Prolog

382 Kata
Gelap. Tangan Alice menyentuh udara kosong ketika jemarinya melambai-lambai. Tertatih, ia mencoba menggerakkan kaki walau sendi-sendinya terasa remuk luar biasa. Pipinya basah oleh cairan bening yang ia tidak tahu datang dari mana. Rasanya ingin menjerit dan meronta, tapi tenggorokkannya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga kemudian, seberkas cahaya berwarna kekuningan yang menerobos dari celah langit membuat bola matanya memancar setitik harapan. "Kakak... lepasin aku... " Bagai sebuah pementasan drama, Alice bisa melihat sesosok anak kecil yang meringkuk ketakutan di atas ranjang. Pakaiannya terkoyak, pipinya basah dengan bekas luka memanjang di sepanjang dagu hingga leher. Perlahan, ia menyentuh d**a kirinya yang berdenyut perih. Seolah-olah, ia bisa merasakan apa yang sedang anak kecil itu rasakan; ketakutan, putus asa, kesakitan, dan juga... ketidakadilan. Memangnya anak kecil itu siapa? Apa mereka punya hubungan sebelum ini? Kenapa seolah-olah dirinya pernah ada di posisi itu? Dan, apa yang sebenarnya terjadi? "Kakak mau apa? Aku ingin pulang Kak, aku rindu Bunda." Ringisan anak itu terdengar pilu. Ia semakin merapatkan tubuh ketika suara derikan dipan terdengar. Dari ujung ranjang, muncul sosok pria dewasa yang tersorot lampu kekuningan. Punggung tegapya tidak terbalut kain sehelai pun. Alice menutup mulutnya dengan sebelah tangan ketika pria dewasa itu mulai merangkak perlahan, mencengkeram kedua bahu mungil sang anak dan merobek satu-satunya benda yang menutupi tubuh kecilnya. Tidak. Alice menggeleng kuat-kuat, ingin menghentikan tindakan pria itu. Tapi, tiba-tiba saja kaki-kakinya sudah terbelenggu borgol besi. Ingin menjerit, tapi lehernya terikat tali tambang. Napasnya setengah-setengah, rongga dadanya menipis sesak. Alice nyaris kehilangan kendali diri. Sedetik, telinganya menanangkap suara berat yang berbisik samar, "Alice..." Mengerjab-gerjab, ia tidak menemukan apa pun. Pandangannya kembali menggelap. Tapi suara berat itu masih berusaha menariknya ke permukaan. "Alice.... bangun." "Alice...." Terbatuk-batuk. Alice mengambil napas sekuat yang ia bisa saat kesadaran merangkulnya kembali pada realita. Manik hitamnya terbelalak, bergerak-gerak liar memindai situasi. Dadanya naik turun dengan rasa sesak yang mengerikan. Semuanya terasa asing. Langit-lagit kamar berlapis bahan kayu yang dicat mengkilat, cahaya lampu remang, dan juga... sebuah ranjang yang empuk. Di mana dirinya sekarang berada? Tangannya terangkat untuk memijat pelipis yang berdenyut-denyut. Tapi, sebelum ingatan itu kembali, tiba-tiba saja dagunya tertarik ke samping. Sepasang bola mata setajam elang menyorot tanpa penghalang, menusuk tepat di bola matanya hingga nyaris membutakan pandangan. Dan, suara berat berlumur serak itu seketika mengembalikan seluruh ingatannya; "Mimpi buruk, istriku?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN