Sinar matahari pagi masuk lewat kaca jendela, memantul di lantai putih rumah sakit. Jesslyn baru saja selesai membayar administrasi, nafasnya sedikit lega. Ia menggenggam map pembayaran itu erat, lalu melangkah cepat menuju ruang rawat Christian.
Namun, begitu ia sampai di depan pintu, langkahnya terhenti. Dari celah pintu, ia melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak.
Christian duduk di ranjang pasien, perban putih melilit tangannya yang penuh luka. Di sampingnya, Hanna berdiri. Wajah Hanna serius, seakan mengurus selimut, dan menenangkan Christian.
“Sudah jangan banyak gerak dulu, kalau ada yang sakit bilang nanti aku panggil perawat.” ucap Hanna lembut penuh dengan kekhawatiran.
Tadi … Hanna tidak sengaja melihat Christian yang di ke rumah sakit dengan tangan yang berdarah. Hanna ingin mengikutinya tapi tidak bisa ketika ibunya juga sama masuk ke rumah sakit ini. Sehingga Hanna lebih mementingkan ibunya ketimbang Christian yang datang ke rumah sakit ini bersama dengan wanita entah siapa. Bahkan ketika Hanna menghampiri Christian, dia malah tidak menemukan siapapun dan hanya melihat Christian seorang diri. Dimana wanita itu? Setidaknya Jesslyn ingin mengucapkan terimakasih pada wanita itu karena sudah mengantar dan sedikit merawat Christian sampai dia datang.
Christian menoleh, dengan tatapan yang menusuk. “Gue nggak butuh bantuan lo.”
“Aku cuma mastiin kamu baik-baik saja Tian tidak lebih.”
Dan nyatanya Christian tidak membutuhkan hal itu, dia meminta Hanna untuk segera pergi. Kehadiran wanita itu akan menambah sesak di dadanya. Dan Christian tidak mau jika Hanna sampai melihat keberadaan Jesslyn sekarang. Tidak akan. Tapi yang ada Hanna malah memilih bertahan di samping pria itu sampai wanita yang membawa Christian ke rumah sakit datang.
Kata-kata itu menusuk Jesslyn. Ia bisa merasakan ketegangan di dalam ruangan, bahkan tanpa benar-benar berada di dalamnya.
Tangannya menggenggam gagang pintu erat-erat, jarinya bergetar. Air matanya hampir pecah, bukan hanya karena luka Christian, tapi juga karena situasi yang memaksa mereka bertiga dalam jarak yang terlalu dekat.
Jesslyn menahan napas. Pintu itu tinggal dia dorong… tapi langkahnya terasa seberat beban di dadanya.
Cahaya pagi yang jatuh ke wajah Christian dari balik jendela seakan menyorot sebuah kebenaran: meski dingin pada Hanna, pria itu masih menyimpan sesuatu yang dalam—sesuatu yang hanya Jesslyn bisa mengerti.
Dan di luar pintu, Jesslyn berdiri kaku, terjebak antara keberanian untuk masuk… atau ketakutan untuk menyaksikan kebenaran lebih jauh.
***
Christian duduk bersandar di ranjang pasien. Tangan kanannya berbalut perban, perih masih terasa menusuk setiap kali ia mencoba menggerakkan jemari. Di luar, matahari pagi menyorot masuk lewat jendela, membuat ruang rawat terlihat terlalu terang untuk hati yang sedang gelisa.
Sejak tadi ia menunggu, tapi Jesslyn belum juga kembali dari bagian administrasi. Waktu berjalan lambat, jarum jam seakan mengejeknya.
Christian mengetukkan jari kirinya ke ranjang, gelisah. Dadanya sesak bukan karena luka di tangan, tapi karena bayangan Jesslyn yang tak kunjung muncul di pintu.
“Jess… lo kemana? Kenapa lama sekali?” ucap Christian berbisik, ia menghela napas, menunduk.
“Lo tahu gue nggak tenang kalau nggak lihat lo… bahkan rasa sakit ini nggak ada artinya dibanding kalau harus kehilangan lo.” gumam Christian kembali.
wanita itu yang membawanya kesini, dan berjaji akan meemaninya masa iya dia meninggalkan Chrisian begitu saja di rumah sakit ini tanpa penjelasan apapun.
Christian menatap jendela, sinar matahari membuat matanya sedikit menyipit.
“Cepatlah kembali, Jesslyn. Gue cuma butuh lo di sini. Hanya lo.”
Ruang rawat kembali sunyi, hanya suara detik jam dan mesin infus yang menemani. Setiap detik tanpa Jesslyn terasa seperti beban tambahan bagi pria itu. Di balik tatapan keras dan dinginnya, ada satu hal yang jelas: ia takut—takut Jesslyn tidak akan kembali.
Christian masih duduk di ranjang pasien. Tangan kanannya berbalut perban, wajahnya pucat namun matanya tajam menatap pintu. Sudah lama ia menunggu, tapi Jesslyn belum juga kembali dari administrasi.
Jantungnya berdetak cepat. Jemari kirinya mengetuk pelan ranjang, tanda gelisah yang sulit ia sembunyikan.
“Jess… lo di mana? Kenapa belum balik juga? Jangan bikin gue nunggu begini…”
Detik jarum jam terasa semakin lambat. Lalu—pintu ruang rawat berderit terbuka. Christian mendongak cepat, sorot matanya penuh harap. Orang yang dia inginkan datang, Jesslyn datang untuk merawatnya.
Namun yang masuk bukan Jesslyn. Melainkan seorang perawat, membawa map administrasi bersegel dan sebuah dompet hitam.
Perawat itu tersenyum ramah, mendekat ke ranjang. “Tuan Christian? Ini map administrasi yang tadi sudah dilunasi… juga dompet Anda. Tadi dibawa oleh wanita yang bersama Anda.”
Christian menatap benda-benda itu, lalu menoleh ke arah perawat dengan alis berkerut. Lalu mana Jesslyn?
“Mana dia? Mana Jesslyn?”
Perawat sedikit bingung, menjawab hati-hati. “Wanita itu bilang sebentar lagi akan kembali. Setelah menyerahkan ini pada kami, dia… keluar begitu saja.”
Christian meraih dompetnya dengan tangan gemetar, matanya menatap map administrasi seakan itu benda asing. Dia menahan amarahnya bukan karena apa, Christian tahu kepergian wanita itu pasti karena adanya Hanna yang tiba-tiba datang ke rumah sakit ini. Mungkin Jesslyn mendengar obrolan mereka, sehingga wanita itu memilih pergi.
“Terimakasih.” hanya kata itu yang keluar dari bibir Christian.
Ia mengepalkan tangan kirinya, wajahnya diliputi resah. Senyap memenuhi ruang rawat, hanya suara detak jam yang menegaskan betapa setiap detik tanpa Jesslyn membuat hatinya semakin gelisah.
***
Suara pintu terbuka membuatnya spontan mendongak. Sorot matanya penuh harap—namun yang masuk bukan Jesslyn. Melainkan Noah, adiknya. Keningnya mengerut dengan sempurna untuk memastikan jika apa yang dia lihat itu benar. Untuk apa dia datang kemari?
Christian menoleh cepat, suaranya tegang. “Noah? Kok lo yang datang? Mana Jesslyn?” katanya sambil celingukan menatap sekeliling, masih berharap wanita itu kembali untuk menemui nya.
Noah menaruh tas di kursi, menyilangkan tangan sambil nyengir. “Hahaha… jelas-jelas tangannya penuh perban, tapi masih bisa cerewet cari Jesslyn. Santai, Bang. Dia yang nyuruh gue jemput lo.”
“Dia… nyuruh lo? Kenapa dia sendiri nggak datang?!” ucapnya dengan meredam emosinya.
“Entahlah. Yang jelas dia kelihatan khawatir banget waktu minta gue. Dia bilang, tolong bawa abang pulang, jangan biarin dia sendirian.”
Christian terdiam. Tatapannya kosong ke arah lantai, hatinya bergejolak.
Noah mencoba mencairkan suasana, dengan nada bercanda. “Eh, Bang jangan mikir aneh-aneh. Kalau Jesslyn nggak peduli, ngapain juga dia repot-repot nitipin lo ke gue? Kalau dipikir-pikir, lo ini malah kayak titipan VIP, tau.”
Christian mendongak, matanya sedikit berkaca-kaca, tapi bibirnya menahan senyum getir.
“Jess… jadi lo masih peduli ya… meski nggak berani nunjukin.” gumamnya lirih,
Noah menepuk bahu Christian dengan ringan. “Percaya aja, Bang. Dia masih mikirin lo, kok. Cuma… mungkin sekarang dia butuh waktu.”
Ruang rawat kembali hening. Tapi kali ini, hati Christian tak sepenuhnya kosong. Ada seberkas keyakinan yang tumbuh—bahwa Jesslyn masih ada untuknya, walau dari kejauhan.
****