"Permisi, Pak."
"Ya?" Angga mengangkat kepala. "Kenapa mukamu bete begitu?" sambungnya memperhatikan ekspresi asisten pribadinya, Syila.
"Ada telepon dari gebetan Bapak," sahut Syila bosan, baru saja menjawab telepon dari perempuan yang sama yang jadwalnya sudah macam minum obat, tiga kali sehari.
"Gwen?"
Syila mengangguk.
"Kamu jawab apa?"
"Saya bilang Bapak lagi meeting."
"Good." Angga nyengir.
"Besok saya harus bikin alasan apa lagi, Pak? Masa meeting, sibuk, atau keluar melulu?" sambung Syila. Ia cukup beruntung memiliki bos yang sikapnya ramah dan memperlakukan bawahannya dengan baik. Saking ramahnya, pria itu memiliki banyak penggemar, terutama perempuan. Dalam kurun waktu empat bulan sejak Angga menjabat, tak terhitung berapa perempuan yang menelepon atau nekat datang ke kantor. Semuanya perempuan berkelas yang herannya dicuekin oleh atasannya. Terkadang malah Syila yang kerepotan mengusir mereka.
Perempuan terakhir bernama Gwen, seorang artis cantik yang sering muncul di layar televisi. Tak jarang Gwen mengirimkan makan siang untuk Angga yang selalu berakhir di meja Syila. Tentu saja Syila kegirangan makan makanan mewah dari restoran ternama.
Angga bilang, Syila harus berhati-hati, siapa tahu aneka makanan tersebut dikirim lengkap dengan jampi-jampian cinta. Angga juga menyarankan, sebaiknya Syila melangkahi makanan tersebut tiga kali sebelum memakannya. Konyolnya, Syila mengikuti saran itu meski keningnya berkerut. Sayang rasanya bila makanan itu harus berakhir di tempat sampah. Ketika Angga tak sengaja melihat aksinya, pria itu malah tertawa terpingkal-pingkal.
Keuntungan kedua, bosnya belum menikah. Sebagai asisten pribadi, beban kerjanya jauh berkurang. Berbeda saat menjadi asisten pribadi direktur sebelumnya, ia harus mengatur jadwal kerja sampai jadwal pribadi sang direktur, termasuk mengurus keperluan pribadi keluarganya. Mengingatkan jadwal arisan sang nyonya, misalnya.
Jadi, siapa bilang menjadi asisten pribadi itu enak? Malah melelahkan dan harus siap tahan banting. Ditambah lagi nyinyiran serta stigma tidak menyenangkan di luar sana bahwa menjadi asisten pribadi juga harus siap menjadi selingkuhan sang atasan. Gila!
Angga tersenyum simpul tanpa menatap Syila, melainkan fokus ke layar komputernya. "Sakarepmulah mau jawab apa. Saya pasrah wae," jawabnya pelan.
Syila mengembuskan napas panjang, bosnya kumat lagi. Terkadang pria itu bicara dengan logat Jawa, terkadang dengan logat Jaksel. Aneh!
"Kalau boleh tahu, kenapa Bapak nolak beliau? Kan cantik, Pak. Artis lagi," cecar Syila tak puas.
"Memangnya kalau dia artis dan cantik, saya harus suka?" Angga balik bertanya.
"Yah, nggak juga sih, Pak."
"Saya ndak suka perempuan agresif. Belum jadi pasangannya saja saya diabsenin tiga kali sehari, gimana kalau jadi? Mungkin tiap jam saya ditelponin." Angga geleng-geleng kepala. "Oh, ya. Sudah ada kabar kapan tim surveyor KARS mau datang?"
"Jumat pagi, Pak," sahut Syila sigap.
"Oke. Kalau gitu, tolong batalin jadwal saya di studio, ya, biar mereka bisa cari narsum pengganti."
"Baik. Ada lagi, Pak?"
"Bahan makanan saya sudah habis. Kamu bisa bantuin belanja? Masih punya daftarnya, kan?"
"Masih, Pak."
"Tolong kamu isikan ke kulkas saya." Angga menyerahkan access card apartemennya kepada Syila. "Sekalian tolong ambil pakaian saya di binatu.'
"Baik, Pak."
"Uang kas masih cukup?"
"Lebih dari cukup, Pak."
"Oh, ya. Pagi ini ada yang mencari saya?"
"Bu Elara?" tebak Syila. Entah siapa si Elara ini yang sejak tiga hari terakhir selalu ditanyakan oleh bosnya. Syila penasaran sekali.
Angga mengangguk.
Syila menggeleng. "Nggak ada, Pak."
Angga mengetukkan jari-jarinya di meja. Malam nanti tenggat waktu dua minggu yang ia berikan kepada Elara akan berakhir. Benarkah perempuan itu tidak berminat menikah dengan dirinya? Sama sekali? Padahal dirinya sudah sekeren ini. "Oke, kamu boleh pergi."
"Baik, Pak."
***
Di sisa hari itu benar-benar hari yang sibuk bagi Angga. Mulai dari menyiapkan berkas-berkas dibantu Syila, juga menghadiri pertemuan dengan para kepala departemen untuk mem-briefing bawahan mereka masing-masing serta jajaran lain untuk mempersiapkan diri menghadapi proses akreditasi rumah sakit. Dengan tujuan agar mereka kembali meraih status paripurna seperti periode-periode sebelumnya.
Sore menjelang, kejutan lain datang. Ibunya serta pakdenya, Bima, telah menunggu di ruangan kerjanya.
"Sibuk, Ngga?" sapa Bima sembari menepuk bahu Angga.
"Lumayan, Pakde. Mami dan Pakde barengan ke sini?" sambungnya balas menyalami Pakde Bima. "Papa mana, Mam?"
"Papamu pergi dengan adikmu, ke mana itu, ndak tahulah," sahut ibunya, sambil mengibaskan tangannya. "Sehat kamu, Nak?"
"Sehat, Mam." Angga memeluk sang ibu yang kecantikannya masih mempesona. "Kangen sama Mami."
"Dasar manja!" Irene mendengus. "Jadi yang kemarin gimana kabarnya, to?"
"Yang kemarin apanya, Mam?" Angga mengerutkan kening.
"Halah, ndak usah belagak pilon kamu itu." Irene mendelik. "Si Elara itu, lho."
Angga mengangkat bahu. "Belum ada kabar, Mam."
"Aduh nasibmu, Nak," keluh Irene mengurut d**a. "Sia-sia kamu mewarisi gen Mami. Sudah tampan begini kenapa masih sulit jodoh, sih?"
Angga memutar bola matanya.
"Bukan sulit jodoh, Angga saja yang pilih-pilih," celetuk Bima sembari tersenyum kecil, sedikit tahu kiprah keponakannya yang punya banyak penggemar di media sosial. Begitulah laporan putrinya, Athalia, beberapa hari yang lalu kepadanya.
Untungnya, segala keribetan Angga terkait jodoh segera berakhir. Ia harus mengurus beberapa dokumen serta membicarakan hal-hal penting bersama dengan pakdenya. Sementara ibunya menyendiri di pojok ruangan sembari menunggu ayah dan adiknya, sibuk dengan ponsel di tangan.
Menjelang pukul delapan malam, pekerjaannya mulai rampung tatkala Syila mengetuk pintu.
"Pak, ada Bu Elara."
"Bisa tunggu sebentar? Kami hampir selesai," gumam Angga tanpa mengangkat kepalanya. Pikirannya yang sedang terkonsentrasi pada berkas yang harus ditandatangani membuatnya tidak ngeh sama sekali dengan nama Elara. Ditambah lagi malam itu perutnya belum terisi. Makan malam yang dibelikan Syila ia abaikan saking sibuknya.
Sialnya, ketidakfokusannya tersebut harus dibayar mahal. Dua detik kemudian ia mendengar ucapan frontal perempuan yang ia ajak menikah itu.
"Hai, Dok. Ayo, kita menikah."
Deg!
Angga mengangkat kepala dan sontak melongo. Elara?
Apa-apaan itu? Dia gila atau bagaimana? Ngajak nikah, kok, kayak ngajak tawuran?
Setelah tersadar, Angga tentu saja gelagapan. Ia melirik pakdenya yang menatapnya dengan senyuman tak terjelaskan dari samping lemari buku tak jauh dari meja kerjanya. Untung saja ibunya sedang berada di kamar—salah satu privilege khusus bagi sang direktur untuk beristirahat.
Angga buru-buru bangkit, tergopoh-gopoh menghampiri Elara dan mengusirnya keluar. "El, kita bicara nanti, ya. Syila, tolong temani Elara."
"Baik, Pak."
Setelah pintu tertutup, ia mengembuskan napas lega. Entah Angga harus salut atau miris dengan tingkah Elara. Nyali perempuan itu macam sopir kopaja saja!
Namun, musibah itu masih belum berakhir. Saat ia melirik pada pakdenya yang entah kapan sudah pindah ke depan pintu kamar, pria itu tersenyum lebar.
"Sepertinya kaum pria di keluarga besar kita bak kena kutukan, ya?" ucap Bima mengerlingkan mata.
Angga terkesiap, berangsur panik melihat gelagat pakdenya. "Pakde, please, ja—"
Terlambat! Pria itu sudah mengetuk pintu memanggil ibunya.
"Dik Irene!" panggil Bima. Saat terdengar sahutan dari dalam kamar, ia melanjutkan, "Ini lho, ada yang melamar putramu."
Angga sontak memejamkan mata.
Pintu kamar terkuak cepat. Irene muncul dengan kecepatan seorang srikandi. Raut wajahnya semringah laksana memenangkan hadiah lotre puluhan miliar. "Beneran, Mas? Siapa? Mana orangnya?"
"Siapa namanya tadi?" Bima bertanya mengerutkan dahinya melirik Angga. "Elara, bukan?"
"Sik, sik, katanya ndak ada kabar? Piye to, awakmu iki?" cecar Irene menghampiri putranya.
"Aku bilang belum ada kabar, Mam, bukannya ndak ada kabar. Lah, tuh, barusan si 'kabarnya' muncul," sambut Angga sedikit kesal.
Ya, ia memang menawarkan pernikahan kepada Elara. Tapi, tidak bisakah perempuan itu mengkonfirmasi dengan cara yang lebih private agar mereka bisa deep talk menyusun rencana terlebih dahulu? Kalau seperti barusan ceritanya, sama saja Elara menodongkan pistol ke kepalanya.
"Ngeles wae!" Irene mendelik. Kemudian, raut wajahnya cerah kembali. "Ayo, mana calon mantu Mami?"
***
Di luar sana, Elara sedang memikirkan cara terbaik untuk kabur. Ia menyesali tingkah semborononya. Dari penelusuran singkat yang ia lakukan di peramban ponselnya barusan, jaringan Guna Persada Hospital dimiliki oleh tiga bersaudara Gunardi yang punya nama besar di dunia medis dan farmasi. Mengingat Angga memiliki nama belakang yang sama sudah cukup membuktikan pria itu merupakan salah satu ahli warisnya.
Bersanding dengan seorang direktur berada di luar ekspektasinya. Who the hell am I? batinnya. Menjadi istri seorang Airlangga hanya akan merepotkan dirinya di masa depan. Mendampingi pria itu ke acara ini dan itu akan sangat melelahkan.
Ia celingukan memperhatikan keadaan sekitar. Tampak perempuan bernama Syila sedang sibuk menerima telepon sambil menulis sesuatu di buku catatan.
Elara berdiri, pelan-pelan berjalan mendekati pintu keluar dengan lagak berkeliling sembari sesekali melihat ponsel.
Begitu Syila lengah, Elara mengendap-endap keluar pintu laksana maling, lalu berjalan jinjit, takut detak sepatunya meninggalkan gema di lantai. Keberadaan lift di ujung sebelah kiri terlihat sangat jauh di matanya.
"Ayolah, dikit lagi!" bisiknya menyemangati dirinya sendiri. "Dikit lagi, dik— ...."
"El?"
Elara terperanjat. Jantungnya seakan copot dari tempatnya.
Ia memejamkan mata sejenak, menetralkan gemuruh di dadanya, kemudian membalikkan badan. "Ya?"
"Mau ke mana?"
"Oh, s–saya mau ke toilet," jawab Elara gugup.
Angga tersenyum kecil. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya sembari berjalan mendekati Elara. "Kenapa harus jauh-jauh? Di dalam ada toilet, lho."
"Oh, itu, saya—"
Angga ingin tertawa melihat ekspresi Elara. Hilang sudah raut frontal yang tadi ditampakkan perempuan itu, berganti dengan wajah pias seperti anak kecil menunggu giliran disuntik.
"Ayo ikut. Mami saya kepingin kenalan sama kamu."
"Ha?" Mata Elara terbelalak lebar. "Dok, sepertinya ini kesalahan. Maaf, saya nggak berpikir panjang. Tadinya saya ... anu ... saya harus pulang." Elara secepat kilat membalikkan badan.
Namun sayangnya, aksinya kalah cepat. Angga menahan ujung lengannya erat-erat. "Ndak bisa, El. Kamu harus tanggung jawab setelah ngelamar anak orang. Jangan kabur. Ndak gentle itu namanya," katanya geli.
"Ta–tapi—"
"Kamu punya rasa takut juga, ya? Mana raut jutek kamu kemarin?" tantang Angga.
"Heh, siapa yang takut?" Elara melotot kesal. "Sembarangan situ, ya!"
Angga tertawa kecil. Jebakannya berhasil. "Prove it!"
Elara menegakkan punggungnya. Siapa bilang dirinya takut? Setan pun gue jabanin! omelnya dalam hati.
Sembari menggerutu Elara berharap semoga saja ibu Angga ilfil melihatnya, kemudian menolak rencana pernikahan konyolnya dengan Angga. Siapa tahu juga perempuan itu nanti menyodorkan segepok uang setidaknya lima puluh juta sambil berkata, "Jauhi Angga, kau tidak pantas untuknya!" dan ia akan mempergunakan uang tersebut untuk leyeh-leyeh bak babu naik tahta di salah satu pantai di Lombok sana.
Masih memegangi ujung lengan Elara, Angga menggiring perempuan itu kembali ke kantornya.
"Mi, ini Elara," kata Angga memperkenalkan Elara pada ibunya. "El, ini Mami Irene."
Kini Elara mengerti darimana Angga mewarisi wajah orientalnya. Perempuan yang diperkenalkan Angga kepadanya memiliki wajah Chinese yang sama.
Elara terpukau. Senyuman ibu Angga serta gesture tubuhnya saat berdiri menyambut Elara anggun sekali, layaknya perempuan aristokrat yang disegani.
"Hallo, Tante, selamat malam," sapa Elara sungkan sekaligus gugup. Di hadapan perempuan itu, ia harus berhati-hati memilih kata-kata yang baik.
Tanpa diduga, Irene tidak menyambut uluran tangan Elara, melainkan merengkuh bahunya, dan kemudian mengecup pipi Elara bergantian kiri dan kanan.
"Aduh, ayune calon mantuku. Lihat sini, Mas, calon mantuku ayu tenan, to? Heran, punya amalan baik apa si Angga?" komentar Irene sembari menangkup pipi Elara. Matanya berbinar-binar ceria.
Pipi Elara memanas. Ayu? Masa, sih? Apa Tante Irene menderita kelainan mata silindris sampai tidak bisa melihat dengan baik? Anaknya saja bilang wajah Elara jutek dan kaku. Siapa sebenarnya yang sakit mata di sini?
"Cocok dengan Angga," sahut Bima singkat.
Angga berdeham. "Kenalkan, El, ini Pakde Bima."
"Hallo, Om." Elara ikut menyapa Bima, yang disambut sama ramahnya oleh pria itu.
"Tante sudah pernah ketemu papa kamu. Kalian mirip sekali," komentar Irene. "Ayo, sini duduk bareng Tante."
Elara menurut mengikuti Tante Irene dengan perasaan tak karuan. Lenyap sudah harapannya wanita itu akan memberinya segepok uang dan menyuruhnya pergi.
Beberapa menit kemudian, Tante Irene mencecar Elara dengan sejumlah pertanyaan terkait kegiatan Elara sehari-hari, tak lupa juga menanyakan kabar kedua orang tuanya. Tante Irene juga menceritakan kiprah ayah Elara dalam proyek pembangunan salah satu cabang rumah sakit mereka di Jawa Tengah.
Singkat cerita, ayahnya punya nama baik di mata keluarga besar Airlangga. Entah bagaimana ceritanya bila nanti mereka tahu keadaan keluarga Elara yang sebenarnya. Terlihat indah dari luar, tetapi di dalamnya compang-camping penuh tambalan.
"Jadi, Nak Elara, kapan sebaiknya kami bersilaturrahmi dengan orang tuamu? Akhir minggu ini, bagaimana?"
Elara tertegun. Mengapa bisa semudah ini? Secepat ini?
Orang-orang ini pada sinting semua, ya?