Saat ini team Delta tengah berkumpul di dalam ruang meeting mereka untuk membahas beberapa persoalan mengenai musuh yang tengah mereka incar.
"Kalian suah datang?" seru Marvin saat masuk ke dalam ruangan dan formasi anggotanya telah lengkap. Mereka semua duduk di sofa yang ada di sana.
“Kalau begitu kita mulai saja briefing hari ini,” serunya kemudian Marvin menggambar sesuatu di papan tulis putih yang ada di sampingnya dan berada di hadapan semua anggotanya.
Marvin terlihat menggambarkan sebuah formasi koordinasi di papan tulis.
“Ini adalah nama pemimpin dari keluarga kegelapan mafia. Aku baru mendapatkan informasi penting ini, walau kita tidak mengetahui wajah mereka dan mereka ada dimana saat ini. Pemimpinnya ini biasa di panggil King,” seru Marvin.
"Terakhir kita sudah memusnahkan Jeff. Posisi Jeff berada di paling bawah dari 7 keluarga kegelapan mafia," seru Marvin seraya melingkari nama Jeff yang ada di kolom paling bawah. "Masih ada keluarga Farhan Jins, Macelius, Alexandra, Faolus, Takasura dan posisi tertinggi dan terkaya, mafia no 1. Arian Haruyang. Dan masing-masing dari mereka memiliki kekuatan besar dan berpengaruh di dunia bisnis juga politik.”
“Kita sudah melenyapkan Jeff dan juga seluruh anak buahnya, dan aku yakin keenam orang ini tidak akan tinggal diam. Apalagi akhir-akhir ini kita terus mendapatkan teror tidak jelas dan seperti sedang mempermainkan. Entah siapa yang kali ini ingin bermain dengan kita. Siapa King itu,” seru Marvin.
"Aku mengenal Alexandra, perusahaannya menawarkan kerjasama padaku," seru James. “Apa mungkin dia yang saat ini sedang bermain dengan kita?”
“Kalau begitu kenapa kita tidak langsung menangkap Alexandra saja,” seru Jerry.
“Tidak semudah itu,” seru Marvin. “Selain ini belum jelas, kita juga tidak memiliki bukti apapun,” seru Marvin.
"Iya, kita tidak bisa begitu saja menangkap Alexandra. Jaringan mereka tersebar di seluruh dunia, dan ke tujuh mafia ini saling berhubungan." Tom bersahut.
“Lagipula peraturan di sini, harus menangkap penjahat dengan bukti kejahatannya, tidak sembarangan menangkap seseorang,” seru Vallen.
“Kalau begitu kita harus selidiki Alexandra, segala seluk beluk bisnisnya dan mencari bukti keterlibatannya dalam keluarga mafia kegelapan,” seru Ethan.
“Aku setuju dengan Ethan. Kita mulai selidiki Alexandra. Aku harap kita bisa menemukan titik terang," ucap Marvin.
“Sebaiknya kamu terima kerjasama ini, James. Itu akan membantu kita untuk menyelidikinya,” seru Marvin.
“Baiklah,” jawab James.
Ketukan pintu menghentikan pembicaraan mereka. Pintu terbuka dan muncul sosok pria berdiri di sana.
“Mr. Marvin, komandan memanggil anda,” seru pria yang merupakan tangan kanan dari Komandan.
“Baiklah.” seru Marvin. “Kalian tunggu sebentar di sini.” Marvin pun beranjak pergi meninggalkan ruangan.
----
Selang 15 menit, Marvin kembali ke dalam ruangan. Ia terlihat membawa sebuah berkas berwarna biru.
“Persiapkan diri kalian, malam ini kita ada pekerjaan,” seru Marvin.
“Apa?” tanya Raymond.
“Kita harus menangkap dan menggagalkan sebuah transaksi berlian ilegal di jalan. Xxx dekat stasiun kereta api bawah tanah yang sudah tidak terpakai,” seru Marvin membuat semuanya terdiam yang menandakan mereka siap menjalankan tugas.
ȹ
Malam menjelang, team Delta sudah berada di tempat perkara dalam formasi siaga dan bersembunyi. Pakaian serba hitam juga topi hitam melekat di tubuh mereka semua. Persiapan untuk menyerbu sudah siap. Sebagian bersembunyi di bagian langit-langit stasiun kereta api bawah tanah. Sebagian lagi di sudut-sudut yang tidak terlihat dan beberapa dari mereka ada yang berjaga di bagian pintu masuk ke dalam stasiun itu yang hanya memiliki satu pintu untuk masuk dan keluar.
“Semuanya siaga!” terdengar seruan Marvin di earphone yang menempel di telinga masing-masing.
“Mereka datang, entah pihak yang membeli atau menjual,” seru Raymond yang berjaga di pintu masuk bersama Jerry.
“Kita habisi mereka semua dan tangkap hidup-hidup ketua dari mereka untuk di introgasi,” perintah Marvin.
Vallen yang bersembunyi di langit-langit, merasakan perasaan tak nyaman saat mendengar derap langkah.
‘Ada denganku malam ini?’ batin Vallen.
Mereka masih mengawasi saat kedua kubu datang dan melakukan transaksi.
“Keluar dan kepung mereka!” perintah Marvin membuat mereka semua keluar dari persembunyian dan menyergap para penjahat yang terlihat begitu kaget.
Tak tinggal diam, para penjahatpun mengeluarkan pistol yang mereka sembunyikan dan terjadilah adu tembakan. Salah satu dari mereka yang terlihat memakai pakaian serba hitam dengan mantel hitam juga penutup kepala yang menutupi wajahnya melarikan diri dengan membawa koper berisi berlian saat mereka semua sibuk saling adu tembakan dan berkelahi. Mata awas Vallen menangkap sosok yang berlari kabur ke sudut lain. Ia segera mengejarnya.
Vallen berlari cepat untuk segera menangkap sosok di depannya yang sedikit lagi akan ia gapai.
“Berhenti!”
“Ah!”
Vallen menarik mantel yang sosok itu gunakan hingga terlepas dan terlihat rambut panjang bergelombangnya terurai bebas di punggung.
Seorang wanita!
“Berhenti di tempat!” seru Vallen kembali meraih tangan wanita itu saat dia kembali ingin berlari.
Wanita itu kemudian menoleh ke arah Vallen.
Deg
Pupil mata Vallen membesar saat melihat wajah wanita di hadapannya itu.
Apa ini mimpi...?
“Isabell?”
Dug
Vallen yang terpaku tak mampu menghindar tendangan mendadak dari wanita itu hingga pegangannya terlepas dan ia mundur beberapa langkah ke belakang.
“Apa ini beneran kamu, Isabell?”
Dor
Tubuh Vallen tersentak saat peluru tajam itu menembuh kulit di d**a kanannya hingga darah mengalir keluar. Tubuhnya ambruk ke bawah dengan masih bertopang pada kedua lututnya.
“Kau pikir bisa menangkapku?” serunya dengan sinis. Wanita berlari menjauh dan masuk ke sebuah pintu besi yang ada di sana.
Isabell... apa benar itu kamu? Kamu masih hidup?
Mata Vallen memerah dan jantung semakin berdebar kencang seiringan dengan darah yang terus mengalir deras keluar dari lukanya.
“Vallen!” Ethan terlihat mendekatinya dan duduk di sisinya.
“Ethan, dia ternyata masih hi...dup...” tubuh Vallen ambruk ke tanah dan kehilangan kesadarannya.
ȹ
Vallen masih dalam perawatan, peluru di dalam tubuhnya sudah di keluarkan dan dia sudah dalam keadaan stabil walau belum sadarkan diri.
“Sebenarnya siapa yang masih hidup?” gumam Ethan mengingat kata-kata Vallen terakhir kali.
“Vallen terlalu ceroboh dengan tidak memakai rompi anti peluru,” seru Tom.
“Kau tau bukan, kalau Vallen adalah si penembak jitu. Dia selalu mampu menghindari tembakan dan selalu menembak tepat sasaran. Lagipula dia memang tidak pernah mau memakai rompi anti peluru lagi setelah kematian Bella.” seru James.
“Dia seperti ingin menantang maut,” seru Raymond.
“Tapi siapa wanita itu, bagaimana bisa Vallen tidak bisa menghindari tembakan dari seorang wanita,” seru Ethan terus berpikir keras.
“Sepertinya wanita itu pemimpinnya,” seru Marvin yang baru saja datang mendekati mereka.
Mereka semua melihat ke arah Marvin. “Entah kenapa aku merasa kali ini Vallen akan menghadapi hal yang sangat menyulitkannya,” seru Marvin melihat ke arah kaca pembatas ruangan tempat Vallen terbaring tak sadarkan diri.
“Apa Valle tau mengenai Daddy nya?” tanya Tom.
“Tidak,” jawab Ethan. “Aku mengatakan kalau kami ada pekerjaan di luar kota.”
---
“Kak Allee....”
“Hallo istriku sayang...”
“Kak Alle, aku saat ini sedang hamil. Tubuhku semakin gemuk. Apa kamu akan berubah dan melupakanku?”
“Kamu ini ngomong apa sih. Bagaimanapun kamu, asalkan itu kamu Isabell ku. Aku akan tetap mencintaimu, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu.”
“Kalau begitu berjanjilah. Bagaimanapun tubuhku atau diriku berubah, jangan pernah melupakanku.”
“Aku berjanji!”
Vallen membuka matanya dan sorot lampu yang pertama kali masuk ke retina matanya. Vallen beranjak bangun dari rebahannya ke posisi duduk.
“Kau sudah sadar?” pertanyaan itu membuatnya menoleh.
“Ethan? Kau tidak pulang?” tanya Vallen yang tau dia sedang ada di rumah sakit Tentara Negara.
“Aku menunggumu sadar,” seru Ethan yang berdiri bersandar ke dinding dengan melipat tangannya di d**a.
Vallen menyandarkan punggungnya ke sandaran brankar diiringi helaan nafas berat. Ia kemudian melirik perban di dadanya.
Tangannya terangkat menyentuh luka itu. Ingatannya melalang buana ke kejadian saat itu. Wajah wanita itu sangat mirip dengan Isabell, tetapi tatapannya begitu dingin, bahkan saat menembak Vallen saja, air mukanya sama sekali tidak berubah. ‘Apa benar dia Isabell?’ batin Vallen.
“Peluru tipe. 45 ACP berongga, yang di gunakannya. Cukup berbahaya bukan, apalagi kalau sampai mengenai jantungmu atau paru-paru,” seru Ethan, mengingat apa yang pernah dia alami sebelumnya.
Vallen hanya terdiam merenung. “Apa benar itu dia,” gumam Vallen.
“Siapa?” tanya Ethan.
“Isabell.”
Deg
Ethan yang awalnya bersandar dengan santai, langsung berdiri tegak dan berjalan mendekati Vallen.
“Maksudmu, Isabell istrimu?” tanya Ethan.
“Siapa lagi, hanya satu nama Isabell yang aku kenal,” seru Vallen.
“Bagaimana mungkin Isabell, bukannya dia sudah lama meninggal?” tanya Ethan merasa bingung.
“Tetapi jangan lupa, kalau jasadnya sampai detik ini belum juga di temukan,” seru Vallen membuat Ethan terdiam. “Wajahnya begitu mirip, bahkan tak ada bedanya sama sekali, hanya rambutnya yang kini lebih panjang juga tatapannya yang begitu dingin tanpa kehangatan.”
“Mungkin saja itu bukan dia,” seru Ethan.
“Entahlah, tetapi jantung ini bereaksi saat berhadapan dengannya. Seperti dulu, saat aku berada di sisinya, jantung ini selalu berdebar sangat cepat,” seru Vallen menerawang ke depan.
Vallen menatap ke arah Ethan dengan tatapan tajamnya. “Mungkinkah itu dia?”
“Kita harus memastikannya dulu, jangan begitu saja menyimpulkannya,” seru Ethan.
“Sebaiknya sekarang kamu istirahat dulu. Setelah sembuh, kita coba melacak keberadaannya. Marvin masih berusaha menggali informasi dari beberapa anak buahnya yang kita tangkap.”
Vallen hanya menganggukkan kepalanya.
“Kalau itu benar dia...” gumamnya memegang perban di dadanya seraya memejamkan matanya. “Kenapa dia tidak mengenaliku dan malah menembakku.”
“Jangan terlalu di pikirkan, ini belum jelas. Mungkin saja ini sebuah jebakan untuk melumpuhkanmu yang merupakan panglima perang di team kita.”
Vallen menatap tajam ke depan.
“Mungkin ucapanmu benar.”
ȹ