Pintu rumah menutup pelan. Hanna sudah pamit pulang dengan senyum hangatnya, meninggalkan tiga orang di ruang keluarga yang kini diliputi keheningan aneh. Untung saja pertengkaran tadi terjadi ketika Hanna menemui Yoora secara pribadi. Entah apa yang dibahas nyatanya Sabian maupun Christian tidak peduli dan tidak begitu penasaran dengan hal itu. Mereka lebih memilih berdebat karena Jesslyn ketimbang hal lainnya.
Jesslyn meraih tasnya dari sofa, bersiap bangkit. Sabian hanya mengamati dengan tenang. Tapi sebelum Jesslyn berdiri, suara Christian memotong.
“Gue antar.” ucap Christian singkat tapi penuh dengan makna.
Jesslyn menoleh cepat, menatap Christian dengan sorot mata penuh protes. Tapi pria itu tak sekalipun menatap dirinya. Apa dia marah? Atau mungkin kesal dengan sikap Jesslyn yang kelewat?
“Lo nggak salah, Tian? Bukannya tadi lo datangnya bareng Hanna? Harusnya lo udah pulang sama dia.”
Christian menegakkan tubuh, menatap tajam. Seolah dia tidak suka dengan apa yang baru saja Jesslyn ucapkan. “Hanna udah pulang. Jadi sekarang gue bisa pastiin lo pulang dengan aman.”
Jesslyn terkekeh dingin, jelas tidak terkesan. “Aman? Gue pulang bareng Sabian juga aman kok. Lagi pula, gue kan udah biasa sendiri.”
Sabian yang sejak tadi diam, akhirnya ikut angkat suara, nadanya ringan tapi jelas menohok.
Sambil menyilangkan tangannya, Sabian pun berkata, “Dia benar, Tian. Gue bisa antar Jesslyn. Lagipula gue juga mau balik kantor. Lo nggak perlu repot.”
Christian memalingkan wajah ke arah Sabian, sorot matanya tajam, tapi suaranya tetap terkontrol. “Gue nggak percaya. Biar gue yang antar.”
Bukannya apa ada banyak hal yang harus mereka bahas, termasuk hari ini dimana Jesslyn yang tiba-tiba saja datang bersama dengan Sabian. Begitu juga dengan Christian yang datang ke rumah ini bersama Hanna.
Jesslyn menghela napas panjang, berdiri dengan kesal. Ia menatap Christian, lalu Sabian, matanya berkilat penuh amarah bercampur luka.
Jesslyn mendesis. “Kalian berdua jangan sok jadi pahlawan. Gue bisa pulang sendiri.”
Ia meraih tasnya lebih erat, berjalan cepat ke arah pintu. Tapi langkahnya tertahan karena Christian sudah lebih dulu bergerak, berdiri di depan pintu, menghalangi jalannya.
“Jess… gue nggak akan biarin lo pergi sendiri. Kalau lo marah, silahkan. Tapi gue tetap akan pastiin lo pulang sama gue.” ucap Christian lurus menatap Jesslyn, ucapannya seolah tak bisa dibantah.
Ruangan seketika hening. Sabian hanya memandang keduanya, bibirnya melengkung tipis—antara senyum pahit dan pengakuan diam-diam kalau ia tahu, Christian tidak akan pernah melepaskan Jesslyn sedikitpun. Seperti … hidup Jesslyn adalah hidup Christian.
****
Suara mesin mobil mengisi keheningan. Jesslyn duduk di kursi penumpang dengan tangan terlipat di d**a, menatap keluar jendela. Lampu jalan berkelebatan, tapi pikirannya jauh lebih berisik dari lalu lintas. Beberapa jam lalu dia merasa cukup bebas. Tapi setelah kedatangan Christian entah kenapa Jesslyn menganggap jika kedatangannya hanya memperkeruh keadaan saja.
Christian menggenggam setir erat, rahangnya mengeras. Sesekali ia melirik Jesslyn, lalu buru-buru kembali menatap jalan. Dia masih belum bisa menerima apa yang terjadi barusan. Dimana Jesslyn harus satu mobil dengan Sabian. Apa yang mereka bahas? Dan kenapa mereka bisa sedekat itu? Sedangkan dulu, Sabian paling anti jika Jesslyn mendekatinya. Tapi sekarang pria itu malah seolah menikmati kalau Jesslyn mulai dekat.
“Lo nggak perlu maksa-maksa antar gue, Tian. Gue bisa pulang sendiri atau sama Sabian tadi.” sinis Jesslyn. Lebih mengingatkan kalau dia berangkat dengan Hanna minimal pulang juga dengan Hanna.
Dia masih punya dua kaki, yang dimana dia bisa berjalan ke depan memesan taksi online untuk mengantar pulang. Tidak perlu numpang ke mobil Sabian dan juga Christian. Dia juga punya uang untuk membayar, kalau mereka takut.
Christian mendecak pelan, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip sindiran. Kalau Jesslyn lupa, dia akan melakukan apapun untuk Jesslyn bisa selalu bersamanya. Meskipun harus dengan paksaan pun akan Christian lakukan.
“Sabian, ya? Lo memang nyaman banget sama dia belakangan ini. Dulu kayaknya dia paling anti sama lo.” ujar Christian dingin dan datar. Meskipun tidak suka mengatakan hal itu, tapi dia harus tahu kenapa Jesslyn tiba-tiba bisa dekat dengan Sabian. Sedekat ini loh Christian kenapa tidak tahu?
Jesslyn akhirnya menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. “Emang kenapa kalau gue nyaman? Dia nggak bikin ribet, nggak bikin drama. Beda sama…”
Jesslyn sengaja menggantung kalimatnya, tapi tatapannya jelas menohok. Christian mengetukkan jarinya ke setir, lalu menoleh sebentar, matanya dalam. Dia tahu jika Jesslyn tengah menyindir dirinya, atau mungkin wanita itu dengan sengaja agar Christian pergi dari hidupnya? Selama ini Christian tidak banyak drama dia hanya ingin menyakinkan Jesslyn kalau wanita yang dia inginkan cuma dirinya saja bukan orang lain. Kenapa hal sekecil itu harus dipermasalahkan?
“Beda sama gue? Gitu maksud lo?” seru Christian, menahan emosinya.
“Ya, Lo bilang sendiri.” sinis Jesslyn, melirik Christian sejenak lalu menatap ke arah jendela mobil.
Hening kembali. Mobil melaju stabil, tapi atmosfer di dalamnya bergolak. Christian menarik napas dalam, suaranya lebih rendah saat kembali bicara. Jujur Christian cemburu dengan hal itu, dia hanya tidak ingin melihat Jesslyn bersama dengan pria lainnya selain dirinya.
“Jess… gue cuma nggak suka lihat lo deket sama dia. Itu salah gue?”
Jesslyn terdiam. Hatinya mencelos mendengar nada tulus itu, tapi ia buru-buru menutupinya dengan tawa pendek. Meskipun dalam hati dia juga senang Christian bisa seperti itu.
“Ya jelas salah. Lo siapa, sampai bisa ngatur gue dekat sama siapa? Gue bukan siapa-siapa lo, Tian.”
Christian menoleh sekilas, matanya menajam, tapi juga ada luka di sana. Jesslyn bagian dalam hidupnya. Apapun yang terjadi wanita itu berhak sepenuhnya akan Christian. Selama ini pria itu menganggap Jesslyn lebih dari apapun, kenapa juga dia harus bilang jika dia bukan siapa-siapa Christian?
“Kalau gue bilang Lo segalanya buat gue… lo masih bilang ‘bukan siapa-siapa’?”
Jesslyn tercekat. Tangannya yang terlipat di d**a perlahan mengendur. Ia cepat-cepat menoleh ke jendela lagi, berusaha menutupi wajah yang memerah.
Kenapa dia harus bicara kayak gitu? Kenapa harus di saat gue berusaha keras benci sama dia?
Mobil terus melaju. Keheningan kali ini berbeda—bukan lagi dingin, melainkan penuh kata-kata tak terucap yang menggantung di udara. Jesslyn hanya mampu menutup matanya perlahan. Dia tidak lagi punya tenaga untuk berdebat dengan Christian. Jika Jesslyn hanya satu-satunya dalam hidup Christian, lalu simbol pertunangannya dengan Hanna itu apa? Sebuah candaan? Sedangkan pria itu tahu berapa tahun Jesslyn harus menunggu pria itu kembali. Bukannya mendapat kebahagian yang ada Jesslyn mendapat luka.
“Kenapa diam? Nggak bisa jawab?” sinis Christian.
“Tian gue capek banget kalau harus debat sama lo. Gue butuh istirahat.” Jawab Jesslyn dan membuat Christian diam.
****