Bab 1. Dreames

3024 Kata
Dunia yang aneh. Semuanya berwarna abu-abu. Lilac yakin dia sedang bermimpi, mimpi yang selalu sama sejak dia menginjak usia tujuh belas tahun beberapa hari yang lalu. Mimpi tentang dirinya yang bertemu dengan seorang pria asing yang tampan. Pria itu tidak pernah menyebutkan namanya, ia hanya memintanya untuk menunggu. Sepertinya malam ini juga, pria itu pasti akan meminta hal yang sama setiap malamnya. Menunggu. Sangat menyebalkan memang. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang suka dengan kata menunggu, begitu juga dengan dirinya. Menunggu adalah pekerjaan paling menyebalkan baginya. Lilac melangkahkan kaki menyusuri jalanan berbatu kerikil yang terasa lembut di telapak kakinya. Di ujung jalan sana pria tampan itu berada. Lilac menghentikan langkah tepat dua meter di depannya. Menatap pria itu dengan tatapan mengamati dan menilai. Lilac tersenyum mengejek melihat senyum yang sialnya membuat wajah itu terlihat semakin tampan saja. "Jangan menatapku seperti itu atau kau akan jatuh cinta padaku." Ada tawa mengejek menyertai kalimat itu. Lilac mendengkus, dia lupa satu hal. Pria di depannya ini terlalu percaya diri. "Kepercayaan dirimu yang tinggi itu tidak berguna di depanku, Tuan Sok Tahu!" balas Lilac pedas. Sebelah alisnya terangkat, begitu juga dengan dagunya. Dia tidak terima dengan perkataan pria itu yang terdengar menghina di telinganya. "Aku tidak akan pernah tertarik pada pria asing yang menjebakku di dalam mimpi. Jadi, jangan pernah berharap kalau aku akan jatuh cinta seperti itu padamu." Lilac melipat tangannya di depan d*da. Menantang. Pria itu hanya mengangkat bahu menanggapi perkataannya seolah ia tidak tertarik, atau mungkin meremehkan. Sialan! "Terserah apa yang kau katakan, Lilac Bryne. Tapi aku yakin suatu saat kau pasti akan jatuh cinta padaku!" Lilac mengangkat bahu tak peduli. "Terserah kau percaya atau tidak, tapi kita memang ditakdirkan untuk bersama. Kau adalah pengantinku, Lilac Bryne!" Lilac bergidik jijik. Bukan pada perkataan pria itu, melainkan pada tubuhnya yang berubah menjadi ratusan ekor burung gagak. Burung-burung gagak itu adalah pertanda akhir dari mimpinya, untuk malam ini, dan kembali berlanjut besok malam. Lilac mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Selalu seperti ini setiap kali dia terbangun dari tidurnya sehabis memimpikan pria asing yang tidak pernah dikenalnya. Sungguh, meskipun tampan, tapi wajah pria itu memang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Dia memang bukan pengagum para pria tampan, tapi wajah setampan itu tentu tidak akan mudah untuk dilupakan begitu saja. Dia pasti akan ingat kalau pernah melihatnya. Mata biru Lilac melirik nakas si sebelah kanannya, memeriksa jam digital yang menghiasi tempat itu. Pukul tiga dini hari. Lilac mengerang. Dia selalu terbangun di jam yang sama, setelah bermimpi yang sama. Sangat menyebalkan. Baru saja dia berada di usia legal, mimpi sialan langsung menghantuinya. Lilac bukan orang yang percaya pada takhayul. Sungguh, dia tidak memercayai hal-hal seperti itu. Mana ada semua itu di zaman sekarang ini, takhayul dan teman-temannya kalah seiring perkembangan zaman. Dia merasa aneh saja dengan mimpinya. Merasa aneh pada pria tampan yang selalu menyebut dirinya sebagai pengantinnya. Jangan bercanda! Pengantin apanya? Dia baru berusia tujuh belas tahun dan tidak berminat untuk menikah muda. Lilac menguap, menggosok matanya sekali. Dia sudah mengantuk lagi. Lilac tidak seperti orang kebanyakan yang akan tidak bisa tidur lagi setelah terbangun di tengah malam, apalagi setelah mengalami mimpi yang bisa dikategorikan buruk. Tidak ada hal yang bisa disebut indah dimimpinya termasuk pria tampan itu. Bukannya indah, pria itu justru sangat menyebalkan baginya. Pria itu sangat percaya diri sekali, selain itu ia juga sombong dan angkuh. Sangat tidak menarik sama sekali. Lilac kembali berbaring, memejamkan mata birunya yang sangat tidak serasi dengan namanya. Bola matanya berwarna biru, bukan ungu seperti warna bunga Lilac. Seharusnya orang tuanya menamainya Sapphire saja atau Marine, atau agar lebih mudah diingat namakan saja dia Blue seperti nama burung beo berwarna biru di film animasi yang ditontonnya beberapa bulan yang lalu. Baru beberapa detik mata itu terpejam, dengkuran halus terdengar. Lilac sudah kembali tertidur dengan pulas seolah dia tidak pernah terbangun tadi. . . . . . "Lilac Bryne, bisakah kau menungguku?" Pertanyaan bernada meminta itu tak membuat Lilac menghentikan langkahnya. Dia terus saja berjalan, menyusuri koridor sekolah yang mulai dipadati para siswa, termasuk siswa perempuan yang tadi menyerukan namanya. Evory Wang adalah sahabat Lilac sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, dan itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Selama itu mereka bersahabat sehingga mereka berdua terlihat seperti sepasang saudara kembar. Tentu saja dengan semuanya yang berbeda. Lilac berambut pirang keperakan dengan bola mata berwarna biru seperti langit, sedangkan Evory berambut hitam dan bermata cokelat terang. Ayahnya seorang yang berasal dari benua terbesar di dunia. Meski begitu Evory tak terlihat seperti gadis Asia, dia lebih terlihat seperti gadis barat. "Atau setidaknya kau bisa memelankan langkah kakimu?" Lilac tidak dapat lagi menahan tawa mendengar pertanyaan Evory yang kali ini bernada protes. Dia terbahak tanpa malu, bahkan Lilac tidak menutup mulutnya seperti yang sering dilakukan para gadis lainnya. Bukan karena apa-apa, dia hanya merasa tidak perlu melakukannya. Tidak bersifat munafik adalah salah satu kunci kau memiliki banyak teman. Itu adalah prinsip pertemanan yang dipegang oleh Lilac. Evory mengerang kesal. Tangannya terangkat memukul bahu Lilac pelan. "Jangan kau pikir karena terkenal di sekolah kau bisa memperlakukan sahabatmu seperti pelayan. Ingat, ya, Lily, kau itu bukan ratu!" sentaknya jengkel. Lilac memutar bola mata jengah. Evory selalu mengatakan hal itu kalau dia sedang kesal, dan itu sangat mengganggu baginya. Dia tidak pernah merasa seperti yang disebutkan Evory. "Bisakah kau berhenti berkata seperti itu?" pinta Lilac dengan mata menyipit. Dia sudah bosan mendengar perkataan omong kosong Evory. Seandainya dia hanya bercanda pun, sungguh, baginya itu sangat tidak lucu. "Aku tidak seperti itu dan tidak pernah merasa seperti yang kau sebutkan!" Lilac berhenti berjalan, membuka pintu lokernya dengan keras. Memasukkan beberapa buku yang sejak tadi berada di tangannya kemudian menutup dengan tak kalah keras. Dia kesal. Kata-kata Evory sukses merusak mood-nya pagi ini. Beberapa siswa yang berpapasan dengannya tak berani menyapa melihat wajah Lilac menekuk. Evory yang berjalan di sebelahnya juga memasang tampang yang sama. Tak ada seorang pun yang berbicara, mulut mereka tertutup rapat. Kedua gadis yang cukup terkenal di sekolah mereka itu sedang sama-sama kesal. "Astaga, aku tidak menduga ternyata berjalan dengan mulut tertutup itu sangat menguras tenaga!" Evory yang lebih dulu membuka suara. Dia meletakkan tas di atas meja kemudian duduk di kursinya. "Salahmu sendiri membuatku kesal!" sahut Lilac sambil melakukan hal yang sama dengan Evory. Evory memutar bola mata. "Salahmu karena tidak mau menungguku. Kau bahkan tidak memelankan jalanmu." "Aku sengaja!" jawab Lilac dengan wajah tak berdosa. "Kalau aku menunggumu, kau tidak akan mempercepat jalanmu." Evory mendelik. Lilac selalu saja mendapatkan jawaban untuk membalas setiap perkataannya. Menyebalkan. Di sekolah, Lilac termasuk dari salah satu gadis yang sempurna. Dia cantik bak boneka Barbie, juga pintar dan tidak segan untuk menolong. Meskipun terlihat angkuh, nyatanya Lilac tidak demikian. Dia ramah dan akan tersenyum pada siapa saja yang menyapanya. Sekilas Lilac tidak memiliki kekurangan. Kadang Evory merasa iri dengannya. Dia tidak memiliki kecantikan seperti kecantikan yang dimiliki Lilac, kecantikannya standar. Dia hanya memiliki otak yang encer dan keramahan khas dari benua ayahnya. Dua hal yang selalu membuatnya bangga. Satu lagi, dan hal ini yang selalu meredam rasa iri-nya pada Lilac. Dia tidak penakut seperti sahabatnya itu. "Bagaimana tidurmu tadi malam?" tanya Evory mengalihkan pembicaraan. "Apakah kau masih bermimpi yang sama, tentang pria tampan itu?" Lilac mendesah, menyandarkan punggung ke belakang. Masih ada beberapa saat lagi sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi, berarti dia masih bisa bercerita pada Evory seperti biasanya. Hubungan mereka yang sudah seperti saudara membuat mereka selalu berbagi kisah, nyaris tak ada yang disembunyikan. Lilac selalu bercerita tentang segala hal pada Evory, termasuk tentang mimpi yang selalu datang sejak seminggu yang lalu. "Tadi malam aku kembali bermimpi hal yang sama, Eve," jawab Lilac lemah. Mimpi itu membuatnya kehilangan semangat untuk melakukan apa pun. "Tempat yang sama?" tanya Evory penasaran. Matanya menyipit menatap Lilac yang mengangguk pelan. "Astaga! Kurasa kau perlu memeriksakannya." Lilac memutar bola mata. Satu lagi perbedaannya dan Evory, sahabatnya ini masih saja terlalu pada takhayul. "Pria itu dapat berubah menjadi burung gagak, benar bukan yang kau katakan itu?" Lilac kembali mengangguk. Merebahkan kepala di meja tanpa alas sama sekali. "Itu bukan pertanda yang baik, Lily. Kau harus berhati-hati!" pekik Evory khawatir. Dia percaya kalau burung gagak melambangkan sesuatu yang buruk, dan itu selalu benar. Lilac berdecak. "Kau terlalu membesar-besarkan," ucapnya menegakkan tubuh. "Menurutku itu hanya kebetulan saja. Tidak semua burung gagak adalah pertanda buruk." Evory mengembuskan napas dengan sedikit kuat. Lilac selau saja tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Menurut Lilac itu semua hanya takhayul. Evory membuka mulut ingin menjawab, tetapi dihentikan oleh suara bel. Pelajaran akan dimulai. *** Lilac menatap keluar jendela kamarnya dengan tatapan kosong. Dia pikir usia tujuh belas tahun itu akan sangat indah, semua anak selalu memimpikannya. Di usia itu kau akan dianggap dewasa dan boleh keluar malam tanpa memedulikan jam malam, itu sudah tidak berlaku lagi untukmu. Nyatanya tidak seperti itu. Usia tujuh belas tahun baginya sangat tidak menyenangkan. Tidurnya selalu terganggu setiap malam oleh mimpi yang sama secara berulang. Mimpi yang sedikit menakutkan baginya karena semua tampak nyata. Pria itu seolah benar-benar ada, berdiri di depannya. Bahkan saat terjaga, terkadang dia juga merasakan kehadiran sosok asing tak kasat mata di kamarnya. Awalnya dia memang merasa takut, tapi sekarang sudah mulai terbiasa. Yang membuat jengkel adalah mimpinya. Kenapa dia terus mengalami mimpi yang sama setiap malam dalam seminggu ini masih menjadi tanda tanya. Dia tidak merasa memikirkan pria dalam mimpinya sebelum tidur. Bagaimana mungkin juga dia memikirkan tentang pria yang belum pernah ditemuinya? Sangat tidak mungkin. Pertama kali mimpi itu datang pun dia tidak memikirkan apa-apa, hanya memikirkan waktu yang begitu lambat bergulir di detik-detik pergantian usianya. Setelah itu dia tertidur, dan terbangun karena bermimpi seorang pria yang mengatakan kalau dirinya adalah pengantin pria itu alias calon istri. Lilac mengembuskan napas. Dia tidak ingin terlalu memikirkan mimpinya karena siapa pun tahu kalau mimpi hanyalah bunga tidur saja. Siapa pun dapat mengalami mimpi yang sama dengan yang dialaminya. Memikirkan itu Lilac tersenyum. Hanya satu hal yang disayangkannya, dia selalu terbangun setelah mengalami mimpi itu. Untung saja dia langsung bisa kembali tidur dengan cepat. Kalau tidak habislah dirinya. Bukankah itu berakibat sangat tidak baik bagi kesehatan, dan juga kecantikan? Dia tidak ingin saat bangun pagi menemukan lingkaran hitam di seputar matanya. Itu adalah mimpi buruk yang menjadi nyata! Gerimis turun sore itu, membuat hawa menjadi dingin. Lilac menutup jendela kamarnya dan menjauh dari sana, duduk di atas tempat tidur, menyandarkan punggung pada beberapa bantal yang ditumpuk. Tidak ada yang dilakukannya sore ini, dia langsung pulang ke rumah begitu bel tanda pelajaran usai berdering. Janji untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota-nya bersama teman-teman sekolah, batal. Alasannya tentu saja karena langit yang tadi siang terlihat cerah tiba-tiba saja berubah mendung. Takut kehujanan mereka memutuskan untuk menunda rencana mereka bila hari cerah saja. Mungkin besok atau entah kapan masih belum diputuskan. Gerimis yang perlahan berubah menjadi hujan lebat membuat Lilac mengantuk, tapi dia sangat malas untuk tidur, sudah terlalu sore. Bisa-bisa dia begadang nanti malam kalau tidur di jam sekarang ini. Dia paling anti tidur terlalu malam. Tentu saja karena tak ingin matanya terlihat seperti mata panda saat bangun pagi. Namun, kali ini sepertinya Lilac harus menyerah pada kantuk. Sudah beberapa kaki dia menguap, matanya juga terasa semakin berat. Lilac menggeleng, berusaha sekuat tenaga menahan matanya agar tidak terpejam. Lilac memutuskan untuk mencuci muka di kamar mandi. Dia benar-benar tak ingin tidur di jam sekarang. Lilac segera kembali ke atas tempat tidur setelah mencuci muka yang baginya tidak berguna. Dia tetap saja menguap, matanya juga tetap seberat tadi. Lilac mengembuskan napas, sepertinya dia memang harus tidur lebih awal malam ini. Bahkan sebelum makan malam. Biarkan saja, dia sudah tidak kuat lagi. Kepalanya mulai berdenyut karena menahan agar tidak tidur. Lilac berbaring, menarik selimut sebatas d*da dan mulai memejamkan mata. Baru beberapa detik dia sudah terlelap. Napasnya teratur disertai dengkuran halus yang keluar bersamaan dengan napas itu terembus. . . . . . Lilac memperhatikan sekeliling. Dunianya didominasi oleh warna abu-abu membuatnya yakin kalau dirinya berada di dunia mimpi. Dunia nyata tidak hanya memiliki warna ini, ada banyak warna lain lagi. Lilac mengembuskan napas. Ternyata mimpi ini tidak hanya datang saat dia tertidur di malam hari saja. Saat dia tidur tadi masih sore, belum malam, dan sekarang dia berada di mimpinya bersama pria asing yang sialnya sangat tampan. Sebenarnya Lilac tidak ingin ke mana-mana, tetap di tempatnya saja. Namun, kakinya bergerak sendiri, melangkah menyusuri jalan setapak berbatu kerikil paling lembut yang pernah ditemuinya. Kaki Lilac berhenti melangkah dalam jarak dua meter di depan sebuah batu besar. Seorang pria duduk di atas batu besar itu. Lilac sudah mengenal siapa pria itu. Walaupun masih belum mengenal namanya , tetapi kehadirannya dalam satu minggu terakhir ini membuatnya familiar dengan pria itu. "Bisakah kau berhenti menyeretku ke dalam duniamu, Tuan?" tanya Lilac kesal. Wajah cantiknya menekuk. Meski tidak yakin dengan apa yang dipikirkannya, tapi Lilac tetap menanyakan hal itu. Menurutnya, dunia mimpi memang milik pria itu. Dia selalu bertemu dengannya di sini, tak pernah di dunia nyata. Dia tetap tidak percaya takhayul, tidak akan pernah. Baginya ini hanya kebetulan saja, kebetulan yang datang secara beruntun dan sangat menyebalkan. Pria ini seolah menerornya di dalam mimpi. Sialan! "Asal kau tahu saja, ini sangat mengganggu!" Lilac mengentakkan kaki kesal. Tangannya terlipat di depan d*da dengan dagu terangkat angkuh. Ciri khas seorang Lilac Bryne. Tidak ada yang dapat menindasnya. Tidak di dunia nyata apalagi di dunia mimpi seperti sekarang ini. Pria itu hanya tersenyum miring. Mata birunya yang secerah langit menatap tajam penuh intimidasi. Sayangnya Lilac tidak merasa terpojok. Pria ini telah salah memilih lawan, dia bukan gadis yang mudah ditaklukkan. Rata-rata para pemuda yang takluk dan bertekuk lutut padanya. "Kita benar-benar pasangan yang serasi, bukan?" Lilac memicing melihat seringai yang sialnya membuat wajah itu semakin terlihat tampan. Lilac tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajahnya dengan cepat, menolak pernyataan pria itu. Serasi dari mananya? Dia sungguh tidak tertarik pada pria dingin, walaupun tampan. Yang diinginkannya adalah seorang pria yang selalu menuruti keinginannya, juga yang dapat membuatnya berdebar. Dengan senang hati dia akan menyerahkan diri pada pria seperti yang disebutkannya. "Aku suka sifat pemberontak dalam dirimu yang tidak pernah berubah sampai sekarang." Eh? Lilac menatap pria itu dengan tatapan bertanya. Dia tidak mengerti apa maksud perkataannya. "Apakah kau tahu, sifat itu yang membuatku menemukanmu." Lilac memutar bola mata. "Berhenti membual, kau sangat tidak lucu!" ketusnya. "Dasar sok tahu!" "Aku bukannya sok tahu, tapi aku memang benar-benar tahu." "Eh?" Lilac terperanjat, sedikit kaget dengan pernyataan itu. Sepertinya pria ini memiliki pendengaran yang sangat tajam, atau dapat membaca pikiran. Kalimat yang hanya digumamkannya bisa sampai terdengar olehnya. "Aku tidak berkata seperti itu!" Lilac kembali memalingkan muka. Tak ingin melihat senyum mengejek di wajah tampan itu. "Kita terhubung, Lily. Kau adalah pengantinku, tidak ada yang dapat mengubah takdir itu." "Membual saja sesukamu, aku tidak peduli. Lagipula kau hanya pria di dalam mimpi." Lilac tersenyum mengejek, kemudian mengembuskan napas dari mulutnya cukup kuat. Ini adalah durasi mimpi terlama, biasanya dia akan terbangun setelah pria itu berbicara beberapa patah kata saja. Namun, sekarang berbeda. Kalau dihitung sudah berapa puluh kata yang keluar dari mulut sexy itu. Sialan! Dia perlu memeriksakan otaknya ke psikiater setelah bangun pagi besok. Pikirannya sudah mulai melenceng ke mana-mana. Sepertinya ada sedikit bagian dari otaknya yang terpengaruh setelah lebih dari sepuluh kali dia memimpikan hal ini. Maksudnya memimpikan pria berwajah dingin di depannya ini. Gara-gara hal ini dia jadi mulai memikirkannya. Bukan memikirkan pria itu tetapi memikirkan mimpinya yang sangat tidak lucu. "Jadi, kau ingin kita bertemu di dunia nyata?" Lilac hanya mengangkat bahu tak peduli sebagai jawaban pertanyaannya. "Bukankah kau seorang yang sangat tidak percaya pada takhayul dan sejenisnya. Kalau begitu, apa sekarang kau percaya?" "Jangan bermimpi!" sahut Lilac cepat. "Tidak akan pernah!" "Well, kau sekarang sedang bermimpi, Lily." Lilac menggeram kesal di dalam hati. Astaga, bagaimana mungkin dia bisa melupakan hal itu? Dasar Lilac bodoh! "Lalu, kapan aku akan bangun?" balas Lilac bertanya. Dia harus menunjukkan pada pria dingin ini kalau dia bukan seorang gadis yang gampang menyerah. Dia seorang pemberani. "Apa kau tahu, ini sangat membosankan!" "Benarkah?" Lilac memutar bola mata bosan. "Bukankah kau sudah terbiasa?" Lilac memicing, menatap tajam pada pria itu yang melangkah ke arahnya perlahan. "Aku terpaksa!" jawab Lilac ketus. "Mimpi sialan ini selalu datang meski aku tidak menginginkannya. Aku perlu tidur yang cukup agar tidak merusak kulit wajahku, asal kau tahu!" Pria itu mengangkat bahu. Jarak mereka sekarang semakin menipis. Hanya tinggal beberapa kaki. Beruntungnya pria itu menghentikan langkah dalam jarak dua kaki di depannya. Itu pun sudah membuat Lilac sedikit berdebar. Namun, dia berusaha melawan dan tetap bersikap biasa. "Kau tidak akan menjadi jelek meski tidurmu tidak cukup." Lilac mengangkat sepasang alis pirangnya. "Benarkah?" tanyanya dengan nada tertarik. "Dari mana kau tahu? Apa kau seorang dokter ahli kulit?" Kekehan menyeramkan keluar dari mulut pria itu. Lilac diam-diam merinding. Tangannya tanpa sadar memeluk tubuhnya sendiri. "Kau terlalu banyak bertanya, Nona. Untuk saat ini tidak ada yang perlu kau ketahui selain kenyataan bahwa kau adalah pengantinku!" Suara dingin itu menggelegar. Bahkan bergema di tempat itu, memantul sehingga kata-kata terakhir terdengar berulang-ulang. Lilac menutup telinga kuat rapat-rapat, dia tidak ingin mendengarnya. Itu bukan kenyataan, terapi mimpi belaka. Lilac memekik ketakutan saat puluhan ekor burung gagak yang berasal dari tubuh pria itu terbang ke arahnya, mematukinya dengan paruh runcing mereka. Burung-burung gagak itu mengeluarkan suara yang sangat menyakitkan bagi indra pendengarannya. Seakan dapat merobek selaput gendang telinga. Kejadian itu terjadi selama beberapa detik sebelum dia terbangun dengan keringat di sekujur tubuhnya. Dengan gerakan cepat Lilac duduk, menarik lutut dan memeluknya. Mimpinya kali ini adalah yang paling panjang dan paling menakutkan. Piyamanya basah, jantungnya berdebar keras, seluruh tubuhnya terasa lemas karena dicekam rasa takut. Lilac melirik jam digital, mengerutkan alis melihat angka tiga tertera di sana. Dia tetap bangun di jam yang sama dengan dua minggu terakhir ini, yang artinya tidak ada perubahan dengan waktu terbangunnya. Lalu, apakah ini artinya awal dia bermimpi lebih cepat dari sebelumnya? Sungguh, dia sangat bingung. Tadi dia mengira akan terbangun pada pagi hari sekitar pukul enam atau tujuh pagi, ternyata dia tetap bangun pada pukul tiga dini hari. Padahal mimpinya adalah yang paling lama selama ini. Lilac kembali berbaring, dia harus tidur lagi kalau tidak ingin mengantuk saat di sekolah nanti. Semoga saja dia bisa kembali lelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN