“Kenapa Mas Tama ke sini? Ada perlu apa?” tanya Embun dengan nada datar.
“Memangnya nggak boleh kalau aku menemuimu?” tanya Adhitama balik.
“Bukannya nggak boleh, tapi kita sudah tidak ada hubungan apa-apa dan sepertinya nggak perlu bertemu.” Embun menatap Adhitama tak suka.
“Maaf kalau kedatanganku mengganggumu,” ucap Adhitama.
“Sangat.” Embun berkata dengan suara yang begitu tenang.
Dia tak mau lagi bersikap sok manis ataupun baik di depan Adhitama. Sudah cukup dia tersakiti oleh Adhitama. Walaupun memang yang terjadi akibat kesalahan Embun yang mencarikan istri kedua untuk Adhitama.
“Aku ... hanya merindukanmu Embun. Bertemu dan melihatmu baik-baik saja sudah cukup buatku tenang.” Adhitama menatap Embun dengan dalam.
“Mas Tama nggak perlu khawatir padaku. Aku sangat baik dan justru bahagia sekarang ini.” Embun tersenyum. “Bagaimana keadaan Hilya dan anak kalian? Pasti sudah besar, bukan?” lanjut Embun.
“Alhamdulillah mereka baik dan sehat,” jawab Adhitama dengan lirih.
“Syukurlah kalau gitu.” Embun tersenyum. “Tapi, kenapa keadaan Mas Tama seperti orang yang tidak terurus? Bukannya kalian bahagia sudah memiliki anak? Lalu, kenapa Mas Tama terlihat lebih kurus sekarang?” tanya Embun dengan mata menyipit.
“Emmm, aku baik-baik saja, kok, mungkin karena terlalu sering begadang,” jawab Adhitama sambil tersenyum kecut.
Embun merasa Adhitama seperti menyembunyikan sesuatu, tetapi dia tak berani bertanya lebih lanjut. Toh, kehidupan Adhitama sekarang bukan lagi urusan Embun.
“Kalau gitu, aku pamit dulu, Embun. Terima kasih sudah mau menerima kedatanganku,” ucap Adhitama.
“Iya, Mas, sama-sama.”
“Aku harap hubungan kita tetap baik, meskipun kita sudah bukan lagi suami istri,” ucap Adhitama lagi.
“Ok,” jawab Embun singkat.
Lalu, Adhitama pun berpamitan. Embun hanya bisa menatap kepergian pria yang pernah ada dalam masa lalunya. Walaupun sebenarnya masih ada sedikit rasa cinta di hatinya, tetapi dia harus tetap menguburnya dalam-dalam. Dia tak mau tersakiti lagi. Embun harus bisa membuang jauh-jauh rasa cintanya pada Adhitama. Dia sekarang sudah punya kehidupan sendiri.
“Loh, Tama sudah pulang?” tanya Bu Asih tiba-tiba.
“Eh, iya Bu sudah. Ibu ngagetin aja tiba-tiba ada di sini,” ucap Embun sambil tersenyum.
“Pasti kamu ngelamun, ya?” tanya Bu Asih tersenyum.
“Ih, nggak Bu,” jawab Embun sambil tertawa kecil.
Bu Asih kemudian mengambil duduk di samping Embun.
“Tama tadi cerita apa aja ke kamu, Embun?” tanya Bu Asih.
Embun pun menatap Bu Asih dengan heran.
“Nggak cerita apa-apa Bu, hanya bilang kalau mau menyambung tali silaturahmi denganku.” Embun menjawab sambil menatap Bu Asih.
“Dia nggak cerita masalah keluarganya ke kamu?” tanya Bu Asih lagi.
Embun hanya menggeleng.
“Memangnya ada apa dengan keluarga Mas Tama? Bukannya mereka sudah bahagia karena memiliki keturunan dan Mama pasti senang karena Hilya sudah memberinya cucu,” ucap Embun.
“Ya, kita tahu kehidupan Tama sempurna setelah dia memiliki anak dari Hilya. Itu yang kamu tahu saat kamu memutuskan untuk pergi dari kehidupan Tama. Tapi, ternyata kehidupan rumah tangga mereka tak semulus itu setelah kamu pergi.” Bu Asih menatap Embun.
“Ibu tahu dari mana?” tanya Embun dengan heran. Dugaan Embun berarti benar kalau ada yang disembunyikan oleh Adhitama.
“Tama sendiri yang cerita ke Ibu. Ibu kira dia cerita juga ke kamu,” jawab Bu Asih.
“Mas Tama nggak cerita apa-apa Bu. Pas aku tanya tentang Hilya dan anaknya katanya baik-baik saja. Terus dia tanya gimana denganku, ya, aku jawab aja kalau aku bahagia dan justru lebih bahagia sekarang.” Embun menjawab sambil menatap Bu Asih.
“Mungkin dia malu mau cerita padamu,” jawab Bu Asih.
“Memang kenapa dengan kehidupan Mas Tama Bu?” tanya Bu Asih.
“Tama dan Hilya tak seperti dulu lagi. Kamu lihat, kan, gimana keadaan Tama sekarang?” tanya Bu Asih.
“Iya lihat, dia seperti tidak terurus,” jawab Embun.
“Kamu tahu kenapa dia bisa seperti itu?” Bu Asih bertanya lagi.
Embun hanya menggeleng.
“Kehidupan Tama tak sekaya dulu lagi. Semenjak dia berpisah darimu, perusahaannya bangkrut, dia punya banyak hutang ke bank. Rumah, mobil, dan semuanya disita bank. Tama jatuh miskin. Saat dia pulang ke rumah mamanya, mamanya tidak menerima Tama dan Hilya. Sebab, Hilya dibilang pembawa sial. Bu Retno mau menerima Tama asal Tama menceraikan Hilya, tetapi Tama tidak mau. Karena dia tidak mau lagi melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Cukup sekali dia bercerai dengan istri pertamanya.” Bu Asih menarik napas dalam, lalu seperti mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh Adhitama. Embun hanya mendengarkan, dia tak tahu harus menanggapi apa.
“Bu Retno tak mau menerima Hilya karena anak yang dilahirkan perempuan. Bu Retno sangat berharap kalau anak mereka itu laki-laki. Bu Retno juga memaki Hilya, mengatakan kalau Hilya tak jauh beda dari kamu. Wanita pembawa sial,” ucap Bu Asih.
Embun menarik napas dalam mendengar cerita Bu Asih. Sungguh dia tak menyangka kehidupan Adhitama menderita seperti itu setelah kepergiannya.
“Kenapa Mas Tama tadi nggak cerita ke aku, ya, Bu?” tanya Embun dengan heran.
“Mungkin dia malu padamu, Embun. Karena dia sudah pernah membuatmu sakit hati dan kecewa.” Bu Asih menatap Embun sambil tersenyum.
“Mungkin Bu, tapi semua yang terjadi, kan, bukan murni kesalahan Mas Tama, Bu. Aku yang meminta Mas Tama menikah lagi,” ucap Embun.
“Entahlah Embun,” sahut Bu Asih.
“Oh iya, hubungan kamu gimana dengan Deni?” tanya Bu Asih mengalihkan pembicaraan.
Embun langsung terdiam mendengar pertanyaan Bu Asih. Embun tak ada perasaan apa pun pada Deni.
“Dia sepertinya sangat mengharapkan kamu lo. Lihat saja perjuangannya untuk menaklukkan hatimu,” ucap Bu Asih sambil tersenyum menggoda.
“Bu, Deni itu masih kecil. Dia seperti adikku,” jawab Embun sambil tersenyum.
“Adik apa adik?” Bu Asih menggoda lagi.
Embun hanya terdiam mendengar perkataan Bu Asih. Embun tak mau membahas soal Deni.
“Hargailah perjuangan Deni Embun. Cobalah buka hati untuk dia,” ucap Bu Asih.
“Untuk saat ini aku nggak mau memikirkan pernikahan ataupun lainnya Bu. Aku mau fokus pada karierku saja dulu.” Akhirnya itulah yang keluar dari mulut Embun.
“Apa kamu yakin nggak akan goyah setelah melihat betapa Deni sangat memperjuangkan perasaannya padamu?” tanya Bu Asih. “Lihatlah keluar sekarang,” ucap Bu Asih sambil melihat keluar.
Embun pun menuruti apa yang dikatakan Bu Asih. Di luar tampak Deni tersenyum dan melambaikan tangan pada Embun. Embun mendengkus kesal. Kemudian, dia memutuskan untuk masuk ke dalam, setelah melihat Deni. Namun, saat Embun hendak melangkah, Bu Asih mencegahnya dan meraih lengan Embun.
“Temuilah dia dulu, Embun,” ucap Bu Asih.
“Tapi, Bu—“
“Nggak ada tapi, tapian,” ucap Bu Asih tegas.