru. Tante Niken, ibu mertua Athalia, sepupunya.
"Begini saja ...."
"Tolong jangan tentang perjodohan lagi, Mam," potong Angga secepat mungkin. "Tolong."
"Angga, dengar dulu."
Angga mengembuskan napas diam-diam. "Dalem, Mam."
"Ini terakhir kalinya Mami menjodohkanmu. Oke, kalau kata perjodohan itu meruntuhkan harga dirimu sebagai pria metropolitan yang luas pergaulan, anggap saja kali ini kencan buta. Nothing to lose, atau apa namanya itu. Apa pun hasilnya nanti, Mami sudah pasrah, angkat tangan. Oh, ya, nama gadis ini Elara Soebagio Matthews. Umurnya tiga puluhan. Ayahnya itu yang punya perusahaan konstruksi untuk pembangunan rumah sakit kita yang baru. Nanti Mami kirim alamat pertemuan kalian."
"Injih, Mam," Angga menjawab. Apa perempuan ini berdarah campuran? pikirnya dalam hati. Namun setahu Angga, mereka tidak berurusan dengan perusahaan asing dalam pembangunan rumah sakit keluarga. Lagipula, apalah arti sebuah nama. "Begini saja, Mam. Siapa pun nanti yang aku temui, bakalan aku lamar untuk jadi mantu Mami. Asalkan wajahnya enak dipandang."
"Eh, kenapa harus enak dipandang?" protes ibunya.
"Memangnya Mami mau, nanti aku bikin cucu Mami sambil merem?"
"Hush! Ndak begitu juga, Angga. Mami cuma minta kamu temui saja dulu. Kalau kamu ndak cocok, kenapa dilamar? Mami ndak akan mati ngenes kalau kamu jomlo sampai tua. Mami juga ndak akan mati menyedihkan kalau ndak punya cucu," tegas sang ibu. "Cuma apa kamu ndak takut hidup sendirian? Nanti kalau kami sudah masuk kubur dan adikmu sudah punya keluarga sendiri, piye?"
"Njih, Mam. Nanti aku telepon lagi, ya, mau berangkat dulu. Love you, Mam" pungkas Angga sebelum memutus panggilan dengan perempuan kesayangannya itu.
Di dalam lift dari unitnya ke lantai dasar, Angga sibuk membelai-belai ponselnya menghubungi personal assistant–nya dan menanyakan jadwalnya pagi itu.
***
"Bagaimana keadaanmu, Elara?" tegur Angga memperhatikan perempuan di hadapannya. "Lukamu sudah sembuh?"
"Nggak usah sok perhatian!" sahut Elara ketus. Ia mengurungkan niatnya menduduki kursi yang telah ditariknya.
Angga tergelak. "Jangan ketus begitu. Siapa tahu kita berjodoh."
"Mimpi aja sana!"
Tawa Angga pun pecah. Pipi merah Elara ditambah raut kesalnya tampak lucu. Sementara Elara sibuk memikirkan bagaimana caranya pergi dari sana tanpa dicap tidak tahu sopan santun. Malu sekali rasanya bertemu dengan orang yang dimaki-makinya tempo hari, padahal kalau dipikir-pikir, dirinyalah yang salah dalam insiden itu.
"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?" Angga kini mengamati Elara dengan saksama. Dari kontur wajahnya sama sekali tak ada wajah blasteran. Kedua alisnya cukup tebal menaungi matanya yang menyorot tajam. Tubuhnya tinggi dan kurus.
Angga menebak Elara sama terpaksanya menyetujui perihal kencan buta mereka. Wajahnya kusut. Sisa make up–nya sudah luntur. Salah satu yang menarik dari Elara adalah pembuluh darah di punggung tangannya yang sedikit menonjol dan berwarna hijau kebiru-biruan, kontras dengan warna kulitnya. Tipe pembuluh darah seperti itu paling disukai oleh para tenaga kesehatan seperti Angga. Ia tidak perlu bersusah payah mencari target untuk menancapkan jarum infus saat diperlukan.
"Saya pikir kamu berdarah campuran," komentar Angga setelah Elara mengenyakkan bokongnya dengan enggan di kursi. "Namamu unik."
"Kenapa? Kecewa karena yang kamu temui bukan perempuan berwajah artis ibukota?" sambut Elara jengkel. Entah ide dari mana ibunya memberi nama Matthews di belakang namanya. Nama tersebut tak jarang menimbulkan asumsi kebanyakan orang yang belum mengenal Elara. Padahal tidak satu pun dalam keluarga mereka memiliki nama tersebut.
"Kamu kaku sekali," Angga tersenyum tipis. "Ndak semua artis blasteran punya kualitas bagus di dunia seni. Banyak yang hanya jual tampang."
"Maaf, saya ke sini bukan untuk membicarakan artis."
"Jadi, apa sebaiknya kita membicarakan pernikahan?"
"Jangan sinting! Saya nggak kenal situ!" balas Elara jengkel sekaligus defensif. Saking tidak berminatnya pada pernikahan, ia selalu bersikap ketus pada laki-laki mana pun yang diperkenalkan kepadanya.
"Lebih tepatnya belum kenal. Airlangga Gunardi." Angga mengulurkan tangannya dan dibalas oleh Elara dengan tatapan menyipit. "Panggil saya Angga."
"Gimana, ya, nama Angga pasaran juga. Saya rasa nama tengahmu, Emerald, cukup bagus. Atau Erald?" Sekilas Elara melihat rahang pria di depannya mengencang, tak lama kemudian mengendur kembali sampai Elara meragukan penglihatannya sendiri. "Ada kenangan yang belum usai dengan nama Emerald?" tebaknya asal-asalan memprovokasi Angga.
"As you wish, Mam. Erald juga ndak apa," Angga mengerling.
"Oke, Angga." Sial, pria itu tidak memakan umpannya. "Orang tua saya bilang, kamu seorang dokter."
"Ya."
"Dokter apa?"
"Dokter umum. Saya sering nongkrong di IGD." Melihat Elara hanya mengatakan 'oh', Angga menambahkan, " Kecewa karena saya bukan dokter spesialis?"
"Saya nggak peduli." Elara menegakkan punggung, berniat mengakhiri percakapan itu. "Dengar, Ang—"
"Baguslah kalau begitu," potong Angga memanggil pelayan lewat isyarat tangannya. "Silakan pesan makanannya."
"Minum saja, caramel macchiato," kata Elara terpaksa menyebutkan pesanannya karena pelayan sudah telanjur datang. Niatnya untuk kabur tertunda lagi.
"Saya pesan salad dan air putih. Terima kasih."
Elara mengangkat alis melihat menu pesanan Angga. Terlihat sekali pria itu menjaga asupan untuk perutnya dengan baik. Atau mungkin pria itu hanya melakukan pencitraan?
"Maaf, kamu baru pulang kerja? Kerja di mana?" Angga balik bertanya melihat penampilan Elara seperti perempuan kantoran. Ia juga berterima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanan mereka.
Elara menyebutkan pekerjaannya sebagai tax manager di sebuah perusahaan multinasional.
"Keren juga di umur tiga puluhan kamu sudah jadi manajer," komentar Angga memuji.
"Biasa aja." Elara mengangkat bahu tanpa berniat menceritakan sebenarnya pencapaiannya itu agak terlambat. Banyak orang sudah mencapai posisi manajer di usia 28 tahun melalui program management trainee seperti dirinya. Namun, permasalahannya dengan Beno menghambat kariernya. Tepat sebelum kariernya hancur, ia memilih resign, kemudian bekerja kembali setelah proses healing-nya selesai.
"Jadi, kenapa kamu setuju buat kencan buta? Dengan wajah ala oppa Korea seperti itu, seharusnya kamu gampang mendapatkan jodoh. Apalagi profesimu dokter, tinggal comot sana-sini juga beres," Elara balik bertanya.
Tidak salah Elara menyebut Angga berwajah ala oppa Korea. Kulitnya putih bersih. Mata sipitnya serta wajah orientalnya menegaskan Angga memiliki darah Tionghoa, atau campuran ras Asia Timur lainnya. Sorot matanya menarik dan simpatik. Bentuk tubuhnya proporsional. Entah mengapa, tiba-tiba saja Elara merasa tidak percaya diri duduk satu meja dengan Angga. Ia melirik meja-meja lain yang kebetulan saat itu diisi oleh para pasangan kencan. Seharusnya ia bersikukuh menolak ide gila ibunya. Bagaikan bumi dan langit, pikirnya.
"Katakan saja saya kurang beruntung." Angga menutupi senyuman kecil di sudut bibirnya. "Oh, ya, kamu lupa atau pura-pura ndak tahu, pernikahan antar sesama pasangan LGBT terlarang di Indonesia? Jadi, saya tetap harus menikahi perempuan untuk menunjukkan kepada society bahwa saya adalah lelaki straight."
Elara membelalak, tak menyangka asumsinya tempo hari ternyata benar. "Jadi ... kamu beneran gay?" katanya hampir memekik. Elara buru-buru menutup mulutnya.
Angga mengedikkan bahu. Benaknya berpikir cepat dan praktis sebelum berkata, "Pernah dengar frasa quid pro quo? This for that, or something for something?"
"Enggak. Kenapa?"
"Bagaimana kalau kita menikah—"
"Jangan gila!" Elara memelotot. "I felt that you were the last man in the world whom I could ever be prevailed upon to marry."
Angga mengerutkan dahi sebentar. "Pride and Prejudice," katanya. "Itu kalimat penolakan Elizabeth pada Mr. Darcy."
Elara melongo.
"Saya maniak film. Jangan harap kamu gampang lolos saat memakai quote dari film tertentu," Angga melanjutkan sambil nyengir.
"Dan si quid pro quo ini quote dari film apa?"
"Serial TV The Lincoln Lawyer." Angga menatap Elara serius. "Begini, El. Saya menebak, sebenarnya kamu desperate, kesal ditanya kapan menikah melulu dan bosan dijodohin oleh orang tuamu. Kalau tidak, kamu ndak akan ada di sini." Melihat Elara tidak membantah, Angga menganggap tebakannya benar. "Hal yang sama juga terjadi pada saya. Saya bosan dijodohin padahal sebenarnya saya dalam tahap menganggap nikah itu ndak penting-penting amat untuk saat ini."
"So? Deal seperti apa yang ingin kamu tawarkan?" Iseng saja Elara bertanya.
"Kita menikah, tetapi hanya untuk status. Kamu urus dirimu sendiri, begitu juga dengan saya. Kita tidak akan saling mencampuri urusan satu sama lain."
"No s*x?"
"No s*x, no love."
"Apa untungnya pernikahan kayak gitu?" Kening Elara berkerut mendengarkan ide konyol Angga.
Angga nyengir geli. "Kamu mau memasukkan seks dalam pernikahan kita? Saya ndak keberatan."
"Jangan gila! Siapa juga yang mau ngeseks sama situ?" Elara berjengit "Lagipula, kamu itu gay. Saya jijik!"
Angga tertawa. "Easy, kan? Satu, kamu tidak perlu diburu-buru lagi dengan pernikahan. Dua, kamu bisa tinggal di apartemen saya tanpa perlu membayar uang sewa. Tiga, saya gay, jadi kamu aman," kata Angga iseng menuruti prasangka Elara. Masa bodoh bila Elara menganggapnya gay atau straight. Dirinya sudah sangat santai mengenai pandangan orang.
"Ada lagi?"
"Jangan serakah, El."
"Lalu, apa untungnya buat kamu? Apa yang harus saya berikan sebagai nilai tukar?"
"Dengan menikah, saya ndak perlu dijodohin lagi dengan perempuan lain," kata Angga. Meskipun ibunya berkata telah menyerah, ia yakin itu hanya untuk sementara. Belakangan ini kedekatan ibunya dengan Tante Niken sungguh merepotkan. "Kamu hanya perlu bersikap baik pada keluarga saya, berpura-pura hubungan kita layaknya suami istri pada umumnya."
"Lalu, bagaimana bila keluargamu mulai menuntut keturunan?"
"Jangan khawatir. Bilang saja pada mereka saya azoospermia. Beres, kan?"
Elara tertawa kecil. Tawaran itu cukup menggiurkan. Dirinya tidak akan rugi apa pun. Apa susahnya berpura-pura menjadi istri Angga? Ibunya takkan menjodohkannya lagi dengan laki-laki lain. Ia juga tak perlu lagi membuat ayahnya malu dengan tinggal di rumah kontrakan. Oh, jangan katakan dirinya tidak mampu menyewa apartemen bulanan yang hanya mengeruk sekian persen uang gajinya. Elara hanya sedang berhemat, agar suatu hari nanti uang dari tabungan dan investasinya bisa menghidupinya sehari-hari.
"Maaf, saya tidak tertarik," kata Elara pada akhirnya. Sejauh ini, Elara masih menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sakral, bukan permainan semata. Menurutnya, tawaran Angga sama konyolnya dengan adegan-adegan dalam novel fiksi. "Kamu cari saja perempuan lain," kata Elara bangkit dari kursinya. Ia mengeluarkan selembar uang dari dalam dompetnya, kemudian mengimpitnya dengan cangkir kopinya. "Selamat malam."
Beberapa detik setelah kepergian Elara, Angga pun bangkit. Ia ikut meletakkan dua lembar uang di atas meja dan memanggil pelayan, lalu buru-buru menyusul Elara.
"Kalau kamu berubah pikiran, cari saya di Guna Persada Hospital," kata Angga yang bersisian dengan Elara di dalam lift.
Elara hanya mendengus malas. Dia gila! pikirnya.
Denting lift berbunyi, benda itu pun membuka diri.
"Saya rasa dua minggu cukup," kata Angga sebelum pergi meninggalkan Elara yang memandang kepergiannya dengan mata menyipit dongkol.
Setibanya di dalam mobil, Angga memasang airpods di telinganya dan mengusap ponselnya. Ia mengeluarkan mobilnya dari parkiran sementara panggilannya menunggu jawaban.
"Dek, sibuk?" ucapnya setelah panggilannya dijawab.
"Santai, Mas. Lagi nyusun referat."
"Kamu ingat, ndak, perempuan yang marah-marahin kita di arena sepeda kapan hari?"
"Ingat. Kenapa memangnya, Mas?"
Angga tersenyum kecil. "I think, she'll be your sister in law soon."
Sedetik kemudian, Angga harus mencopot airpods dari kupingnya begitu mendengar Attar, sepupunya, misuh-misuh dari seberang sana.
Attar benar, dirinya memang sudah gila sembarangan mengajak perempuan yang belum dikenalnya menikah.
Mbuh lah!