Pasangan suami istri itu baru berhenti berdebat saat atasan mereka berdehem. "Saya beri kalian kesempatan untuk diskusi di rumah."
"Gak usah," sambar Amanda dengan cepat. "Biarkan kami tetap bekerja. Toh gak ada yang tahu bahwa kamu sudah menikah. Kami akan bekerja secara professional. Paling tidak sampai kami memutuskan untuk mengumumkan tentang pernikahan kami. Iya kan?" Menoleh pada pria yang duduk di sampingnya.
Aldin mengangguk setuju. Setelah waktu yang ditentukan, ia dan Amanda sudah sepakat untuk berpisah. Pernikahan mereka hanyalah sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya menjadi perjanjian saling menguntungkan.
Sehari sebelumnya.
"Kamu yang salah. Bukankah dulu sudah saya katakan untuk memasang kamera pengawas di mobil? Kalau kamu nurut, ini semuanya gak akan perlu terjadi."
Amanda diam. Bukan lupa akan hal itu, hanya menunda terus dan terus hingga sekarang.
"Sudah! Kalian jangan maen salah salahan biar kita parcaya. Pokoknya kalian harus bertanggungjawab!" tegur seorang pria. "Ayo, Pak RT. Bawa saja mereka!"
"Mohon maaf sebelumnya, Bapak-bapak. Ini hanya salah paham. Saya bisa jelaskan duduk permasalahannya," ujar Aldin dengan sopan.
"Gitu kek dari tadi, ngomong. Bukannya diem aja," gumam Ananda.
"Gak bisa! Jelasin apa. Kalian paling cuma ngeles. Di kampung kami, kalau ada yang berbuat tidak senonoh, hanya ada dia jalan keluar, dinikahkan atau dirajam," sahut bapak tadi.
"Pak, itu sanksinya bertolak belakang banget. Dinikahkan enak, Pak. Daripada dirajam," celetuk Amanda.
Aldin melirik.
"Apa? Kan memang benar. Setidaknya kalau dinikahkan, orang gak kesakitan," kilah Amanda saat menyadari tatapan pria itu.
"Siapa bilang enak? Sanksi sosial juga harus mereka tanggung. Dipermalukan di dapan umum. Apalagi jika mereka sama-sama punya pasangana alias pasangan selingkuh."
"Viral dong," sahut Amanda, menelan saliva dengan susah payah. Habislah ia jika sampai itu terjadi.
"Apa tidak ada cara lain?" tanya Aldin pada pria berpeci hitam yang dipanggil Pak RT oleh lainnya. "Lami di sini hanya lewat dan mau ikut ke toilet masjid, Pak."
"Tidak bisa, Mas. Mas dan Mbaknya ada di kampung kami dan harus mengikuti aturan yang berlaku di sini. Kalau saya kasih kelonggaran, nanti saya juga yang diserang warga, Mas," jawab Pak RT.
"Tapi, Pak. Tadi itu hanya salah paham." Aldin masih berusaha meyakinkan.
"Salah paham apa? Saya lihat sendiri kalian sedang bsrbuat tak senonoh di mobil," sambate pria lain yang membuat kegaduhan awal.
"Udahlah Pak RT. Gak usah nego. Ini kita juga masih banyak kerjaan. Kita cepat selesaikan urusan mereka berdua ini. Jangan sampai kampung kita terkena musibah lagi gara-gara ada orang luat yang mengotori. Sudah cuma numpang lewat, tapi malah bawa sial," gerutu pria lainnya.
Amanda menatap sebal. Mulut pria itu seperti perempuan.
"Iya Pak RT. Bawa saja mereka. Kalau gak mau nikah, kita rajam saja mereka!"
"Jangan dong, Pak. Saya belum nikah. Saya masih pengen dapat suami yang ganteng, baik, murah senyum. Bukannya yang kecut!" celetuk sambil melirik pria di samping yang hanya memasang raut wajah datar, seperti tidak terpengaruh pada sindirannya. Dasar muka rata!
"Ya kalau begitu kalian nikah saja. Panggil orang tua lakian ke sini!"
"Tapi saya gak mau nikah sama dia," tunjuk Amanda pada Aldin yang hanya meliriknya sekilas.
"Ya terus Mbaknya mau nikah sama siapa? Masa sama saya? Mau jadi istri kedua?"
"Ih si Bapak." Amanda bergidik ngeri. Istri kedua? Tak ada dalam cita-citanya. Apalagi istri kedua dari orang yang sama sekali tidak ia kenal seperti bapak itu.
"Benar. Panggil orangtua kalian. Suruh mereka datang ke sini."
"Harus ke sini ya, Pak? Bukan kami aja yang ke sana?" tanya Amanda.
"Kalau kami izinkan Mbaknya ke sana, yang ada nant Mbaknya kabur, gak balik lagi ke sini. Kami nanti di sini yang kena sialnya," aku salah seorang pekerja yang merupakan penduduk di sana.
Amanda memutar bola mata malas. Sejak tadi para warga selalu membicarakan ke sialan. Padahal di sini yang paling sial adalah dirinya. Harus terjebak dengan pria dingin itu.
***
"Bu tolong, Bu. Jelasin me mereka ini hanya salah paham. Aku sama Pak Aldin gak ngapa-ngapain," ujar Amanda saat ibunya tiba di sana setelah menunggu hampir dua jam.
"Pak RT, nikahkan saja mereka. Saya dan suami saya tidak keberatan," ujar ibunda Amanda.
"Apa?" Amanda melotot. Tidak mengira ibunya akan bicara seperti itu, alih-alih membantu. "Bu ... ibu kenapa bukan belain aku sih?"
"Ini justru ibu beIai kamu."
"Belain apanya, Bu? ibu malah sama aja kayak mereka."
"Belain kamu dari si Jerami itu.''
"Jeremy, Bu."
"Ya terserah lah. Pokoknya ibu gak suka sama dia. Lebih baik kamu nikah sama Nak Aldin yang sudah jelas ibu kenal," sahut wanita paruh baya itu.
Aldin menoleh sekilas pada pasangan ibu dan anak tersebut. Baru tahu bahwa Amanda memiliki teman dekat pria. Selama beberapa tahun bekerja di satu lingkungan, ia tidak pernah melihat gadis itu pergi dengan seorang pria.