BAB 1

1346 Kata
Cari kerjaan zaman sekarang tuh kayak mencari jarum di tumpukan jerami, susah. Entah karena banyak persyaratan lah, entah nggak punya koneksi orang dalem lah, apa lah.  Gue selalu tidak lolos saat tahap interview, padahal gue merasa jawaban yang gue berikan cukup memuaskan ke orang HRD. Isu-isu posisi yang gue incar sudah diisi kolega orang dalam selalu berhembus kencang, hal itu membuat gue semakin down. Orangtua gue hanyalah orang biasa, yang tidak punya koneksi apa-apa untuk membantu anaknya mendapatkan pekerjaan. Jadi sampai saat ini gue masih berstatus pengangguran, meskipun sudah pontang-panting cari kerja ke sana ke mari. Terkadang hal itu membuat gue minder untuk bertemu dengan teman-teman yang sudah sukses meniti karirnya. "Gue ada lowongan nih, di Prayata Corp. Jadi asisten pribadi, gaji lebih dari cukup kayaknya." Ucapan Zahra membuat secercah harapan kembali hadir untuk gue mengakhiri status pengangguran ini.  Zahra Mahira adalah temen kuliah gue, dia sudah bekerja lebih dulu di Golden Park Group sekitar tiga bulan yang lalu. Gue sempat meminta untuk dimasukkan ke kantornya karena dia sedang dekat dengan direkturnya, tapi sangat disayangkan satu-satunya posisi yang kosong sudah diambil oleh saudara si direktur itu sendiri. "Ra, yang bener aja lo gosipnya kan itu perusahaan agak-agak," timpal Joana yang membuat alis gue terangkat sebelah. "Agak gimana Jo?" tanya gue bingung. "Bosnya galak dan seenaknya, nggak ada yang betah. Bahkan nggak ada yang lolos tes waktu penerimaan asisten pribadinya, soalnya yang tes bosnya langsung," timpal Rasti. Joana Paradista dan Rasti Kamaniai adalah dua sahabat gue yang lain. Di antara kami berempat, hanya gue lah yang belum mendapatkan pekerjaan. Entah dosa apa yang gue perbuat di masa lalu sampai begitu susahnya mencari kerja. "Serius? Takut mau ngelamarnya nih gue jadinya." Mendengar rumor seperti itu di saat kayak gini membuat nyali gue semakin menciut. "Coba aja dulu, cari kerja tuh kayak nyari jodoh, sama nggak ketebak," usul Zahra. "Susah juga ya?" sahut gue. Joana menoyor kepala gue karena pertanyaan yang seharusnya tidak perlu diajukan itu. "Kelamaan jomblo Jo, jadi maklumin aja," timpal Rasti mencibir. Dasar temen-temen kurang ajar! "Bosnya ganteng tapi, serius." Perkataan Zahra membuat tawaran itu menjadi jauh lebih menggiurkan. "Lo pernah ketemu?" "Orangnya temenan sama cemceman gue, mereka sering hang out bareng," jawab Zahra. Zahra mempunyai selera yang cukup tinggi kalau soal cowok, kalau dia bilang ganteng, memang benar ganteng. Berbeda dengan Joana yang perlu sedikit dipertanyakan seleranya kalau soal cowok. Mantan pacarnya yang keturunan Thailand memang cukup ganteng, tapi kelakuannya yang sedikit hiperaktif dan cenderung cerewet membuat gantengnya hilang di mata gue. "Tau-taunya udah punya bini sama anak lagi," kata gue sangsi. "Nggak kok, dia single. Eh, dibilang single juga enggak." Zahra keliatan berpikir, sebelum mengambil kesimpulan, "Pokoknya tiap ngumpul gonta-ganti cewek. Playboy kayaknya." "Bisa ya orang galak jadi playboy?" "Bisa aja kalau profesional, beda urusan kantor sama urusan luar," timpal Rasti. "Udah coba aja Git, kali aja lo nyantol," nasihat Joana. "Nyantol apanya nih?" tanya gue bingung. Ucapan Joana terasa terlalu ambigu untuk gue. "Ya kerjanya lah, kalau sama bosnya sekalian malah bagus!" "Gue bukan lo yang ada main sama bos lo sendiri ya Jo," sindir gue. Setelah putus dengan mantan pacarnya yang sedikit absurd itu. Joana akhirnya menjalin hubungan dengan bosnya yang jauh lebih tinggi dalam ukuran tubuh dan juga selera dibandingkan mantan pacarnya. "Awas lo kalau ntar lo juga ada main sama bos lo!" Rasti kini mencibir. Gue hanya mengerucutkan bibir gue dengan kesal. "Kalau mau, gue kasih alamat perusahaannya nih ke lo." Sepertinya Zahra tidak menyerah dengan usulannya kali ini. "Boleh deh, kali aja jodoh!" jawab gue asal. "Sama kerjaan apa bosnya?" tanya Rasti dengan mata memicing dan menahan senyum penuh arti. "Ya kerjaan lah, sekarang gue lebih butuh kerja dibanding cowok!" "Kalau dia keterima kerja, liat omongannya sebulan lagi. Pasti pengen nyari cowok deh," tukas Zahra yang diangguki kompak oleh Rasti dan Joana. Yes, we will see girls! *** Pada akhirnya gue duduk di Prayata Corp. ini untuk interview. Ada tiga orang yang interview hari ini, dan gue berada di urutan terakhir. Peserta pertama keluar setelah sepuluh menit dengan wajah muram. Gue semakin deg-degan. Segalak itu kah? Peserta kedua keluar setelah tiga puluh menit dengan raut wajah yang tidak lebih baik dari peserta pertama. Berarti sekarang giliran gue. Gue pun masuk ruangan dan melihat seorang laki-laki yang sedang serius menatap layar laptopnya. Dia pasti Laynata Yisakha, si Bos yang katanya galak dan seenaknya itu. "Selamat pagi Pak," sapa gue yang dijawab anggukan singkat olehnya tanpa menolehkan kepala ke arah gue. Gue pun menaruh berkas lamaran gue di mejanya dan menunggu apa yang dia perintahkan atau tanyakan selanjutnya. "Duduk di situ dan jangan bergerak sampai saya selesai dengan urusan saya," ucap laki-laki itu dengan datar, namun penuh dengan 'perintah' yang tersirat. Beneran galak kayaknya... Gue pun mengikuti perintahnya untuk diam dan duduk di depannya. Detik berlalu, menit berlalu sampai jam pun berlalu, kaki gue sudah keram karena duduk tidak bergerak hampir tiga jam! Dan laki-laki di depan gue sama sekali tidak mengeluarkan suaranya! Sedikit pun! Gue menghela napas dan sepertinya lebih keras dari seharusnya, karena laki-laki di depan gue ini tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke gue. "Kamu saya terima," ucapnya dengan jelas. Hanya tiga kata, tapi sukses membuat gue terbelalak. "Hah?!" kaget gue spontan. "Mulai besok kamu kerja jadi asisten saya," jelasnya dengan tenang. Enggak ada interview apa-apa? Pertanyaan apa gitu? Riwayat pendidikan? Lamaran gue aja nggak disentuh sama sekali. "Jam kerja mulai jam tujuh pagi, pulang jam lima sore. Kalau saya ada acara tambahan atau ke luar kota kamu harus ikut. Gaji akan saya tambah sesuai dengan waktu yang terpakai. Ini kartu nama saya," kata laki-laki itu sambil menyerahkan kartu namanya ke gue. Laynata Yisakha, Chief Executive Officer Prayata Corp. Kartu nama berwarna coklat tua dengan aksen mengkilap keemasan tersebut seperti menggambarkan selera laki-laki ini yang cukup tinggi. "Ada pertanyaan?" Gue mengerjapkan mata, masih tidak percaya dengan kenyataan gue bisa mendapatkan pekerjaan dengan begitu mudahnya. Hanya duduk diam selama kurang lebih tiga jam. "Kenapa saya diterima Pak? tanpa interview?" tanya gue bingung. "Saya mencari asisten yang mengikuti apa peritah saya, dan kamu yang bertahan cukup lama untuk duduk di kursi itu." OMG. ALESAN MACEM APA INI?! Tapi gapapa sih gue jadi dapet kerja. Hehe... "Ini kontrak kerjanya, kamu boleh bawa pulang dan baca baik-baik, besok kamu bisa kembali lagi ke sini." Laki-laki itu menyerahkan map ke gue dengan lambang perusahaan yang berbentuk seperti pohon di dalam sebuah segi enam. "Terima kasih Pak," ucap gue sesopan mungkin sambil mengambil map dari tangannya. Setelahnya gue keluar dari ruangan itu dengan langkah yang tertatih karena … Gue keram! Saat di luar ruangan, gue bertemu cowok ganteng yang sedang mengemut lolipop. Dia keliatan kaget melihat gue keluar dari ruangan Bos. "Loh, lo yang ngelamar kerja kan?" tanya cowok ber-name tag Byakta Daniswara itu. Sapaannya sama sekali tidak formal. Mungkin karena usia kami yang sepertinya tidak terlampau jauh. Gue memilih untuk menganggukan kepala sebagai pengganti jawaban iya. Byakta melihat jam di tangannya sebelum menengok ke arah gue lagi. "Lo diterima?" Gue kembali menganggukan kepala sambil berjalan tertatih ke arah kursi.  Laki-laki bernama Byakta itu melihat ke arah gue dengan pandangan penuh selidik. "Si bos gila! calon karyawan aja dipake sama dia sampe nggak bisa jalan gitu," ucap Byakta sambil berlalu. DIPAKE APAAN ANJIR?!   *** Mendapatkan pekerjaan ini seperti dapat durian runtuh. Gajinya sangat lumayan saat gue melihat isi kontraknya, tapi yang paling membuat gue memekik horor adalah poin di mana kontrak kerja itu diputus sesuai dengan keinginan pihak pertama. Tidak lain dan tidak bukan si bos gila tadi. “Aduh, kalau gue baru sehari kerja udah didepak gimana?” Tapi deretan nol berjajar sebanyak tujuh digit membuat gue tanpa ragu menandatangi kontrak itu. Segitu padahal baru gaji pokok, belum fee tambahan kalau si bos lagi ada acara. Intinya gue harus bertahan untuk mendapat banyak uang selama bekerja di sana, meskipun si bos galak dan seenaknya. Menjadi pengangguran setelah menempuh pendidikan administrasi perkantoran dan sekretaris selama tiga tahun di salah satu Universitas ternama dalam negeri menjadi tekanan tersendiri. Kapan lagi gue bisa dapet kerjaan gini, jadi gue hanya bisa berdoa dan berharap kalau semuanya baik-baik saja. Semoga gosip yang enggak-enggak soal si bos hanya isapan jempol belaka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN